LIPSUS MENCARI OBAT PATAH HATI

Perkedel dan Resep Sukses Move On

25 Oktober 2019 13:39 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Mencari Obat Patah Hati Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mencari Obat Patah Hati Foto: Maulana Saputra/kumparan

Bagi sebagian orang, move on dari patah hati tak semudah membuat perkedel.

***
Cara Membuat Perkedel (dapat menjadi pelengkap nasi tumpeng kuning, lauk, atau nyamikan semata)
Siapkan: Bumbu yang dihaluskan:
4 siung bawang merah 3 siung bawang putih 1 sdt garam 1/2 sdt merica bubuk
Bahan-bahan:
150 gram daging (dicincang) 1 sdm irisan daun seledri 500 gram kentang (dikukus/digoreng lebih dulu, kemudian dihancurkan) 2 butir telur (dikocok) 1 sdt garam 1/2 sdt merica bubuk
Proses pembuatan:
Bagaimana, Pemirsa? Mudah, bukan, untuk membuatnya?
Masalahnya, untuk mengemasi rasa pahit putus cinta, kemudian lari-lari kecil, dan pergi dari bayang-bayang mantan, perkara jadi lebih kabur dan sedikit susah. Sembuh dari patah hati, Anda harus tahu, tak semudah membikin perkedel sembari dipandu Sisca Soewitomo.
Ambil Almo sebagai contohnya. Laki-laki berumur 25 tahun itu, baik diri maupun kesehariannya, berantakan setahunan terakhir. Ia kerap menangis, mengalami gangguan tidur selama 2,5 bulan, juga kerap mendapati dirinya terkena serangan kecemasan. Dalam waktu satu bulan, berat badannya turun 10 kilogram.
Bahkan, di tengah masa-masa sulit itu, Almo sampai berpikir untuk bunuh diri.
Penyebab semua itu? Ia diputus perempuannya tanpa diberi alasan apapun.
“Dua tahun terakhir jadi tahun paling berat dalam hidup gue. Karier gue stagnan, dompet gue kosong, hubungan gue berantakan. Itu berat banget. Tapi akhirnya gue mikir lagi buat apaan (bunuh diri). Gue masih sempet mawas diri,” ujar Almo, bukan nama sebenarnya, kepada kumparan, Senin (21/10). Cerita lengkapnya bisa Anda baca di sini.
Dalam lubuk hatinya, Almo sadar bahwa yang terjadi padanya tidaklah baik-baik saja. Awalnya, Almo menuntut jawab. Ia beberapa kali menuntut penjelasan dari perempuannya, soal mengapa ia tiba-tiba dicampakkan begitu saja. Ia berharap dengan adanya alasan yang jelas, ia akan menerima keputusan perempuannya.
Sayangnya, hal tersebut cuma berujung pada jawaban mengusir sekenanya, seperti : “gue udah nggak mau sama lu” atau “gue mau punya pacar baru”. Ini adalah kabar buruk bagi orang-orang yang menderita macam Almo. Ketiadaan jawaban yang pasti membuat Almo kerap mempertanyakan dan meragukan dirinya sendiri.
“Gue nggak cerita ke orang. Jadi gue beneran nge-keep. Ya akhirnya itu, gue stres sendiri. Ini gue apa bener nggak kapabel? Kok gue ditinggal orang? Kok gue nggak dikasih penjelasan? Segala macam,” keluh Almo.
Kondisinya agak membaik ketika ia mampu menceritakan permasalahannya ke salah seorang temannya. Berulang kali, temannya meyakinkan Almo bahwa ia “tidak pantas diperlakukan seperti ini dan ia berhak atas perlakuan yang lebih baik dan ia akan baik-baik saja.”
“Temen gue itu kasih satu kalimat bagus banget,” ujar Almo. Sepotong dari tulisan yang dimaksud adalah sebagai berikut: “You are bright and young. You have friends who love you. You gotta keep moving. You’ll be fine. You’ll have lots of fun. Remember to always, and always, love yourself first.
“Terus karena sekarang gue kerja di rumah, itu gue tempel di mana-mana: di kamar gue, di depan laptop, di desktop gue juga. Jadi lebih ke self-healing sendiri sebetulnya,” katanya. Ia baik-baik saja.
Ria Devina. Foto: Ulfa Rahayu/kumparan
Sementara itu, patah hati datang pada Ria Devina dengan cara yang amat menggiriskan. Selain diputus pacarnya setelah ditinggal selingkuh berkali-kali, ia juga sempat mengalami kekerasan dalam pacaran (KDP) selama bersama mantan lelakinya.
“Dia itu pacar pertama gue. Dua tahun pacaran. Banyak banget konfliknya, dari dia ternyata udah jadian sama cewek lain sebelum putus sampai dia main tangan waktu pas masih pacaran,” aku Ria saat ditemui kumparan, Sabtu, (19/10).
Namun, meski didera banyak permasalahan seperti itu, bukan berarti proses pisah dari mantannya tersebut bisa dilalui Ria dengan mudah. Kekecewaan demi kekecewaan membuatnya trauma dan, meski terdengar aneh, membuatnya tak bisa lekas beranjur begitu saja.
“Kebayang-bayang terus. Di satu sisi lu sakit, tapi satu sisi, ‘Gue kalau tanpa dia bisa gak nih?’ Gue berat badannya turun 4-5 kilogram waktu itu. Gue kayak susah banget tuh buat move on. Kayak terlalu suram hidup gue. Gue ngerokok, ngurung diri di kamar. Kayaknya gue enggak bisa gimana caranya buat ngelepasin. Itu kayak down banget deh,” kata Ria.
Beruntung teman-teman dekat Ria bisa diandalkan. Mereka, menurut Ria, amat peduli dengan kondisi temannya tersebut. Segala unek dan keluh kesah bisa dengan mudah Ria ceritakan. Teman-temannya pulalah yang pada akhirnya merekomendasikan hipnoterapi ketika hingga tiga bulan kondisi Ria belum membaik.
“Sebenarnya dia terapinya biar kita fokus skripsi, buat anak-anak yang empat tahun belum lulus. Itu ditanyain, masalah lu apa skripsinya lama? Gue bilang, masalah percintaan,” kenang Ria.
Ia kemudian bercerita bagaimana dalam hipnoterapi tersebut ia tahu bahwa aura dirinya tertutup, bagaimana ia dibuat relaks, dan pada akhirnya ‘mengeluarkan’ segala permasalahan yang selama ini mengganggunya.
“Jadi dia ngarahin, ngebantu ngalirin. Gue dibuat ngebayangin air terjun yang jernih, lama-lama airnya jadi keruh dan kotor karena masalah-masalah gue. Pas pulang, gue ngerasa lega aja. Gue nggak ada sakit hati sama sekali sama orang itu, gue nggak merasa ada masalah. Gue inget luka gue, masih inget kenangannya, tapi udah nggak sakit, udah nggak dendam lagi. Percaya nggak percaya ya,” lanjut Ria.
Dalam pembuatan skripsinya pun, Ria memilih untuk melakukan penelitian di Komnas Perempuan. Di situ, sembari menyelesaikan tugas akhir, Ria juga mulai memahami posisinya sebagai korban, menerimanya, dan mencari cara untuk mampu melewati masa-masa suramnya.
“Ada korban yang nggak sadar kan kalau dia jadi korban. Gue cerita juga sama beberapa yang dekat, gue berusaha gimana caranya buat survive dan keluar dari zona ini. Selain hipnoterapi tadi, proses gue di Komnas Perempuan itu membantu banget, orang-orangnya merangkul semua,” kata Ria.
Ilustrasi putus cinta. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
Sementara itu, Aria justru menemukan resep yang berbeda untuk menyembuhkan patah hatinya. Oleh sebab perempuannya hanya melihat gelap pada masa depan Aria, Aria diputus setelah berpacaran kurang lebih tiga tahun. Padahal hubungannya lempeng dan cenderung bebas masalah. Ini mau tak mau membuat Aria, yang saat itu berada di semester sembilan, sukses hancur lebur.
“Cewekku ini lebih tua setahun. Dia lulus duluan, dan LDR saat dia kerja. Kami sama-sama nggak tahan. Apalagi setelah itu orang tuanya kecelakaan. Ibunya meninggal, dan dia merasa punya tanggung jawab yang lebih untuk menggantikan posisi orang tuanya,” kata Aria, menyamarkan namanya, kepada kumparan, Kamis (24/10).
“Waktu itu dia bilang, ‘Ya ini udah nggak bisa lagi. Aku punya target, aku punya tanggung jawab, aku harus gantiin ibu.’ Dan itu, katanya, nggak ada di aku. Aku nggak lulus-lulus,” kata Aria.
Aria terombang-ambing. Ia nggerus selama tiga bulan. Ia tak bisa tidur, pernah selama 48 jam ia melek tanpa putus. Ia juga jadi kerap melamun, merasa sedih dan teringat saat diam apalagi sedang sendirian.
“Aku pernah sampai minta balikan sekali. Tapi kupikir itu menjadi hal yang sangat bodoh. Karena, ‘Apa yang aku bisa berikan?’ Dia udah jelas, untuk aku menikahinya dan menjadi mapan lebih cepat. Untuk itu aku harus mengubah jalanku ke depan. Tapi kan aku belum mau ke situ,” katanya. “Kondisi seperti itu yang coba aku terima.”
Aria sempat mengambil cara drastis yang, waktu itu, dirasanya akan mampu menyembuhkannya. Tak sampai dua bulan putus, ia pacaran lagi.
“Ternyata aku malah merasa bersalah. Aku putus dalam waktu satu minggu,” kisah Aria. Ia menyesalinya. Yang justru ia rasakan dari kehadiran perempuan baru itu justru palsu. “Aku nggak sreg, aku sadar ini pelarian. Karena bukannya lupa, aku malah jadi terus membayangkan (mantan).”
Yang kemudian Aria lakukan adalah menyibukkan diri, jauh dibanding sebelum ia sendirian. Ia membuat dirinya terus berada di sekeliling orang; menyibukkan diri di kantor; membantu bikin laporan dan penelitian; juga hadir langsung ke masyarakat. “Hal itu pelan-pelan menggerus rasa sedihku,” akunya.
“Rasa sedih itu selalu muncul. Saat kita bangun tidur, saat kita sendirian. Tapi aku kasih pemahaman ke diri sendiri, ‘Lu mau ngapain sih kalau sama dia? Jalan lu apaan sih?’ Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang membuatku, ‘Ah yaudah,’ mending gue ngapain kek, hunting foto, atau jalan-jalan nggelandang ke mana aja. Yang penting nggak diem, nggak sendirian,”
Tiga bulan setelah putus, terbangun pada suatu pagi, kesedihan-kesedihan Aria yang selama ini membatu akhirnya habis terkikis juga. “Bangun-bangun, nggak ada beban lagi. Itu aku juga nggak paham. Biasanya bangun masih ada beban, lesu, pagi itu beban itu hilang,” ucap Aria.
“Aku pikir itu proses. Aku memberi pemahaman ke diriku terus-menerus, bahwa kegiatanku ada hasilnya, itu memberikan pemahaman ke diri bahwa, ‘Ya ini jalan udah bener,’” kata Aria.
Mencari Obat Patah Hati Foto: Nadia Wijaya/kumparan
Pada akhirnya, cara dan lama waktu seseorang untuk sembuh selalu bervariasi antara satu dan lainnya. Tak ada rumus tetap, semuanya bergantung bagaimana kondisi dan kedewasaan psikologis yang orang tersebut miliki.
Pada umumnya, terdapat enam fase respons psikologis orang yang mengalami patah hati. Yang pertama adalah syok, kedua adalah denial (penyangkalan), ketiga adalah anger (kemarahan), keempat berupa bargaining (tawar menawar), kelima adalah depresi, dan terakhir berupa acceptance (penerimaan).
“Ada beberapa orang yang bisa melewati fase ini dengan baik kalau dia punya kedewasaan secara psikologisnya. Namun untuk mereka yang kapasitas mentalnya tidak cukup baik, dia bisa terfiksasi di salah satu fase tersebut,” ujar dr. Lahargo Kembaren, SpKJ kepada kumparan di RS Marzoeki Mahdi, Bogor, Rabu, (23/10).
dr. Lahargo Kembaren, SpKJ. Foto: Prabarini Kartika/kumparan
“Misalnya dia denial terus, bargaining terus, atau depresi terlalu dalam. Fase yang paling baik, paling sehat, dan paling dewasa adalah fase terakhir, yakni fase acceptance. Dia bisa menerima kehidupannya, bahwa hidup itu ada warna-warninya, tidak selalu kemenangan, kebahagiaan, tapi juga ada kegagalan, kekecewaan. Itu bagian hidup yang semua orang juga mengalami,” ujar dr. Lahargo.
Yang kemudian penting untuk diperhatikan adalah manajemen stres, yang menurut dr. Lahargo, dirumuskan dalam sebuah kiat 4A.
Pertama, avoid. “Hindari dulu. Kalau ternyata dengan stalking membuat kita jadi lebih nggak nyaman, ya hindarilah buka-buka medsos. Diet media sosial gitu, itu akan membantu kita jadi nggak terlalu terbebani secara fisik dan psikologis.”
Kedua, alter. “Meringankan beban itu. Biasanya kita masih kepikiran tentang peristiwa yang dulu, putusnya bagaimana dan macam-macam. Kita bisa meringankannya dengan cerita. Curhat dengan teman dekat yang bisa dipercaya atau datang ke profesional untuk bisa dapat bantuan. (Bisa) ke konselor, psikolog, atau psikiater.”
Ketiga, adaptasi. “Oke, ini hal yang nggak enak nih, tapi hidup gue harus masih berjalan nih. Gue masih bisa kerja, ya tetap kerja, tapi sambil denger musik mungkin, makan, hangout sama temen, itu namanya to adapt. Beradaptasi.”
Keempat, accept. “Menerima. 'Okelah mungkin saya gagal dalam relasi ini.' Kita menerima, ‘Ok saya kaget, ok saya marah, saya depresi, saya kayaknya pengen ini.’ Tapi ini bukan fase di mana saya harus berlama-lama. Saya harus bergerak, saya harus move on.”
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten