Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Hampir semua orang pernah mengalami patah hati . Masing-masing membutuhkan waktu dan cara berbeda untuk menyembuhkannya. Tapi ada kesamaan mendasar yang dialami dan hal-hal yang diperlukan. Berikut sepenggal kisahnya.
Almo tak tenang. Hampir seharian kekasihnya, Meta, tak ada membalas pesan atau menjawab panggilan teleponnya. Almo waswas. Sebab sejak semalam, setelah pulang kencan, Meta juga mendiamkan Almo sepanjang jalan.
“Apa yang salah?” pikir Almo. Ia pun memutar ingatan terakhir sebelum sang pacar berhenti bicara padanya.
Hari kemarin mereka bertemu untuk makan bakso di sekitar kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Almo datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan dan segera pergi ke toilet untuk memastikan penampilannya sebelum bertemu Meta. Tapi mendadak ia mulas, kebelet buang air besar. Almo pun mengirim pesan kepada Meta, “Aku ke toilet dulu ya.”
Setelah itu, handphone ia masukkan ke dalam tas lalu segera menyelesaikan hajatnya. Tak sampai sepuluh menit. Almo keluar dan melihat Meta sudah hampir menghabiskan bakso dalam mangkuk di hadapannya. Ia terkejut.
“Kok udah makan?” tanya Almo.
“Kan aku udah WA (WhatsApp), kamu gak ngeliat?” jawab Meta sedikit ketus.
Almo pun membuka handphone-nya, melihat pesan dari Meta yang belum sempat ia baca. “Aku masuk duluan, mau makan, laper.” Meski sedikit kesal, tapi Almo membiarkannya. Padahal, seingat Almo, ia selalu menunggu Meta untuk makan bersama. Jangankan sepuluh menit, Almo pernah menunggu hingga empat jam hanya demi makan bersama pacar yang telah bersamanya tiga tahun terakhir itu.
Tak ada gelak tawa atau percakapan seperti biasanya dalam kencan singkat tersebut. Ritual ngobrol di taman air mancur seusai makan pun ditolak Meta. “Nggak ah, langsung pulang aja,” jawab Meta singkat.
Sejak itulah perasaan Almo tak tenang. Ia tahu ada yang tak beres, tapi apa? Hingga akhirnya pukul empat sore, panggilan telepon Almo akhirnya dijawab Meta. “Kamu kenapa nggak ada bales WhatsApp?” tanya Almo.
“Nggak apa-apa, males aja,” ucap Meta singkat. “Aku mau kita putus.” Telepon pun ditutup.
Bingung atas apa yang sebenarnya terjadi, Almo segera menghubungi teman-temannya yang kebetulan dari Instastory ia ketahui sedang berada di rumah Meta. Namun hanya penolakan yang ia terima. “Meta-nya nggak mau,” ujar temannya itu. Almo tak berhenti, hingga lima kali ia terus menghubungi kembali temannya itu. Tapi dering teleponnya tak lagi diangkat.
Almo sungguh tak habis pikir. Ia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, mengapa ia lagi-lagi diputusin. Dalam enam bulan terakhir, sudah dua kali Meta meminta putus. Tapi mereka selalu kembali bersama. Almo bahkan sebenarnya terpikir untuk segera menikahi Meta.
Pukul 11 malam, Almo memacu motornya dari Depok menuju rumah Meta di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ia butuh penjelasan, tidak bisa tidak. Pertanyaan kenapa yang terus terngiang di pikirannya mesti mendapat jawab. Tapi malam itu Meta hanya berkata, “Aku udah nggak mau sama kamu, aku mau punya pacar baru.”
Tanpa memberi kesempatan Almo untuk melanjutkan tanya, Meta meminta Almo pergi. “Udah, pulang aja. Ngapain sih, aku nggak mau ngobrol.”
Syok. Almo bingung atas apa yang sebenarnya terjadi. Air mata tak lagi bisa dibendungnya. “Apa salah gue? Kenapa gue diputusin?” pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya. Setiap hari ia masih mengirimi Meta pesan singkat seperti biasa. “Selamat pagi”, “Udah makan belum?”, atau “Udah nyampe rumah?” Pesan-pesan yang tak pernah mendapat balas.
“Awalnya setiap hari, sampai akhirnya kadang cuman seminggu tiga kali. Makin ke sini, awal tahun ini cuman seminggu sekali, tapi masih gue sapa,” tutur Almo saat bercerita kepada kumparan, di kawasan Depok, pada Rabu malam (23/10).
Ia bahkan kerap menunggu Meta, menghabiskan 30 sampai 60 menit hanya untuk duduk di sebuah taman dekat rumah sang mantan. Berharap melihat apakah si perempuan baik-baik saja atau tidak.
Sementara setiap malam matanya tak kunjung bisa terpejam. Kenangannya bersama Meta terus bermunculan serupa kilasan gambar yang terus berulang dari televisi rusak. Almo datang ke tempat kerja dengan pikiran yang entah di mana, dengan kantuk yang menggunung, dengan luka hati yang belum terobati. Ia hanya bisa tidur selama satu sampai dua jam ketika tubuhnya tak lagi sanggup menopang ia untuk tetap terjaga. Itu pun di sela pekerjaannya setelah lelah menggambar, menulis, atau menangis semalam suntuk.
“Jadi di kepala gue momen flashback banyak banget, ngerasa nggak becus jadi laki,” ucapnya. Kenapa? Apa yang salah? Tanya yang tak pernah terjawab itu jadi bising di kepala Almo setiap malam. Gangguan tidurnya terus menjadi, ia bisa terjaga 24 jam lamanya, makan pun tak teratur. Hal itu membuat ia kehilangan 10 kilogram hanya dalam waktu satu bulan. Almo pun akhirnya pergi ke dokter dan disarankan menenggak obat antidepresan agar tubuhnya tetap bisa beristirahat, meski hatinya masih duka.
Hal yang sama dialami Ria Devina ketika ia putus dari pacar pertamanya. Impian naif masa muda bahwa cinta cukup satu kali luluh lantak. Ia putus setelah dua tahun hubungan yang penuh gejolak. Pengalaman diselingkuhi hingga kekerasan dalam pacaran diperolehnya dari sang pacar pertama yang tampak sempurna di awal.
Berat badannya turun hingga lima kilogram dalam sebulan setelah berpisah. Skripsinya bahkan sempat terbengkalai selama masa duka. Cita-citanya untuk bisa menjadi Duta Batik Jawa Barat pun tak terlaksana sebab ia kehilangan rasa percaya diri dan semangat yang sebelumnya dipunya.
“Ada perasaan, kok gue disia-siain gini sih?” tutur Ria kepada kumparan saat bertemu di kawasan Depok, pada Sabtu sore (19/10). Pada masa itu, ia hanya bisa tertidur setelah lelah menangis semalaman, pun tak ada makanan yang membuatnya berselera. Bukan cuma berduka, Ria juga mengalami trauma atas cinta pertamanya itu.
“Deep banget lukanya. Satu sisi gue sakit, tapi sisi lain gue berpikir gue bisa nggak ya tanpa dia?” ucapnya. Sebab selama dua tahun berpacaran, dunianya hanya berputar di sekeliling sang pacar. Tanpa ia sadari sebelumnya, masa pacaran itu membuatnya jauh dari teman-teman dan lingkungan sosial lainnya. Sehingga ketika keputusan berpisah itu ia ambil, tak cuma pacar tapi ia sempat merasa kehilangan seluruh dunianya, juga seluruh kepercayaan diri yang semula ia miliki.
“Gue ngerasa dikhianati banget. Terus kepikiran mulu, terus jadi kurus, makin hilang percaya diri,” kata Ria.
Pengalaman patah hati seseorang cenderung dipandang sederhana bahkan remeh temeh. Padahal, meski dialami oleh hampir setiap orang tapi selalu ada kisah berbeda dari masing-masing mereka.
Dalam buku How to Fix a Broken Heart, psikolog asal Amerika Serikat Profesor Guy Winch mengatakan rasa sakit emosional akibat patah hati biasanya tak dianggap. “Patah tulang tidak menyebabkan gangguan kognitif, emosional, dan psikologis mendalam seperti patah hati,” tulisnya. “Namun, perusahaan memberi izin pegawainya yang patah tulang untuk tidak bekerja seperti biasa, tapi tidak untuk mereka yang patah hati.”
Psikolog klinis Denrich Riyadi menyebut patah hati adalah perasaan duka ditinggal seorang yang dicinta. “Yang patah itu adalah harapannya. Kita expect sesuatu, tapi kadang-kadang kenyataannya berbeda,” ucapnya saat berbincang bersama kumparan di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, pada Jumat (18/10).
Perasaan yang hancur mumur gara-gara patah hati juga tak berbeda dengan kondisi kehilangan keluarga atau ditinggal mati orang-orang yang disayang. Bahkan bisa jadi lebih kompleks. Sebab, menurut Denrich, “Perasaannya ada yang terganggu, ada rasa kehilangan, malu, merasa tidak berarti, dan berduka.”
Pada momen itu, menurut psikiater Rumah Sakit Marzoeki Mahdi, dr Lahargo Kembaren, tubuh akan mengeluarkan zat kortisol alias hormon stres yang juga bisa memengaruhi organ tubuh. Salah satunya adalah tekanan darah akan meningkat sehingga membuat tubuh merasa pegal, sakit kepala, dan nyeri.
Dampak lainnya adalah membuat degup jantung lebih cepat, sesak nafas, nyeri di ulu hati, hingga gangguan pencernaan. Bahkan kulit pun bisa menjadi sensitif, mudah kemerahan dan gatal ketika kortisol terus menerus dikeluarkan oleh tubuh.
“Semakin tinggi stres atau kapasitas mental yang kurang baik maka efek atau kondisi fisik yang terjadi itu bisa semakin besar. Denyut jantungnya terganggu, aliran darahnya terganggu, nafasnya terganggu. Pengaruh dari patah hati itu bisa sampai ke sana,” ucapnya kepada kumparan saat ditemui di RS Marzoeki Mahdi Bogor, Kamis (24/10).
Tak cuma secara fisik, hormon kortisol juga memengaruhi emosi dan kerja otak. “Jika terganggunya di bagian otak depan, kemampuan berfikir yang terganggu. Termasuk bagaimana kita memutuskan sesuatu hal, mencari solusi, konsentrasi, dan memori, bisa terganggu juga.”
Menurutnya, mereka yang patah hati akan mengalami tahapan emosi yang serupa seperti ketika ditinggal mati seseorang. Mulai dari shock atau kaget atas peristiwa yang terjadi. Seperti momen Almo yang hanya bisa bengong dan tanpa sadar berdiam selama satu jam di depan pagar rumah sang mantan saat diputuskan.
Kemudian dilanjutkan dengan fase denial and isolation ketika kita tidak bisa menerima apa yang tengah terjadi dan cenderung mengurung diri, menutupi kenyataan. Berlanjut ke tahap anger atau marah, entah kepada pasangan, lingkungan, orang ketiga, atau bahkan terhadap diri sendiri.
Setelahnya adalah bargaining dengan mencoba memikirkan seandainya saya tidak melakukan ini-itu atau bahkan berupaya mengubah kondisi kembali ke semula. Mengirimi pesan kepada mantan, mencoba mengajak kembali berjumpa, dan sebagainya adalah salah satu upaya tawar menawar itu.
Saat hal itu kembali tak sesuai dengan harapan, maka kita akan memasuki tahapan berikutnya yakni depression atau depresi atas kondisi yang terjadi. Menurut Dokter Argo, pada fase ini suasana perasaan sudah dalam sekali.
“Ada rasa sedih, tidak bersemangat, kehilangan fokus, konsentrasi, kemudian seperti tidak punya harapan atau masa depan. Terus gangguan pada pola tidur dan pola makan, dan yang paling parah bisa terjadi pikiran-pikiran tentang kematian,” ucapnya.
Demi memasuki ke tahapan terakhir, yakni acceptance atau menerima kenyataan ada sejumlah upaya yang bisa dan harus dilakukan. Salah satu yang utama dan pertama adalah bercerita.
“Kayak bisul, kita perlu mengeluarkan isinya, darah kotor dan sebagainya,” ucap Denrich. Maka menurutnya kehadiran seorang teman menjadi penting di sini. “Dengerin aja, kita nggak usah komen apa-apa, karena dengan ngomong itu dia kaya ngeluarin nanahnya, darahnya terus. Memang bosan sih sampai suatu saat itu dia akan capek sendiri, itu ibaratnya dia mengeluarkan toksin.”
Dalam hal ini, Ria cukup beruntung karena ia memiliki teman-teman dekat yang siap mendengar ceritanya. Ia juga bisa cerita pada dosen pembimbingnya, belum lagi Komnas Perempuan yang menjadi objek penelitiannya juga menjadi ruang untuk dia bercerita dan mengobati duka.
“Di situ orang-orangnya pada ngerangkul semua. Gue cerita juga sama beberapa yang dekat. Jadi gue ngerasa aman aja waktu gue skripsi di situ (Komnas Perempuan),” ucap Ria.
Sementara bagi pria seperti Almo, menceritakan momen patah hati itu tergolong sulit. Jawaban-jawaban seperti "ah lebay lu" atau "udah ikhlasin aja" membuat ia segan dan malu untuk bercerita lebih lanjut. Setelah sebulan lebih, ia baru memiliki teman bercerita.
“Karena waktu itu udah nggak tahu harus ngapain, gue sempet kontak temen gue yang ada di Australia. Dia pas banget lagi siap-siap mau salat Id, gue masih nggak jelas tuh. Masih uring-uringan, masih tutupan selimut, masih air mata di sini. Dia sempet coba tenangin, saat gue sudah mulai merasa tenang. Gue balik lagi, gue harus gambar dan nulis,” tutur Almo.
Masa-masa bercerita mengeluarkan segala unek-unek di dada itu bukan momen sekali lalu selesai. Kisah yang sama bisa berulang kali diceritakan, berbulan-bulan dan terus diulang.
“Intinya dengerin dulu aja, dia perlu nyampah. Kalau dia lagi nyampah, kita khotbahin, nggak ngefek. Dia nangis, temenin aja, ya kan that’s what best friend are for. Ketika dia udah mulai less emotional, baru kita masuk logikanya,” papar Denrich selanjutnya.
Bagi Denrich, di masa duka, apapun penyebabnya, dukungan sosial itu amat penting. “Kita perlu orang lain untuk mendapat feedback, untuk disadarkan, untuk diingatkan.”
Demi mempercepat proses sembuh setelah patah hati itu, Ria bahkan mencoba hipnoterapi setelah tiga bulan dirundung duka. “Sebenarnya dia terapinya biar kita fokus skripsi, buat anak-anak yang empat tahun belum lulus. Itu ditanyain, masalah lu apa skripsinya lama? Gue bilang, masalah percintaan,” kenangnya.
Selama proses itu, ia dibuat rileks hingga mau mengeluarkan segala emosi yang selama ini menghantuinya. “Jadi dia ngarahin, ngebantu ngalirin. Gue dibuat ngebayangin air terjun yang jernih, lama-lama airnya jadi keruh dan kotor karena masalah-masalah gue. Pas pulang, gue ngerasa lega. Gue nggak ada sakit hati sama sekali sama orang itu. Gue inget luka gue, tapi udah nggak sakit, udah nggak dendam lagi. Percaya nggak percaya,” lanjut Ria.
Sementara Almo melangkah ke tahap penerimaan itu setelah temannya memberi kalimat yang berhasil memotivasinya. “You are bright and young. You have friends who love you. You gotta keep moving. You’ll be fine. You’ll have lots of fun. Remember to always, and always, love yourself first.”
“Sekarang gue kerja di rumah, kalimat itu gue tempel di mana-mana,” ujar Almo. Setelahnya ia merasa semakin lega, termasuk ketika melihat potret sang mantan pergi ke sebuah acara pernikahan bersama lelaki yang bukan dirinya. Setahun setelah mereka berpisah.