Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Review Film Little Women: Kisah Lahirnya Seorang Feminis Muda
5 Februari 2020 19:11 WIB
Diperbarui 21 Januari 2021 11:09 WIB
ADVERTISEMENT
Ada ironi yang menyapa selama menyaksikan Little Women , film adaptasi dari novel Louisa May Alcott pada 1868. Terutama saat menyadari masalah perempuan di masa itu, enggak jauh beda sama zaman sekarang.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, masih haram hukumnya buat perempuan berani berbicara. Aneh rasanya melihat perempuan memotong pendek rambutnya. Pun terkutuklah bagi perempuan yang memutuskan untuk melajang seumur hidupnya.
Tapi, itu semua yang justru dilakukan oleh Jo March (Saoirse Ronan), karakter utama di film Little Women.
Ia enggak peduli dengan standar gender yang melekat kepadanya. Malah, ia jengah dengan penggambaran perempuan di masanya.
Dengan berbekal pena, tinta, kertas, dan ribuan kata sebagai senjata, Jo perlahan mendobrak batasan dan mewujudkan mimpinya sebagai penulis.
Ia enggan mematahkan asanya dan terjebak dalam pernikahan. Mimpinya besar, jalannya masih panjang.
Jo meninggalkan Massachusetts, Amerika Serikat, untuk mengadu nasib di New York. Sifatnya yang mandiri, keras kepala, gigih, dan cerdas, bikin dia bertahan meski bolak-balik ditolak penerbit.
Namun, enggak cuma itu yang membuat dia layak dijadikan inspirasi. Hubungan Jo dengan keluarganya menjadi aspek penting yang enggak terpisahkan.
ADVERTISEMENT
Jo adalah anak ke-2 dari empat bersaudara. Ia punya kakak bernama Meg (Emma Watson), adik pertama bernama Beth (Eliza Scanlen), dan adik ke-2, Amy (Florence Pugh).
Semasa kecil sampai beranjak dewasa, mereka selalu bersama. Jarak keempatnya yang enggak begitu jauh, membuat kakak-beradik ini terlihat seperti geng daripada saudara.
Jo selalu memprioritaskan keluarga. Saat Meg menikah dan Amy pergi ke Eropa, ia baru pergi mengejar mimpi. Begitu pula ketika ketiga saudaranya selesai dengan masalah masing-masing, ia baru bisa fokus kepada masalahnya sendiri.
Kedekatan Jo dengan saudaranya ini menampilkan sisi lain yang penyayang, lembut, dan perhatian. Dia menjadi perekat, penyokong, sekaligus pelindung bagi keluarganya.
Greta Gerwig jadi Sutradara yang Tepat buat Little Women
Kisah tentang perempuan paling tepat disampaikan oleh sesama perempuan. Sama halnya dengan film Little Women, yang untungnya digarap oleh aktris sekaligus sutradara, Greta Gerwig.
ADVERTISEMENT
Pengalaman Gerwig menggarap sekaligus bermain di film Frances Ha (2012) memberikan sentuhan tersendiri di sini. Kisah Frances yang lekat sama kesendirian, kemiskinan, dan ambisi, dibawa ke kehidupan Jo March.
Jo sebagai anak muda yang ingin bebas, mengingatkan kepada film Lady Bird (2017) yang Gerwig garap dan juga dibintangi oleh Saoirse Ronan. Lady Bird dan Jo March sama-sama mengejar mimpi yang membuat mereka jauh dari rumah. Tapi, mereka justru menemukan jati dirinya dengan kembali ke tengah keluarga.
Enggak cuma itu, keputusan Gerwig untuk lebih menonjolkan perjuangan Jo March hingga akhir film, juga memantapkan pesan-pesan feminisme yang disisipkannya sejak awal.
Caranya memainkan plot maju-mundur patut pula diacungi dua jempol. Gerwig memberi aba-aba saat kali pertama mengajak penonton untuk flashback ke tujuh tahun sebelum Jo tiba di New York.
ADVERTISEMENT
Meski keterangan itu cuma ditampilkan sekali, tapi perbedaan mood dan tone membuat penonton cepat paham alur mana yang sedang diceritakan.
Ia menggunakan tone oranye dan merah yang hangat tiap kali Jo flashback ke masa-masa bersama keluarganya. Sedangkan adegan di masa sekarang, dikemas Gerwig lewat tone biru yang lebih dingin untuk mewakilkan kesedihan, kehilangan, dan kedewasaan.
Meski Berjudul Little Women, Ini adalah Film yang Megah
Jangan terkecoh sama judulnya. Selain cerita yang kaya, sederet aktor besar membuat film ini semakin solid.
Saoirse Ronan memancarkan tekad kuat dari karakter Jo March. Emma Watson memberikan sense putus asa dari Meg March yang selalu ingin diterima oleh para sosialita kaya.
Eliza Scanlen tampil polos dan lugu sebagai Beth March yang paling pendiam di antara ketiga saudaranya. Sementara, Florence Pugh sebagai Amy March selalu meledak-ledak, berani, dan kekanak-kanakan selayaknya anak bontot.
ADVERTISEMENT
Karakter lain yang bikin senyum-senyum sendiri selama Little Women diputar adalah Teddy Laurence, yang diperankan oleh Timothee Chalamet. Sebagai cucu dari seorang kaya-raya, ia kesepian, dan akhirnya menemukan kebahagiaan di tengah empat kakak-beradik tersebut.
Timothee Chalamet memberikan energi baru untuk karakternya. Chemistry-nya dengan Saoirse Ronan juga menciptakan momen lucu dan menyedihkan.
Penampilan para pemeran pendukung seperti Laura Dern sebagai Mary March, ibu dari keempat kakak-beradik, Meryl Streep sebagai bibi mereka, sampai Louis Garrel sebagai Friedrich Bhaer, juga semakin mengukuhkan film ini.
Film Little Women akan tayang pada Jumat (7/2) di bioskop Indonesia. Sehabis membaca review film ini, kamu bisa lanjut menyaksikan trailer-nya sebagai berikut.