Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Band independen atau kerap dikenal sebagai band indie semakin diterima di Tanah Air. Meski band indie bergerak tanpa label besar, mereka terus mengepakkan sayapnya di kancah musik Indonesia. Sebagian di antaranya bahkan ada yang menandingi popularitas band atau penyanyi mainstream berlabel besar.
ADVERTISEMENT
Istilah skena pun menyeruak di antara maraknya festival-festival band indie. Istilah itu kian merujuk pada mereka yang menikmati band-band tersebut. Nah, semakin populernya musik-musik bawah tanah (underground), istilah skena juga melekat pada musisi independen.
Scene = Skena = Kancah
Pengamat musik sekaligus founder Irama Nusantara, David Tarigan, pun menanggapi istilah skena yang kini viral di media sosial. Terutama di TikTok dan Instagram, istilah tersebut muncul dan biasa dipakai untuk merujuk orang-orang yang suka pakai kaos band indie.
"Skena kan itu diambil dari bahasa Inggris artinya scene, kadang-kadang gua lebih suka pakai kata scene, ada juga yang pakai kata kancah untuk mendefinisikan scene atau skena," kata David saat dihubungi, Rabu (28/6).
Istilah skena sebenarnya tak terbatas pada penyuka musik independen. Menurutnya, skena atau scene bisa digunakan untuk mengidentifikasi komunitas seni yang lain, seperti film atau musik yang terbatas pada genre tertentu saja, seperti punk, hardcore, hingga rock.
ADVERTISEMENT
David lalu berbicara soal skena musik independen. Kata independen sendiri diambil dari metode yang digunakan sebuah band dalam memproduksi musiknya. Mereka tak mengandalkan label-label besar dan aturan-aturan rigid dalam menghasilkan karya. Praktis, kata dia, band-band indie ini memiliki kebebasan dalam mengeksplor sendiri lagu-lagunya.
"Kalau kita telanjangi, idealisme segala macem, indie itu kan dari independent atau dari metode kan sebenarnya, di saat kita punya kebebasan sendiri, kreativitas sendiri, pada dasarnya considered as independent artist," jelas David.
David sendiri adalah orang yang terlibat dalam membidani musisi-musisi indie di Tanah Air. Ia bersama Hanin Sidharta mendirikan Aksara Records pada tahun 2004. Ragam musik yang diusung band-band yang bernaung di bawah label Aksara Records berpusat pada musik Electropop, Indie Pop, Indie Rock, dan Trip Hop.
ADVERTISEMENT
Band-band seperti Efek Rumah Kaca, White Shoes & The Couples Company, The Brandals, SORE, hingga Superglad ternaung dalam Aksara Record. Perusahaan rekaman yang berbasis di Jakarta itu diawali dari upaya mendokumentasikan perkembangan musik indie di Jakarta.
Istilah skena sendiri memang tak langsung muncul pada saat awal-awal band indie lahir. Awalnya, orang menyebut skena sebagai scene. Berdasarkan data Koleksi Leipzig Corpora, kata skena baru muncul pada tahun 2000-an. Kata-kata tersebut sering diikuti kata-kata sebagai berikut: Pop punk, lokal, musik, band, metal, burgerkill
Menurut David, ada semangat perlawanan yang dibawa oleh skena dan musik indie. Semenjak ada rock n roll, kata dia, anak muda punya musiknya sendiri. Itu dilakukan untuk membedakan musik 'kami' dan 'kalian'.
ADVERTISEMENT
"(Komunitas skena) dari dulu memang seperti itu (eksklusif). Mau di negeri mana pun pasti ada eksklusivitasnya. Kadang-kadang kan kayak bikin secret society, bikin kayak geng. Kayak itu geng kita, itu geng kalian. Ini musik kita, itu musik kalian," kata David.
Smeentara itu, ada pula stigma yang menyebut anak-anak skena adalah orang-orang yang hobi nongkrong dengan pekerjaan tak jelas. David pun tak membantah soal labelling terhadap anak skena tersebut. Menurutnya, penikmat musik di ranah band independen awalnya memang ramai oleh para pengangguran yang tak jelas hidupnya.
"Padahal yang denger (musik indie) banyak, cuman iklan susah, karena selalu dikonotasikan terhadap pengangguran yang dengerin. Anak muda yang belum menghasilkan macem-macem, pengangguran, hal-hal kayak gitu" katanya.
ADVERTISEMENT
Geliat Kemuculan Band Indie
Kemunculan band indie di Indonesia tak lepas dari perkembangan musik di Inggris pada tahun 1970-an. Saat itu band-band dengan musik bergenre punk masif bergerak. Dalam sebuah tesis, Musik Indie sebagai Perlawanan Terhadap Industri Musik Mainstream di Indonesia (2012), era punk di Inggris berlomba-lomba merilis rekaman mereka dengan metode D.I.Y (do it yourself).
Di tahun 1971, Indonesia mulai kedatangan berbagai grup band yang mengusung metode independen dalam memproduksi lagu-lagunya. Saat itu, istilah scene atau skena belum lazim digunakan untuk mengidentifikasi komunitas tersebut, mereka lebih memilih menggunakan kata musik underground (bawah tanah).
Bahkan, di tahun yang sama telah ada festival musik di Surabaya bertajuk Underground Music Festival. Band-band indie seperti God Bless, AKA, Super Kid, hingga Giant Step ikut memeriahkan festival tersebut.
ADVERTISEMENT
Musik indie semakin santer terdengar saat PAS Band asal bandung mulai ikut meramaikan festival-festival underground di awal kemunculannya tahun 1989. Kesuksesan dalam merilis mini album Four Through The Sap yang produksi hingga distribusinya dilakukan sendiri, mampu menarik perhatian label besar (major label), seperti Aquarius Record.
Band indie, Superman is Dead asal Bali juga berhasil menarik label besar Sony Record. Di awal 2000-an, mulai muncul band indie yang meramaikan skena musik independen hingga saat ini. Nama-nama seperti The Adams, SORE, Goodnight Electric, Sajama Cut, White Shoes and the Couples Company, Mocca, The Brandals, hingga The Upstairs kiprahnya makin moncor sampai di kalangan scenester (pegiat skena) golongan Gen Z.
Label kecil (minor label) juga mulai muncul dan menaungi band-band independen. Di tahun 1999, FFWD Records asal Bandung jadi salah satu label yang membantu band independen mulai memiliki rekaman lagu dengan hasil yang lebih proper. Salah satu band indie yang terkenal adalah Mocca.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, di tahun 2004, Aksara Records ikut menjadi wadah dalam menggodok lagu-lagu band indie. Aksara Records yang merupakan bagian dari Aksara Bookstores pun mulai menjual rilisan fisik dari lagu-lagu tersebut.
Beberapa lokasi di Jakarta juga menjadi tempat andalan perhelatan acara-acara musik berskala kecil atau biasa dikenal dengan sebutan gigs. Biasanya, gigs hanya akan fokus mengundang satu genre musik saja. Di tahun 1997-an, Poster Cafe jadi tempat langganan event gigs di eranya. Tempat ini jadi saksi bisu skena musik independen berkembang, khususnya di kawasan Jakarta Selatan.
Tak heran banyak yang menyebut juga kancah musik ini sebagai skena Jaksel. Poster Cafe saat itu berada di area Museum Satria Mandala di kawasan Jakarta Selatan. Ada juga Bar Blues (Menteng, Jakpus), Parc Bar (Blok M, Jaksel), Score! Cilandak Town Square, Jaya Pub (Thamrin, Jakpus), hingga Heyfolks (Mayestik, Jaksel).
Iqbal, salah satu pegiat skena di era 2000-an mengaku sering menonton gigs di bilangan Jakarta Selatan, seperti Barito dan De Javu. Kala itu, event gigs masih banyak yang gratis, paling mahal dibanderol Rp 10-15 ribu.
ADVERTISEMENT
"Tahun 2008-2009 (nonton gigs) cuman Rp 10-15 ribu. Jadi, biasanya gigs, minggu pertama di Bekasi, minggu selanjutnya di daerah Selatan, terus ke daerah Utara Bekasi, terus di Tambun. Kalau misalnya temen ngajak ke Jaksel, berarti ke Barito, De Javu. De Javu itu di Menteng kayak bar. Underground zaman dulu di situ udah ada," jelas Iqbal kepada kumparan, Selasa (27/6).
Kalau saat ini, harga sekali nge-gigs mulai dari Rp 75 ribu hingga Rp 350 ribu. Sementara yang di atas Rp 500 ribu biasanya merupakan festival. Kalau mau gratis pun sebenarnya ada. Biasanya dapat dijumpai di M Bloc Space, Jakarta Selatan.
Band-band Independen Saat Ini
Layanan streaming musik, Spotify juga tak ketinggalan merayakan musik-musik di skena independen. Hal itu dilakukan melalui playlist IndieNesia dan SkenaGres. Dari sini, kita bisa melihat pelaku musik independen yang tengah jadi favorit kalangan muda-mudi saat ini.
ADVERTISEMENT
Dalam playlist IndieNesia, misalnya, Pamungkas menempati posisi pertama musisi dengan pendengar terbanyak mencapai 7 jutaan. . Disusul dengan Nadin Amizah, Soegi Bornean, hingga Sal Priadi. Data ini ditarik pada 28 Juni kemarin.
Sebagai perbandingan, band-band arus utama seperti Dewa 19 punya 4,4 juta pendengar bulanan. Sementara Noah punya 2,1 juta pendengar bulanan. Adapun band beraliran pop melayu seperti Armada punya 3 juta pendengar bulanan.
Di SkenaGres, popularitas untuk saat ini dipegang Reality Club dengan pendengar mencapai 2.977.472. Urutan kedua, ada Grrrl Gang dengan total pendengar mencapai 487.619. Satu minor label dengan Hindia, Lomba Sihir yang baru muncul tahun 2019 ini mampu menempati posisi ke-3 dengan pendengar mencapai 444.080.
ADVERTISEMENT