Soal Tradisi Tarung Gladiator, Sekolah Jangan Tutup Mata

1 Desember 2018 11:36 WIB
clock
Diperbarui 21 Januari 2021 11:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Warisan Belajar Menghajar. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Warisan Belajar Menghajar. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Fenomena tarung gladiator di kalangan pelajar, atau yang juga dikenal dengan sebutan partai mungkin memang tidak diketahui orang banyak. Meski laga partai satu lawan satu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun tindakan ini tetaplah meresahkan.
ADVERTISEMENT
Puncaknya, pada 2016 lalu tarung gladiator atau laga partai memakan korban nyawa seorang pelajar dari Bogor. Kasus ini kemudian menguak lagi ke permukaan pada 2017 dan cukup menyita perhatian masyarakat.
Tindak kekerasan dalam bentuk apapun memang tidak bisa dibenarkan dan tak menutup kemungkinan untuk kena jerat hukuman. Namun, bagaimana dengan kasus partai ini? Mengingat, posisi kedua pelajar yang sama-sama bersepakat untuk berkelahi dan jika berusia di bawah 18 tahun masih dalam kategori anak.
Menurut Erasmus A.T. Napitupulu, Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), kekerasan yang terjadi karena sepakat berkelahi sebenarnya tidak bisa dijerat pidana. Karena kekerasan yang bisa dijerat pidana adalah penganiayaan dan harus satu arah.
“Jadi kalau dia melakukan pembalasan segala macam itu harus dalam kacamata pidana dan harus dilihat siapa pelaku siapa korban karena bisa jadi yang dilakukan korban itu pembelaan. Jika terancam jiwanya, memukul balik untuk membela orang lain atau dirinya sendiri itu dalam pidana dibenarkan,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Jika kasus partai ini sampai harus dipidanakan, Erasmus merekomendasikan untuk dilakukan diversi berdasarkan Undang-Undang SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak). Namun, beda hal jika salah satunya sampai meregang nyawa.
“Kalau salah satu pelaku sampai mati bagi saya silakan dipidana, tapi bagi saya yang paling penting itu dikasih tindakan, jadi bentuk pidananya itu bukan penjara tapi namanya anak-anak sama anak-anak ini kan masih perlu dibina ya, karena mereka juga korban,” ujar Erasmus.
Dia menambahkan, meski para pelaku partai ini masih masuk dalam kategori anak, bukan berarti mereka tidak bisa dipidana, namun konstruksi hukum pidana dan hukum acara di Indonesia memungkinkan pelaku untuk tidak dipidana penjara, melainkan diberi tindakan. Kalaupun harus dipidana jatuhnya bukan pidana penjara, namun dibina di lembaga, pelatihan kerja atau lain-lain.
Kasus kekerasan pelajar di Indonesia. (Foto: Anggoro Fajar/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kasus kekerasan pelajar di Indonesia. (Foto: Anggoro Fajar/kumparan)
Jangan tutup mata
ADVERTISEMENT
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menjadi salah satu pihak yang ikut mengawal kasus gladiator di Bogor. Dalam temuan Komnas PA, kasus-kasus kekerasan pelajar macam itu sering kali terjadi akibat adanya pembiaran oleh pihak sekolah.
“Ketika kita melakukan investigasi dengan baik ternyata kita menemukan bahwa telah terjadi pembiaran di sekolah itu membangun komunitas anak dalam bentuk partai/gladiator dan sebagainya meniru salah satu bentuk kekerasan yang seolah-olah itu adalah satu energi remaja sistem ke-gengan,” ujar Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas PA.
Menurut Arist, pembiaran kasus gladiator terjadi karena pihak sekolah kadang-kadang tidak mau publik tahu di sekolah telah terjadi kekerasan. Sekolah dianggap menutup-nutupi karena demi nama baik sekolah.
“Yang terjadi di Bogor waktu lalu, kan, seolah-olah itu sekolah enggak tahu, padahal (gladiator/partai/tawuran) itu sudah tradisi. Nah tawuran itu pasti tradisi, enggak pernah enggak tradisi karena itu ada junior dan senior,” terang Arist.
ADVERTISEMENT
Menurut Arist sekolah harus memberikan perhatian serius dan tidak menutup mata terkait tragedi partai pelajar SMA ini. Pihak sekolah tidak boleh sampai tidak tahu bahwa di sekolah tersebut siswanya telah melanggengkan tradisi partai.
“Itu kalau dia (sekolah) mengatakan tidak tahu, padahal itu sudah mentradisi dan lama, itu namanya pembiaran. Itu tindak pidana juga,” tutur Arist.
Arist berharap, “Saya kira berhentilah untuk melakukan (kekerasan) itu, lingkungan sekolah harus betul-betul menjadi zona antikekerasan apapun bentuknya apapun alasannya itu harus disterilkan dari lingkungan sekolah.”
-------------------------------------------------
Simak ulasan lengkapnya di kumparan dalam topik Warisan Belajar Menghajar.