Tarung Gladiator Digarap Serius: Ada Panitia dan Jadi Bahan Taruhan

1 Desember 2018 10:33 WIB
clock
Diperbarui 21 Januari 2021 11:20 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Warisan Belajar Menghajar. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Warisan Belajar Menghajar. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Masa SMA disebut masa yang paling indah, dengan segala kenangan yang mewarnai. Sayangnya bagi sebagian besar teman-teman kita, masa SMA diisi dengan kenakalan dan kekerasan, seperti tawuran atau tarung gladiator (partai).
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan tawuran, tarung gladiator dilakukan secara diam-diam, tersembunyi, dan sistematis. Kegiatan ini biasanya enggak melibatkan banyak orang, kecuali dua pihak yang saling bermusuhuan.
Pun dengan peraturan yang wajib dipatuhi oleh tiap pesertanya. Para pelakunya hanya diperkenankan untuk berkelahi satu lawan satu dan tanpa senjata, alias tangan kosong.
Selain itu, kedua belah pihak juga akan berunding untuk menentukan lokasi pertarungannya sendiri. Mulai dari taman, lapangan, hingga gang sempit yang jauh dari lalu-lalang orang.
“Ada juga aturan yang harus disepakati bersama sebelum bertarung. Mulai dari larangan mukul muka, selangkangan, enggak boleh pakai senjata tajam, atau enggak boleh sampai berdarah. Kedua belah pihak harus setuju soal ini,” ujar Gopang (nama samaran), pelajar asal Jakarta yang pernah terlibat tarung gladiator kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Ia melanjutkan, meski begitu, tak jarang bahwa dari para pelakunya justru melakukan partai tanpa terikat peraturan apapun.
“Biasanya, kalau sudah menyerah, enggak dilanjutkan. Tapi ada juga yang sampai bonyok. Lebih sering, sih, enggak pakai peraturan” lanjut Gopang.
Ikut ekskul beladiri hingga menggunakan jimat
Enggak cuma peraturan, penentuan menang-kalah juga enggak dapat ditentukan secara saklek. Gladiator bisa dinyatakan selesai jika salah satu pihak sudah menyerah dan terkapar di tanah, atau tetap dilanjutkan meski dengan tangan patah.
“Kalau ada yang tangannya patah, tapi dia belum menyerah, berarti belum ada yang kalah. Ada juga temen gue partai, dia sampai amnesia, bahkan struk ringan. Biasanya, kalau sudah terlalu parah, teman-teman dari petarung yang bakal menyudahinya,” kenang Gopang.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi Warisan Belajar Menghajar. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Warisan Belajar Menghajar. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Satria mengatakan, sadar dengan segala risiko yang mengintai serta harga diri yang dipertaruhkan, ia mengaku mengikuti ekstrakurikuler bela diri di sekolahnya. Bahkan, tak sedikit para pelajar yang membekali dirinya dengan menggunakan jimat saat bertarung.
Jenis jimatnya ada dua, pertama bawaan dari orangtua atau keluarga. Kedua, ada yang membawa jimat sebagai pegangan dan diperjualbelikan.
“Jimat itu biasanya kalau dipukul, dia enggak kenapa-kenapa. Enggak merasakan sakit sama sekali, enggak capek," beber dia.
Jadi ajang taruhan
Seperti yang sudah dijelaskan, bak pertandingan bela diri profesional kayak UFC yang memiliki ‘panitia’ khusus, dalam kegiatan ini juga ada perputaran uang dari para penontonnya.
Maklum, dalam satu kali partai, biasanya ada sekitar 20-30 orang pendukung dari kedua belah pihak yang akan dengan sabar memantau jalannya pertandingan.
ADVERTISEMENT
"Transaksi uang itu biasanya dari yang nonton. Mungkin dia ada keinginan pribadi untuk menjadikan partai ini sebagai tempat judi. Taruhannya beragam, bisa uang, tantangan, kayak push up atau lainnya. Kalau uang ini jarang, tapi biasanya nominalnya kecil. Paling Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu. Enggak mungkin lebih dari itu," terang Satria.
Lantas, adakah ganjaran hukum bagi para pelaku tarung gladiator? Simak penjelasannya di artikel berikutnya.
-------------------------------------------------
Simak ulasan lengkapnya di kumparan dalam topik Warisan Belajar Menghajar.