Tarung Gladiator Jadi Contoh Salah dalam Membela Nama Sekolah

1 Desember 2018 11:05 WIB
clock
Diperbarui 21 Januari 2021 11:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Warisan Belajar Menghajar. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Warisan Belajar Menghajar. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
ADVERTISEMENT
Menyelesaikan masalah antarpelajar bisa dilakukan dengan banyak hal. Bagi siswa di sejumlah sekolah di Jakarta, salah satu praktik yang kerap dilakukan sebagai sebuah tradisi penyelesaian masalah yaitu tarung gladiator atau biasa juga disebut partai.
ADVERTISEMENT
Banyak faktor yang menjadi pemicu terjadinya partai, di antaranya urusan geng, hasrat pribadi, masalah cewek, atau karena ingin sekadar ‘nampang’. Faktor lainnya yang menjadi sebab ajang partai menjadi bergengsi bagi para siswa ini yaitu mereka menganggap bahwa ajang tersebut membawa nama baik sekolah.
“Namanya juga gue bela (nama baik) sekolah gue, walaupun dari tongkrongan. Apalagi nama gue bakal melejit, kan? Sekolah lain bakal tahu nama gue,” kata Gopang (nama samaran), salah satu pelajar asal Jakarta.
Gopang menganggap bahwa tarung partai merupakan bentuk patriotisme dan pengorbanan dirinya bagi sekolah. Membela sekolah lewat partai baginya menjadi kebanggaan tersendiri. Namun sekolah enggak seiya sekata dengan pandangan Gopang.
Contohnya SMA Negeri 8 Jakarta yang menanggapi soal fenomena partai ini. Agusman Anwar, kepala sekolah tersebut langsung terlihat berang ketika mendengar para siswa pelaku partai ternyata bertarung untuk nama baik sekolah.
ADVERTISEMENT
“Membela sekolah kita enggak butuh (partai) itu, itu malah mencemarkan sekolah. Nah, so what gitu loh? Emang kamu menang apa yang didapat? Enggak ada. Orangtua harus ikut kasih tau. Kita enggak butuh itu (partai),” ujar pria yang akrab disapa Agusman.
Agusman menyayangkan para siswa pelaku partai berpikiran mereka membela sekolahnya masing-masing. Menurutnya ada banyak cara lain ketika para siswa hendak membela nama baik sekolah.
“Kalau mau mari ikut O2SN, kegiatannya legal sekaligus. O2SN tuh apa, Olimpiade Olahraga Siswa Nasional, ada karate di situ, ada pencak silat, lo ngikut dah. Itu legal,” katanya dengan suara tinggi.
Selain menganggap bahwa partai adalah ilegal, Agusman juga beranggapan para pelaku tradisi partai harus dimusnahkan karena enggak memiliki manfaat sama sekali.
ADVERTISEMENT
“Kalau Anda membela harga diri Anda, tunjukkan dengan cara-cara yang baik, bukan itu. Ada salurannya. Anda jago di situ, ada salurannya, O2SN, ada karate, ada pencak silat di situ. (Partai) itu adalah cara-cara yang dilakukan oleh pengecut menurut saya,” ujarnya.
Illustrasi duel antara siswa Sekolah Menengah Atas. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Illustrasi duel antara siswa Sekolah Menengah Atas. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Sebelumnya, Agusman mengaku sudah memberikan penyadaran pada para siswa mengenai peran dan fungsinya di keluarga dan masyarakat. Akan tetapi apabila sudah diberi penyadaran siswa tetap melakukan partai, sekolah juga enggak segan-segan untuk melakukan tindakan.
“Kalau kita mengacu kepada regulasi, kalau sudah mengarah kepada tindak pidana, ya kita serahkan kepada yang berwenang, sekolah ini kan kami dunia belajar dan (hukuman) itu juga pembelajaran buat anak. Jangan lalu dilakukan pembiaran, enggak,” terang kepsek salah satu SMA favorit di Jakarta itu.
ADVERTISEMENT
Loyalitas yang salah
Beberapa pelaku partai mengaku melakukan partai karena loyalitas kepada teman-teman satu tongkrongannya. Sekali ada perhelatan partai tetapi enggak ikutan, siswa tongkrongan itu langsung akan merasa enggak enak dengan temannya.
“Gue kalau misalnya enggak ikut partai pasti ngerasa enggak enak banget sama teman-teman gue. Soalnya teman-teman gue udah belain sekolah gue sampai bonyok dan gue enggak ikutan sama sekali. Hampir semua kegiatan partai di sekolah gue ikutin sih,” ujar Satria, siswa SMA lain pelaku partai.
Menyoroti hal ini, Agusman berpesan bahwa teman yang baik itu bukan yang membenarkan segala tindakan. Termasuk pembenaran soal tindakan partai dan masalah enak-enggak enak ikut partai bersama mereka.
“Coba, deh, baru kenal temannya sebulan dua-bulan, ‘Wah enggak enak, gue, kan, bagian dari (kelompok) ini’. Itu loyalitas yang salah. Paling kalau udah terjadi ada korban, paling temannya hanya mengantar ke makam, habis itu dia lupa dia akan mulai lagi dengan kehidupannya,” Agusman berkomentar.
ADVERTISEMENT
Menurut Agusman, teman tongkrongan di sekolah hingga kuliah itu sifatnya sesaat sehingga loyalitas itu seharusnya diberikan kepada orangtua yang lebih peduli dengan kehidupan kita.
“Yang namanya orangtua tidak akan pernah lupa. Kalau kamu sakit, yang akan besuk kamu tiap minggu tiap bulan, orangtua, bukan temanmu. Namanya orangtua, dari lahir dari mulai dalam (perut) sini sampai detik ini, itu yang setia mendampingimu,” pungkasnya.
-------------------------------------------------
Simak ulasan lengkapnya di kumparan dalam topik Warisan Belajar Menghajar.