Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Bangku Kosong Paling Depan
7 Mei 2025 11:21 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kematian adalah penutup bab kehidupan manusia. Seorang remaja yang kukenal dua tahun terakhir, telah menutup lembaran buku kehidupannya minggu kemarin. Dia pergi tanpa tanda bahkan tidak mengucap kata perpisahan.
ADVERTISEMENT
Dia baru menginjak usia 20-an tetapi kita sadar bahwa tidak ada batasan usia ketika kematian menghampiri.
Seorang temannya tersedu sedan di depan makamnya sambil mengucap maaf. Tangisnya pecah mengingat mereka memiliki rencana yang belum digapai, tetapi demikian kematian. Dia hadir tanpa permisi dan membawa pergi jiwa tanpa alasan.
Kelas mereka tak lagi sama, ada bangku depan yang akan selalu kosong dan menyisakan kenangan yang menyedihkan. Sejatinya hari ini pria itu mengikuti ujian tengah semester, tetapi ternyata pertanyaan ujiannya jauh lebih berat dari apa yang sedang dijalani oleh teman-temannya;
"Man rabbuka"?
Man nabiyyuka?
Aina qiblatuka?
Dan serangkaian pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak bisa dijawab dengan hapalan, bahkan bukan tangan yang menulis atau mulut yang berbicara tetapi setiap anggota tubuh bersaksi.
ADVERTISEMENT
Apa gerangan yang dia sedang jalani di malam pertama bersemayam bersama bumi?
Entahlah...!
Bangku kosong paling depan.
*****
Kumpulan kutipan Seneca yang dibukukan dengan judul How to Die, panduan klasik menjelang ajal memberikan panduan bagaimana berdamai dengan ajal untuk hidup yang lebih tenang.
Namun sebanyak apapun tulisan tentang kematian, tetap saja manusia akan bergelut dengan kehidupannya masing-masing dan tidak puas akan jawaban dari buku. Tidak ada nilai absolut yang akan memenjarakan pikiran manusia kecuali hanya sedikit.
Manusia beragama tunduk pada aturan agamanya tetapi pun akan bertanya tentang makna hidup yang sedang dijalaninya. Pikiran tidak bisa dibatasi dengan segala batasan karena naluriahnya, pikiran tak terbatas ruang dan waktu.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan-pertanyaan eksistensial di kepala setiap manusia akan selalu menari-nari selama manusia masih bernafas. Pertanyaan yang datang dengan tiba-tiba tanpa bisa dikompromikan selama manusia berfikir.
Apa itu hidup?
Kenapa ada kematian?
Dan serangkaian tanya-tanya lain yang kerapkali memaksa manusia berperang melawan dirinya sendiri. Pada akhirnya jawaban yang hadir berasal dari luar diri manusia. Dari kitab suci, dari pandangan filsuf, pun dari kepasrahan akan ketiadaan daya untuk memecahkan teka-teki kehidupan.
Namun dari semua tanya eksistensial, kematian salah satu yang paling terbesar. Entahlah, mungkin karena kemelekatan manusia sudah terlalu kuat dengan dunia yang sedang dijalani sementara kematian merupakan momen luruhnya semua atribut-atribut pada diri manusia yang diperjuangkan selama hidupnya.
Kenapa kita tidak punya kuasa untuk menunda kematian, ataukah kenapa kita harus ada di dunia ini sebagai manusia?
ADVERTISEMENT
Jean Paul Sartre mengingatkan kita bahwa;
Kematian merampas semua rasa ingin yang dimiliki oleh manusia. Ingin bahagia, ingin kaya, ingin memiliki segalanya, dan ingin-ingin lain yang seakan tidak ada batasnya. Mati sebagai titik akhir memang paradoksal. Manusia meyakininya tetapi manusia pun sangat menakutinya.
Mungkin kepastian adanya kematian juga yang membuat kehidupan lebih bermakna. Manusia yang akan berbuat jahat akan mengurungkan niatnya ketika menyadari suatu saat nanti akan mati, atau manusia yang terlalu rakus akan menyadari sifatnya ketika menyadari apa yang dikejarnya akan ditinggalkan suatu saat nanti.
*****
Ingatanku berjalan mundur perlahan sekira dua minggu silam. Aku masih ingat semua detail di dalam kelas mata kuliah manajemen risiko. Momen di mana aku menugaskan mahasiswa untuk menyusun manajemen risiko pribadi mengenai apa yang mereka bayangkan tentang hidupnya sepuluh tahun kemudian dan apa capaian yang ingin direalisasikan.
ADVERTISEMENT
Tugas tersebut untuk memetakan risiko apa yang mereka hadapi untuk menapaki jejak hidup dan bagaimana proses mitigasinya. Tujuannya agar apa yang mereka targetkan bisa tercapai.
Ada begitu banyak risiko yang bisa diidentifikasi dan satu risiko terbesar kehidupan tentu kematian. Kita tidak memiliki kuasa untuk memitigasi risiko kematian yang datang tiba-tiba. Semua sudah yakin bahwa ketika dia datang maka semua hal akan berhenti, apapun itu.
Yogi, mahasiswa yang memang memang selalu duduk di depan di setiap kelas yang aku ampu, dengan penuh perhatian mencatat hal-hal detail. Entah apa yang sedang dicatat ketika aku menjelaskan penugasan. Aku tidak bisa memastikan apa yang ada di dalam benaknya ketika aku menugaskan untuk membayangkan diri mereka sepuluh tahun kemudian.
ADVERTISEMENT
Tidak sampai sebulan setelah kelas itu, dua hari kemarin pada dinihari, aku membaca pesan dari salah seorang teman kelasnya bahwa Yogi telah berangkat lebih dulu - bukan ke kampus tetapi ke kampung abadi.
Sepersekian detik kemudian, semua serpihan interaksi dengannya muncul di sudut memoriku, tentang hal-hal baik yang tertinggal sebagai seorang mahasiswa.
Aku mengenangnya sebagai sosok mahasiswa yang penuh perhatian dan tanggung jawab. Seingatku, dia tidak pernah sekalipun menempati bangku bagian belakang ketika aku mengajar, dia pun tidak pernah membuat kelas menjadi riuh dan yang aku kenang hanyalah dia yang selalu berusaha untuk tetap perhatian meskipun mungkin dia sedang bosan.
Segalanya tentang kenangan. Kehilangan menyakitkan bukan karena kehilangan an sich tetapi kenangan yang selalu membayangi bahwa ada kebiasaan yang tiba-tiba berubah yang diambil oleh kematian.
ADVERTISEMENT
Kita begitu mencintai kampung halaman kita tempat bertumbuh bukan karena keindahannya dan atribut lainnya tetapi karena kenangannya. Bayangkan seorang manusia yang tinggal jauh di pedalaman yang membutuhkan waktu berhari-hari untuk sampai di kampungnya, maka dia akan tetapi mencintai kampungnya ketika suatu saat dia merantau, sejauh apapun kampungnya.
Kenangan membuat manusia hidup dalam romantisasi masa lalu. Manusia mencintai kenangan dan begitu menyakitkan untuk menyadari kematian merenggut keadaan yang tidak lagi sama, yang tersisa hanya kenangan.
Kenanganlah yang kemudian membuat manusia bersedih dan yang pergi akan tinggal dalam kenangan karena lembar halamannya sudah ditutup minggu kemarin.
Entah dia sudah menyusun draft tugasnya tentang kehidupannya sepuluh tahun kemudian atau mungkin juga semesta sudah mengirimkannya sinyal bahwa halaman terkahir hidupnya tidak akan lama, alih-alih sepuluh tahun bahkan sebulan pun tak tergapai.
ADVERTISEMENT
Dia pergi dengan sejuta tanya yang belum belum terjawab, berlalu bersama impian-impian yang tertelan ajal dan semua pengharapan yang seakan berakhir begitu saja.
Aku mencoba memaksa memoriku untuk mengingat apa percakapan terakhir dengannya namun yang muncul hanya bayang-bayang samar ketika dia mengabariku bahwa teman-temannya sudah di kelas. Mungkin itu yang terakhir.
Atau mungkin juga di dalam kelas saat diskusi, dia menanyakan tentang hukum yang sifatnya mengatur dan memaksa tapi aku benar-benar lupa apa konteksnya.
Satu hal yang pasti bahwa ketika kematian akan datang, dia tidak memberikan aba-aba kepada siapa saja yang ditinggalkan. Dia datang dengan cueknya, mengambil secara random siapa saja yang dikehendaki kemudian berlalu dan seterusnya begitu. Maka yang menderita adalah mereka yang ditinggalkan.
ADVERTISEMENT
Itulah kenapa pada masa perang dulu, para eks militer yang lolos dari maut dan pulang ke negaranya, sebagian dari mereka menderita kegilaan dan trauma menyaksikan kematian demi kematian setiap hari, sementar mereka yang mati di medan perang berakhir dalam damai.
Manusia menyadari bahwa risiko paling besar dalam kehidupan adalah kematian dan yakin akan kedatangannya suatu saat. Namun selalu saja ketika tiba waktunya, ada perih yang tertinggal. Sekeras apapun kita berdamai dengan kematian maka sekeras itu pula dia datang dengan segala penderitaan dan rasa sakit bagi yang ditinggalkan.
Semua takkan sama lagi, kehilangan akan meninggalkan ruang yang tak terisi, dan bangku paling depan tepat dihadapanku akan tetap kosong, meninggalkan serpihan kenangan yang tak kuasa dirajut karena raga sudah luruh bersama waktu yang menua.
ADVERTISEMENT
Bangku depan itu, sudah kosong selamanya...!
5 5 25