Konten dari Pengguna

Bicara Tentang Uang

Minhajuddin
Akademisi Unisa Bandung - Peneliti pada Kajian Strategis Hubungan Internasional (KSHI).
21 Juli 2024 10:08 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Uang sebaiknya tidak hanya diperlakukan semata sebagai benda fisik. Photo: https://unsplash.com/Giorgio Trovato
zoom-in-whitePerbesar
Uang sebaiknya tidak hanya diperlakukan semata sebagai benda fisik. Photo: https://unsplash.com/Giorgio Trovato
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan lalu menjelang mudik, saya dan istri mengobrol santai ketika sedang dalam perjalanan ke sebuah swalayan di bilangan Pejaten tentang mudik dan semua dinamikanya, termasuk tiket yang lumayan menguras habis isi dompet.
ADVERTISEMENT
Saya bertanya retoris kepadanya; apakah jika kita tidak mudik, uang yang seharusnya kita gunakan untuk membeli tiket akan menambah tabungan? mungkin iya secara nominal tetapi secara rasa, akan sama saja ketika mudik atau tidak.
Dari diskusi-diskusi kecil dengan istri, saya mengambil kesimpulan bahwa pada dasarnya, Semesta memberikan uang kepada manusia dengan porsi yang sudah ditentukan. Misalnya kita mendapat rezeki yang sebenarnya untuk mudik, ketika kita memaksakan untuk tidak mudik karena membayangkan uang tersebut akan kita tabungan, maka yakinlah bahwa uang itu akan menguap begitu saja.
Harta, khususnya uang memang sesuatu yang misterius. Jumlahnya bisa dikuantifikasi dengan gampang, tinggal cek saldo di rekening. Namun demikian, uang juga memiliki sisi lain yang tidak bisa dikuantifikasi. Aspek ini sangat erat hubungannya dengan psikologis masing-masing manusia dalam memperlakukan uang seperti apa.
ADVERTISEMENT
Analogi yang sering digunakan mengenai uang pada aspek yang lain adalah diandaikan seperti pasir. Semakin kita menggenggam erat pasir maka pasti akan semakin banyak yang jatuh sementara ketika ketika menggenggam dengan sedikit longgar, biasanya jumlah pasar yang ada di tangan akan lebih banyak.
Demikian halnya dengan uang. Semakin kita pelit dan takut kehilangan sehingga membuat kita menggenggam dengan sangat erat maka biasanya ada saja kondisi yang membuat pengeluaran kita melonjak.
Sedangkan ketika kita memperlakukan uang dengan agak longgar, menyempatkan sedekah dan tidak menggenggam dengan kuat, maka biasanya uang tidak akan terlalu banyak keluar bahkan sebaliknya, kadang-kadang ada pemasukan yang tidak disangka-sangka arah datangnya.
Kisah yang sangat termasyur yang sering diceritakan di atas mimbar yaitu kisah tentang sahabat Nabi yang kaya raya kemudian ingin miskin sehingga menyumbangkan kekayaannya kepada mereka yang membutuhkan. Alih-alih menjadi miskin, kekayaannya semakin berlipat ganda.
ADVERTISEMENT
Uang memang kadang-kadang menipu. Ketika kita terlalu bernafsu untuk mengejar dan mengumpulkan uang, seringkali sangat susah terkumpul bahkan ketika kita menjadi pelit karena takut miskin, seringkali akan ada hal-hal genting yang membuat kita akhirnya mengeluarkan uang.
Salah satu buku yang menarik dibaca terkait uang adalah Psikologi of Money. Penulisnya menggambarkan uang tidak hanya sekadar kertas yang diproduksi oleh bank sentral tetapi memiliki sisi lain.
Jika pada akhirnya kita mengerti hakikat uang dan bagaimana seharusnya kita memperlakukan uang dalam kehidupan kita, maka kita akan lepas dari bencana besar kemanusiaan karena sejatinya, mayoritas tragedi kemanusiaan disebabkan karena perebutan harta.
Manusia melampaui itu semua. Jika kita hidup hanya menghabiskan waktu mengejar uang maka kita tidak lebih dari sekadar robot mekanik yang berjalan tanpa arah.
ADVERTISEMENT