Konten dari Pengguna

Hidup yang Tak Terdefinisikan

Minhajuddin
Akademisi Unisa Bandung - Peneliti pada Kajian Strategis Hubungan Internasional (KSHI).
14 Oktober 2023 19:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seorang Karyawan yang resign meninggalkan catatan di keyboard komputer. Photo: Nick Fewings/unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang Karyawan yang resign meninggalkan catatan di keyboard komputer. Photo: Nick Fewings/unsplash.com
ADVERTISEMENT
Dulu saat masih bekerja di perusahaan, saya selalu mengetahui terlebih dulu siapa saja karyawan yang akan resign karena sebelum surat pengunduran dirinya disetujui oleh bagian HRD. Ada semacam surat rekomendasi dari bagian tim kami. Dalam setahun, biasanya tidak kurang dari sepuluh karyawan yang mengajukan resign.
ADVERTISEMENT
Setiap kali mendapat surat pemberitahuan resign, saya selalu mencari tahu alasan seorang karyawan mengajukan resign. Bukan hanya sekadar iseng tetapi semacam riset kecil-kecilan untuk mengetahui apa saja alasan karyawan resign sementara ketika awal mendaftar di perusahaan, tidak ada seorang pun yang memaksa, bahkan sangat berharap untuk dapat diterima.
Atau mungkin begitulah tabiat manusia. Ketika belum mencapai tujuan, dia dengan penuh ambisi akan memenuhi hasratnya, tetapi ketika semua sudah di dalam genggaman. Rasa bosan menghantui kemudian melepaskan semuanya.
Ada begitu banyak alasan karyawan mengajukan resign tetapi mayoritas dari mereka sangat normatif dalam menuliskan alasan mereka memutuskan untuk resign.
Saya tidak pernah menemukan satu pun karyawan yang menuliskan alasan resign karena pindah kerja ke perusahaan yang lebih besar dengan tawaran gaji yang lebih tinggi. Meskipun pada kenyataannya, mayoritas karyawan resign karena alasan gaji.
ADVERTISEMENT
Suatu waktu, saya dan salah seorang mantan rekan kerja saya yang sekarang ditugaskan sebagai kepala cabang bercerita banyak hal tentang dunia kerja termasuk bagaimana dia harus berdamai untuk tetap bertahan.
Dia bercerita bahwa sebenarnya sekitar dua tahun lalu, dia mendapat tawaran yang menggiurkan dari perusahaan kompetitor di Jakarta tetapi dia memutuskan untuk tidak mengambil tawaran tersebut dengan alasan yang filosofis.
Pernyataannya tiba-tiba mengingatkan saya tentang apa yang disampaikan oleh bapak Fahruddin Faiz bahwa hidup ini sebenarnya bukan untuk mengejar sesuatu hal yang lebih dalam jumlah yang banyak, jika tidak ingin masalah karena bahagia itu tidak ditemukan dalam mencari lebih banyak, tetapi bagaimana kita mengembangkan kapasitas untuk menikmati lebih sedikit.
ADVERTISEMENT
Ketika kita tidak menikmati apa yang sekarang dijalani, maka niscaya saat semua hal yang ada di angan-angan dikejar kemudian berhasil didapatkan, kita akan kembali ke perasaan tidak menikmati karena yang kita kejar itu ilusi, bukan realitas.
Ada begitu banyak contoh mengenai ini, bagaimana manusia menggebu-gebu ketika belum mendapatkan sesuatu tetapi ketika sudah berada di genggamannya, dia tidak bisa menikmati apa yang sudah didapatkannya.

Manusia Melampaui Kemanusiaan

Ilustrasi Palestina. Foto: Hasnoor Hussain/REUTERS
Tadi siang, saya mengikuti webinar tentang konflik Palestina-Israel. Pertanyaan stimulan dari moderator tentang konflik tersebut adalah
Apa sebenarnya tujuan Israel untuk berusaha mengokupasi seluruh wilayah Palestina?”
Dari ketiga narasumber, tidak ada satu pun yang bisa memastikan jawabannya baik dari perspektif akademik maupun justifikasi teologis tentang tujuan dari Israel terus menerus mencaplok wilayah Palestina.
ADVERTISEMENT
Bisa saja pertanyaan tersebut dijawab dalam berbagai perspektif tetapi akan selalu ada bias karena apakah benar-benar ada manusia yang tujuan hidupnya menghancurkan kemanusiaan? Mungkin ada, tetapi di sinilah letak masalah hidup ini.
Perang menjadi instrumen paling absurd dalam mengejar kepentingan seseorang atau kelompok. Bagaimana dengan teganya kita menghancurkan kemanusiaan demi tujuan manusia lain.
Bukan hanya perang, konsep pertumbuhan ekonomi juga sebenarnya sesuatu yang sangat membingungkan. Konon, produk yang dihasilkan oleh manusia modern, jauh lebih banyak dengan produk yang dihasilkan oleh alam atau dengan kata lain, makhluk di bumi ini.
Betapa mengerikannya jika demikian halnya karena dalih pertumbuhan ekonomi dengan melakukan produksi barang terus menerus sebenarnya hanya berakhir dengan menghasilkan sampah yang kemudian akan dibuang.
ADVERTISEMENT
Manusia tidak benar-benar menghasilkan barang-barang untuk kebutuhan mereka tetapi lebih pada hasrat memproduksi untuk didistribusikan kemudian hasilnya dicatat sebagai angka-angka dan disimpulkan sebagai indikator pertumbuhan ekonomi.
Lalu apa? Produk-produk tersebut sebagian besar tidak dimanfaatkan tetapi berakhir di tempat sampah, di aliran Sungai, di lapangan dan tempat kosong yang dijadikan penampungan barang-barang tak berguna.
Begitulah kita manusia. Hidup dalam bayang-bayang kekhawatiran kemudian menghabiskan energi untuk mengejar dan mengakumulasi barang-barang demi persiapan hari esok yang pada akhirnya tidak dimanfaatkan.
Kita punya begitu banyak pakaian di lemari yang mungkin hanya beberapa pakaian yang sering dikenakan. Kita punya begitu banyak piring di dapur tetapi yang digunakan hanya tiga atau empat secara bergantian. Sisanya kita hanya menghabiskan waktu membersihkan piring-piring yang tidak pernah digunakan, dari debu yang menempel.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, kita memproduksi sampah di sekitar kita dengan berbagai embel-embel. Kita begitu banyak menyimpan sampah di rumah dalam bentuk baju baru, sepatu baru, tas baru, piring dan berbagai benda yang sama sekali tidak pernah digunakan.
Konon katanya, satu kata kunci yang menjadi hal fundamental dalam ilmu ekonomi adalah scarcity. Setelah saya menyaksikan begitu banyak benda yang terbuang, saya sedikit tidak mempercayai konsep tersebut. Mana mungkin sumber daya terbatas ketika di saat yang bersamaan, sekelompok orang membuang begitu banyak produk yang dibutuhkan orang lain.
Jadi, ilmu ekonomi itu terjadi karena sekelompok manusia yang memfabrikasi sistem untuk memonopoli sumber daya.
Begitu kira-kira.

Merefleksikan Tujuan Hidup

Ilustrasi stres. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Dalam beberapa kali kesempatan saat sedang bersantai dengan pasangan, saya sering kali melontarkan pertanyaan sederhana kepadanya bahwa apa sebenarnya yang sedang dikejar di hidup ini? Ketika kita dan orang lain begitu terburu-buru untuk mengejar bayang-bayang yang belum tentu membahagiakan dan mungkin saja tidak nyata.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, pertanyaan ini umum bagi semua manusia bahkan sejak mereka sudah mulai berpikir. Hanya saja manusia kemudian meninggalkan pertanyaan-pertanyaan semacam ini seiring dengan pertumbuhan mereka menjadi orang dewasa yang terdistraksi dengan hal-hal yang artifisial.
Pertanyaan semacam ini tidak akan pernah hilang dari benak manusia dan biasanya, ketika memasuki masa pensiun dan sudah penat mengejar dunia, pertanyaan semacam ini kembali menghujam manusia.
Kita terlalu sering dicekoki jawaban dari perspektif agama untuk menjawab pertanyaan tentang tujuan hidup sehingga tidak ada lagi dialektika yang terjadi karena agama sifatnya “sami'na wa atho'na.” Padahal manusia adalah makhluk yang berpikir dan akan selalu mencari apa yang sesuai dengan dirinya.
Tujuan hidup seseorang bukan sesuatu yang given, Tiba-tiba ada dan melekat dalam dirinya tetapi biasanya dibentuk oleh sejarah masa lalu. Tetapi sejarah masa lalu juga bukan variabel yang determinan karena dalam beberapa kasus, beberapa orang mengalami sejarah masa lalu yang sama tetapi tujuan hidup mereka kontradiktif.
ADVERTISEMENT
Misalnya dua orang yang mengalami kemiskinan akut di masa lalu. Satu dari mereka pada akhirnya berusaha untuk menjadi kaya tanpa peduli orang lain karena sudah merasakan betapa susahnya menjadi miskin, tetapi yang satunya lagi menjadi seorang yang berusaha untuk mengubah sistem karena merasa bahwa menjadi miskin bukan takdir tetapi terjadi secara sistemik. Sehingga dia berpikir bahwa pahitnya menjadi miskin tidak boleh dirasakan oleh semua orang, bukan hanya dirinya.
Perbedaan perspektif dalam melihat sejarah masa lalu biasanya dipengaruhi oleh indoktrinasi dari keluarga dan lingkungan sekitar serta pendidikan dan berbagai preferensi lain. Pada akhirnya, dari berbagai variabel yang dimiliki, manusia kemudian merumuskan tujuan hidupnya.
Mayoritas manusia apalagi yang hidup di era sekarang, menentukan tujuan hidupnya dengan dalih tanggung jawab terhadap keluarga. Memang seharusnya begitu tetapi yang absen dari apa yang dilakoni manusia adalah mereka mengabaikan inti hidup yang mereka jalani.
ADVERTISEMENT
Artinya apa, dengan alasan tanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga, mereka seringkali tidak memikirkan orang lain yang juga memiliki tujuan yang sama untuk memenuhi tanggung jawab keluarganya. Apa yang kita saksikan adalah kompetisi tiada akhir manusia-manusia di dunia yang mengejar kepentingan mereka untuk keluarganya.
Jika kita sedang berjuang untuk bertanggung jawab terhadap keluarga, seharusnya kita tidak culas terhadap orang lain yang juga memiliki tujuan yang sama dengan kita untuk keluarga mereka.
Contohnya apa?
Terlalu banyak contoh di tengah-tengah kehidupan kerja. Kalian sudah terlalu pintar untuk disuapi berbagai contoh saling sikut karena alasan berjuang demi keluarga masing-masing.
Kalau tidak percaya, silakan duduk di kedai kopi dekat stasiun KRL menjelang maghrib sambil menikmati secangkir kopi hangat, beberapa batang rokok dan aneka gorengan. Lalu memandang potret orang-orang yang saling dorong memasuki gerbong kereta.
ADVERTISEMENT
Mereka sama-sama berjuang demi keluarga tetapi mereka tidak berusaha untuk memahami orang lain sebagai bagian dari dirinya.
Itulah kita, manusia.