Konten dari Pengguna

Konsep Kemenangan

Minhajuddin
Akademisi Unisa Bandung - Peneliti pada Kajian Strategis Hubungan Internasional (KSHI).
21 Juni 2024 13:10 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aksi bela Palestina di depan Gedung Sate, Bandung. Photo: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Aksi bela Palestina di depan Gedung Sate, Bandung. Photo: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan yang lalu, Paus Fransiskus menganjurkan pihak Ukraina untuk membuka diskusi dengan Rusia untuk menghindari diri dari korban sipil yang semakin banyak.
ADVERTISEMENT
Tawaran yang mungkin bagi sebagian orang dianggap sangat menyakiti pihak Ukraina karena mereka adalah pihak yang diinvasi tetapi pada akhirnya disuruh untuk membuka pintu diplomasi dengan Rusia.
Tentu hal tersebut bisa dirasakan sebagai manusia biasa karena pada dasarnya, manusia memiliki sifat alamiah untuk membalas perilaku dari orang lain, tetapi apa yang dianjurkan oleh Paus semata melihat big picture-nya bahwa sebenarnya kemenangan bukan dari perang tetapi dari sikap memaafkan.
Sikap yang sama pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika memperlakukan dengan sangat baik seorang Yahudi buta yang sering nongkrong di sudut kota Madinah. Si Yahudi tersebut tidak lelah mengumpat setiap kali ada orang lewat di depannya;
ADVERTISEMENT
Nabi yang sudah tahu kelakuan si Yahudi buta tersebut, tidak lantas membuat beliau berlaku buruk terhadapnya tetapi sebaliknya, setiap hari Nabi membawakannya makanan bahkan tidak hanya itu, Nabi sendiri yang menyuapi Yahudi yang saban hari mengumpatnya.
Sekian waktu berlalu, Nabi wafat dan si Yahudi mendengar berita tersebut yang kemudian dia amat sangat gembira. Namun apa yang terjadi selanjutnya adalah dia merasa kesepian karena tidak ada lagi orang yang setiap hari datang menyuapinya makanan.
Abu Bakar yang mengetahui kebiasaan Nabi menyuapi si Yahudi kemudian berinisiatif untuk melanjutkan kebiasaan Nabi. Pada saat Abu Bakar menyuapi si Yahudi, dia merasakan bahwa tangan yang dulu saban hari menyuapinya berbeda. Abu Bakar kemudian menjelaskan bahwa tangan lembut yang menyuapinya setiap hari adalah tangan Rasulullah SAW yang sudah wafat beberapa hari lalu.
ADVERTISEMENT
Mendengar berita tersebut, si Yahudi menjerit-jerit menangis sejadi-jadinya kemudian memutuskan masuk Islam.
Pada zaman yang berbeda, tokoh Afrika Selatan, Nelson Mandela juga pernah memberikan contoh yang serupa. Mandela dipenjara sekitar 27 tahun oleh lawan politiknya.
Di dalam penjara, Mandela sudah merasakan semua siksaan yang pernah ada bahkan dia dikencingi oleh Sipir berkulit putih. Seiring berjalannya waktu, kehidupan berubah dan membawa Mandela meraih takdir yang baik.
Mandela kemudian menjadi presiden Afrika Selatan. Salah satu hal yang dilakukannya adalah memaafkan orang-orang yang dulu menyiksanya termasuk para Sipir yang mengencingi dirinya di dalam penjara.
Dalam konteks yang lebih sederhana lagi, bagaimana buya Hamka menjadi imam salat jenazah bung Karno padahal pada masa pemerintahan bung Karno, buya Hamka pernah dipenjara atas perintah Presiden dengan berbagai tuduhan yang tidak dilakukannya. Bahkan buku karya buya Hamka dilarang peredarannya.
ADVERTISEMENT
Kisah lain ketika perseteruan panjang antara Pram dan buya Hamka terkait tuduhan plagiasi. Pram menuduh buya Hamka bahwa roman Tenggelamnya Kapal Van der Wijck menjiplak Sous les Tilleuls karya pengarang Perancis Jean-Baptiste Alphonse Karr. Hamka diduga mengambilnya dari saduran penyair Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi, Majdulin atau Magdalena (Di Bawah Naungan Pohon Tilia)
Pada akhirnya, buya Hamka dan Pram tidak saling dendam bahkan saling memaafkan dengan cara yang anomali. Suatu waktu di tahun 1979, Astuti, puteri Pram mendatangani buya Hamka untuk membimbing kekasihnya menjadi mualaf sebelum mereka melangsungkan pernikahan. Astuti mendatangi buya Hamka atas perintah Pram.
Konteks Israel-Palestina
Pertanyaannya kemudian adalah apakah hal semacam itu bisa diterapkan dalam konteks invasi Israel terhadap bangsa Palestina?
ADVERTISEMENT
Tentu ini menjadi perdebatan yang tidak sederhana karena konteks masalah yang berbeda. Sampai saat ini, Israel masih terus menginvasi bangsa Palestina bahkan indikasinya mengarah ke kejahatan genosida.
Dunia internasional sudah melakukan berbagai upaya untuk menghentikan kekejaman yang dilakukan oleh Israel tetapi tidak jua berhasil. Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) sudah memutuskan bahwa Netanyahu bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Palestina, khususnya di Jalur Gaza.
Namun apa yang kita saksikan sekarang jauh dari harapan. Bukannya mengendurkan serangan tetapi Israel semakin menutup mata dari kecaman dunia internasional. Mereka menyerang semua sudut Jalur Gaza yang membuat bangsa Palestina tidak mampu lagi berlindung di bawah langit negaranya.
Memaafkan pihak yang masih melakukan serangkaian tindakan yang bar-bar apalagi dengan alasan yang tidak masuk akal, tentu tidak bisa dilakukan.
ADVERTISEMENT
Perang dan Pemaafan
Kita tidak bisa menggunakan mekanisme pemafaan dalam konteks Israel seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh besar pada zaman dahulu dengan berbagai alasan;
Pertama, bahwa Israel sebagai sebuah entitas berdaulat atas perintah presidennya terus menerus melakukan kejahatan kemanusiaan bahkan pihak ketiga sudah mendesak dengan berbagai alternatif solusi tetapi selalu saja diabaikan.
Kedua, Paus yang meminta Ukraina membuka alternatif diplomasi dengan Rusi untuk menyelesaikan konflik tidak bisa diterapkan pada konteks Israel. Ukraina dan Israel merupakan dua negara berdaulat dan perang yang terjadi masih dalam batasan perang murni antara army sementara apa yang dilakukan oleh Israel adalah pembantaian terhadap masyarakat sipil yang tidak bersenjata bahkan sebagian besar korbannya adalah anak-anak dan wanita.
ADVERTISEMENT
Ketiga, para tokoh terdahulu memaafkan lawan-lawannya karena tindakannya hanya merugikan secara terbatas bahkan terkadang hanya personal. Sementara yang kita saksikan di Gaza adalah tentara yang membumihanguskan masyarakat sipil yang tak berdaya.
Demikianlah, tindakan memaafkan harus ditempatkan secara presisi pada kondisi yang pas.