Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.0
Konten dari Pengguna
Krisis Rohingya dan Warisan Kolonialisme
16 Desember 2023 19:08 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Personel TNI mengawal imigran etnis Rohingya yang terdampar di Desa Lampanah Leugah, Kecamatan Seulimeuem, Aceh Besar, Aceh, Kamis (16/2/2023). Foto: Ampelsa/ANTARA FOTO](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01gscn0d17htyc2cx4tv8agm5d.jpg)
ADVERTISEMENT
Ada dua kata kunci mengenai humanisme yaitu dignity dan value setiap manusia. Kajian tentang humanisme sudah berkembang jauh melampaui apa yang dibayangkan sebelumnya tetapi sayangnya, hanya berada dalam tataran teoritis. Praksisnya masih sangat jauh dari apa yang dicita-citakan.
ADVERTISEMENT
Berbagai bentuk tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masih sering terjadi bahkan rasisme sebagai salah satu bentuk musuh humanisme, masih marak terjadi di berbagai negara. Negara sebagai bentuk institusi yang seharusnya menjadi lembaga yang mengakui dan melindungi HAM seluruh rakyatnya, seringkali menjadi aktor yang melakukan pelanggaran HAM.
Bahkan Amerika Serikat yang dianggap sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM, ternyata masih bermasalah dengan HAM. Di Amerika Serikat, sering terjadi tindakan rasis baik secara vertikal maupun horizontal. Amerika Serikat pun menerapkan kebijakan luar negeri yang melanggar kemanusiaan khususnya terhadap negara yang merupakan oposisi mereka dalam tatanan geopolitik global.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya umumnya terjadi untuk mempertahankan status quo. Tindakan yang dilakukan oleh Junta Militer Myanmar terhadap etnis Rohingya merupakan pelanggaran HAM di abad 21, sementara tidak ada pihak yang mampu menghentikan tindakan tersebut karena dibatasi konsep nation-state.
ADVERTISEMENT
Sebagian negara menganggap bahwa apa yang terjadi di Myanmar adalah persoalan domestik sehingga negara lain tidak boleh melakukan intervensi atas nama kedaulatan sebuah negara.
Ambiguitas konsep kedaulatan dan HAM menjadi sangat konfliktual. Negara bisa dengan bebas melakukan tindakan amoral terhadap rakyatnya sementara negara lain hanya bisa menyaksikan dan paling jauh mengecam. Tidak ada solusi yang bisa dipaksakan karena batas-batas teritori negara.
Etnis Rohingya seharusnya dilindungi oleh pemerintah Myanmar karena merupakan etnis yang tinggal sejak dulu di Myanmar namun alih-alih mendapatkan perlindungan, etnis Rohingya tidak diakui sebagai salah satu bagian dari warga negara Myanmar sehingga implikasinya, hak dan kewajiban sebagai sebuah negara tidak melekat pada diri etnis Rohingya.
Ketiadaan pengakuan sebagai warga negara menjustifikasi tindakan pemerintah Myanmar untuk melakukan kekerasan bahkan mengusir etnis Myanmar karena dianggap sebagai penduduk gelap. Selain itu, masyarakat sipil juga melakukan tindakan yang sama sehingga salah satu jalan keluar bagi etnis Rohingya adalah mengungsi ke negara lain.
ADVERTISEMENT
Menurut catatan UNHCR (2023), sekitar 1 juta etnis Rohingya sudah mengungsi ke negara-negara tetangga. Kekerasan berskala besar dimulai pada tahun 2017. Bangladesh merupakan negara yang paling banyak menampung pengungsi Rohingya namun kondisi di pengungsian juga tidak mendukung karena berbagai diskriminasi yang mereka dapatkan termasuk dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Nature Kolonialisme
Ania Loomba dalam bukunya “Kolonialisme/Pascakolonialisme” menegaskan bahwa kolonialisme merupakan penaklukan dan penguasaan atas tanah dan benda rakyat lain. Proses penaklukan seringkali dilakukan melalui tindakan kekerasan yang disertai pelanggaran HAM.
Dalam kajian pemikiran Marxis, kolonialisme tidak hanya dipandang sebagai sebuah upaya penaklukan dalam rangka mengambil kekayaan negara-negara koloni, tetapi pemikiran Marxis melampaui jauh dari hanya sebatas penaklukan. Kolonialisme diyakini mengubah struktur perekonomian yang sudah ada (Loomba, 2016).
ADVERTISEMENT
Bentuk kolonialisme sudah terjadi sejak dulu namun bentuk kolonialisme modern merupakan implikasi dari revolusi industri dengan berbagai penemuan yang canggih, salah satunya adalah kemampuan manusia menciptakan armada laut untuk digunakan berlayar ke negeri yang jauh mengembangkan perekonomiannya.
Pada perkembangannya, struktur yang terbentuk akan membuat negara-negara koloni terikat dalam hubungan yang kompleks dengan negara kolonial. Terjadi proses perpindahan manusia dan sumber daya alam. Dalam hal ini digambarkan bahwa budak-budak dari negara koloni diangkut ke benua Amerika dan Hindia Barat untuk bekerja di Perkebunan.
Hasilnya dijual kembali ke negara koloni yang menjadi pangsa pasar. Analisis ini menyimpulkan bahwa relasi yang terjadi antara negara koloni dan negara kolonial pada akhirnya akan menguntungkan negara kolonial karena semua modal dan surplus value akan mengalir ke negara induk atau negara kolonial.
ADVERTISEMENT
Keuntungan yang menggiurkan dalam masa kolonialisme memaksa negara kolonial untuk menggunakan segala instrumen mempertahankan hegemoninya. Baik melalui kekuatan militer maupun melalui kebijakan yang mempengaruhi bangsa koloni.
Watak bangsa kolonial yang paling umum adalah menerapkan kebijakan memecah belah persatuan bangsa koloni. Indonesia sebagai salah satu contoh negara koloni yang tidak mampu mendelegitimasi kekuasaan bangsa penjajah pada saat perlawan dilakukan secara kedaerahan, namun akhirnya proses persatuan yang tercipta dari ide-ide besar founding father, mampu meruntuhkan tembok besar kekuasaan bangsa penjajah.
Watak kolonial yang lain adalah mengubah karakter bangsa koloni agar selalu merasa tunduk terhadap penguasa. Proses tersebut dilakukan dengan berbagai cara misalnya melalui kebudayaan termasuk juga menggunakan klaim keagamaan yang dipolitisasi untuk kepentingan mereka.
ADVERTISEMENT
Proses kolonialisasi yang berlangsung terlalu lama membuat mayoritas masyarakat dari negara-negara bekas koloni selalu merasa menjadi subordinat dari bangsa barat. Budaya misalnya, warna kulit diglorifikasi sebagai identifikasi utama untuk menentukan standar kecantikan. Budaya populer barat dianggap paling modern dari berbagai budaya ketimuran dan berbagai warisan lain yang memenjarakan pikiran bangsa koloni.
Di samping itu, segregasi sosial yang umum diterapkan oleh bangsa kolonial masih berdampak sampai saat ini termasuk apa yang terjadi pada krisis Rohingya. Warisan kebijakan bangsa kolonial tidak mampu direkonsiliasi oleh pemerintah Myanmar sehingga masalah Rohingya masih berlangsung sampai saat ini.
Warisan Kolonialisme
Dalam beberapa forum diskusi, saya selalu menegaskan standpoint argumen saya tentang tatanan dunia modern saat ini, bahwa sebagian besar apa yang sedang kita alami merupakan konstruksi dari masa kolonialisme. Mulai dari aspek hukum, bidang politik, sistem ekonomi termasuk juga aspek psikologis bagi masyarakat bekas koloni yang selalu merasa inferior terhadap bangsa penjajah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, di negara-negara bekas jajahan, terjadi segregasi sosial sampai saat ini yang berimplikasi terhadap konflik horizontal. Segregasi sosial tersebut merupakan sisa-sisa politik devide et impera yang dilancarkan oleh bangsa penjajah pada masa kolonialisme dalam mempertahankan status quo.
Sebagaimana mayoritas negara-negara di belahan Asia dan Afrika yang mengalami masa kolonialisasi. Myanmar termasuk negara bekas kolonial Inggris yang baru merdeka pada 4 Januari 1948. Kajian tentang proses dekolonisasi yang dilalui oleh Myanmar menarik dikaji karena adanya persoalan krisis Rohingya.
Mayoritas etnis Rohingya mendiami negara bagian Rakhine (kota Maungdaw dan Buthidaung) yang berbatasan dengan Bangladesh. Bagian tersebut terletak di utara Myanmar. Letak geografis ini yang selanjutnya menjadikan Bangladesh sebagai negara tujuan paling murah oleh etnis Rohingya sampai saat ini.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi pada masa penjajahan Inggris di Myanmar meninggalkan warisan yang masih dirasakan oleh etnis Rohingya sampai saat ini. Pada masa kolonialisme, Rohingya berpihak kepada pemerintah kolonial Inggris sehingga terjadi segregasi sosial antara etnis Rohingya dengan etnis lain di Myanmar. Mereka dianakemaskan oleh pemerintah kolonial Inggris.
Pascamerdeka, pemerintah Myanmar menuduh etnis Rohingya bukan penduduk asli Myanmar karena merupakan etnis dari Bengali yang dibawa masuk ke Myanmar oleh pemerintah kolonial Inggris untuk membantu mereka dalam melanggengkan kekuasaan. Namun ada juga beberapa ahli yang menganggap bahwa etnis Rohingya sudah menetap di Myanmar jauh sejak abad ke-15.
Aspek sejarah tersebut terus dipelihara sampai saat ini sehingga seringkali terjadi konflik horizontal antara etnis Rohingya dengan umat Buddha Rakhine. Umat Buddha menganggap bahwa mereka adalah penduduk asli Myanmar sementara etnis Rohingya merupakan para imigran yang dulunya mendukung pemerintah kolonial Inggris.
ADVERTISEMENT
Diskriminasi terhadap etnis Rohingya juga didasarkan atas trauma masa lalu pemerintah Myanmar. Mereka beranggapan bahwa etnis Rohingya merupakan sisa-sisa kolonialisme Inggris dan adanya ketakutan bahwa etnis Rohingya akan mendominasi etnis asli Myanmar. Etnis Rohingya disimbolisasi sebagai antek-antek pemerintah kolonial Inggris.
Ironisnya, sebagian negara tujuan etnis Rohingya belum meratifikasi konvensi pengungsi 1951 termasuk Indonesia. Artinya bahwa secara hukum internasional, Indonesia dan negara yang bukan merupakan state party dalam konvensi pengungsi, tidak mempunyai kewajiban untuk menampung para pengungsi etnis Rohingya.