Lukas Enembe, Korupsi, dan Kompleksitas Masalah Papua

Minhajuddin
Akademisi Unisa Bandung - Peneliti pada Kajian Strategis Hubungan Internasional (KSHI).
Konten dari Pengguna
2 Januari 2024 20:27 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bulan Oktober tahun lalu, saya menulis sebuah artikel yang berjudul "Lukas Enembe dan rumitnya pemberantasan korupsi di Papua." artikel tersebut saya tulis sesaat setelah Lukas Enembe (LE) ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Kita sudah bosan disuguhi berita tentang pejabat publik yang melakukan korupsi yang merugikan negara dengan nilai yang cukup besar, namun hal yang menarik dalam penetapan kasus korupsi LE adalah gelombang aksi unjuk rasa dari simpatisan LE yang menolak penetapan tersangka sebagai pelaku korupsi. Aksi tersebut bahkan menimbulkan kerusuhan di kota Jayapura.
Setahun berlalu sejak penetapan tersangka LE dan sudah melewati berbagai prosedur hukum dan dalam proses kasasi yang diajukan, pada hari Selasa (26/12/2023) LE meninggal dunia di RSPAD Gatot Subroto, akibat komplikasi penyakit yang diderita selama ini.
Berita kematian dengan segera menyebar di seantero wilayah Papua. Kematiannya meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat Papua yang mencintainya bahkan dengan kasus mega korupsi yang dilakukan LE tidak menyurutkan simpati dari pendukungnya.
ADVERTISEMENT
Puncaknya ketika pemulangan jenazah LE ke Papua dan akan disemayamkan di rumah duka. Massa yang mengiringi jenazah tumpah ruah di jalanan.
Salah seorang kawan yang bermukim di Jayapura mengabarkan bahwa massa yang tumpah ruah di jalanan mengiringi jenazah LE merupakan masyarakat gunung yang turun menjemput jenazah.
Peristiwa di luar dugaan terjadi karena dalam suasana duka seperti itu, massa menyerang iring-iringan jenazah dan membakar sejumlah bangunan di sepanjang jalan.
Sasaran paling empuk adalah warung-warung di pinggir jalan yang sebagian besar dimiliki oleh para pendatang. Mereka menjadikan pendatang sebagai simbol perlawanan terhadap Indonesia.

Papua dan Kompleksitasnya

Harus diakui bahwa Papua menyimpan masalah laten layaknya api dalam sekam yang sewaktu-waktu bisa meledak. Hanya menunggu momen yang tepat bahkan momen melayat jenazah LE pun bisa dijadikan ajang untuk menghancurkan kota.
ADVERTISEMENT
Persoalan Papua bukan persoalan satu aspek yang bisa diselesaikan dengan satu solusi, bukan pula persoalan kemarin sore yang bisa langsung diselesaikan hari ini.
Papua dengan segala kompleksitas masalahnya sudah berlangsung sejak masa kolonialisme Belanda dan puncaknya pada Mei 1963, Irian Barat bergabung dengan Indonesia.
Penyatuan tersebut menyisakan berbagai penolakan dari sebagian pihak yang merasa bahwa seharusnya Irian Barat tidak bergabung dengan Indonesia dengan segala perbedaan yang ada.
Penolakan tersebut pun diamini oleh masyarakat akar rumput yang menarik jarak dengan bangsa Indonesia. Perbedaan paling mencolok tentunya adalah ras.
Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat Papua merasa bahwa pemerintah pusat hanya mengeksploitasi kekayaan alam Papua tetapi tidak melakukan pembangunan baik manusia maupun wilayahnya. Realitas ini dijadikan afirmasi bahwa relasi Papua dengan Indonesia tidak lebih dari sebuah relasi bangsa kolonial dengan wilayah koloni.
ADVERTISEMENT
Pada tataran masyarakat akar rumput, tidak jarang masyarakat Papua mendapatkan perlakuan diskriminasi dalam banyak hal. Misalnya ketika orang Papua berjalan di tempat umum, seringkali dipandangi seolah-olah mereka orang asing.
Salah satu puncaknya saat kasus 2019 pecah di Surabaya. Mahasiswa papua dikepung dan dilecehkan secara fisik dan verbal. Kejadian tersebut menyulut emosi orang Papua sehingga terjadi konflik horizontal di sebagian besar wilayah Papua.

Orang Pantai dan Orang Gunung

Meskipun sudah dibantah oleh berbagai pihak di masyarakat Papua bahwa jangan melakukan polarisasi antara orang Pantai dengan orang Gunung, namun tidak bisa dipungkiri bahwa segregasi tersebut terjadi di masyarakat Papua.
Orang luar Papua mungkin mengenal masyarakat Papua homogen dari segi ciri fisik namun pada kenyataannya, ada pembedaan ciri fisik antara orang Pantai dengan orang Gunung. Mereka yang sudah lama tinggal di Papua pasti bisa membedakan dengan jelas orang Pantai dengan orang Gunung dari ciri fisik.
ADVERTISEMENT
Pembedaan lain dari mata pencaharian. Orang Pantai mayoritas nelayan dan berburu di hutan pesisir sedangkan orang Gunung mayoritas berkebun dan bertani.
Sebagian yang lain juga membuat pembedaan dari aspek karakter yaitu orang Pantai dianggap lebih hangat dan terbuka sementara orang Gunung lebih tertutup. Perbedaan ini salah satunya disebabkan karena orang Pantai sudah berbaur dengan para pendatang yang mayoritas tinggal di pesisir.
Studi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pernah melakukan penelitian bahwa ada stigma dari orang Gunung yang menuduh orang Pantai menjual tanah Papua.
LE yang merupakan mantan gubernur Papua merupakan orang Gunung. Dia dianggap representasi kesuksesan orang Gunung sehingga memiliki simpatisan yang cukup banyak dari masyarakat orang Gunung.
ADVERTISEMENT
Massa aksi yang menolak penetapan tersangka LE mayoritas berasal dari orang Gunung. Mereka tidak segan-segan melakukan tindakan pengrusakan di daerah pantai karena dianggap representasi dari kelompok yang berbeda dengan mereka.
LE yang sejatinya melakukan tindakan korupsi dengan nilai yang fantastis, tidak menjadikan mereka mengurangi rasa hormatnya kepada LE yang dianggap profiling dari orang Gunung yang berhasil mewakili aspirasi mereka.
Korupsi bagi mereka hanya terma makro yang tidak berdampak apa-apa karena korupsi ada atau pun tidak ada, kehidupan mereka toh tetap tidak mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah.

Memaknai Kembali Korupsi

Korupsi merupakan istilah yang merujuk pada tindakan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
ADVERTISEMENT
Definisi di atas memiliki implikasi yang jauh lebih luas bahwa tindakan korupsi akan berdampak negatif terhadap masyarakat umum karena uang negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat, tetapi diselewengkan untuk keuntungan pribadi dan keluarga pelaku.
Lazimnya, masyarakat akan menentang pejabat publik yang melakukan tindakan korupsi karena implikasinya akan mengurangi dana untuk pembangunan negara.
Tetapi apa yang terjadi pada kasus LE merupakan kejadian yang anomali. Meskipun LE terbukti melakukan tindak pidana korupsi senilai miliaran rupiah, alih-alih masyarakat Papua melakukan aksi unjuk rasa mendesak LE untuk dipenjara, malahan ribuan simpatisan melakukan aksi unjuk rasa mendukung LE.
Apa yang terjadi pada kasus LE menyisakan pertanyaan besar. Kenapa sebagian masyarakat Papua mendukung LE yang sudah divonis melakukan korupsi?
ADVERTISEMENT
Jawabannya mungkin beragaman namun saya menyimpulkan hipotesa bahwa masyarakat Papua sudah terlalu lama berada dalam kondisi terbelakang dan tidak mendapatkan perhatian penuh dari negara. Kondisi ini membuat mereka berdamai dengan keadaan yang dialami.
Kemudian muncul sosok yang berasal dari tengah mereka yang menjadi pejabat publik. Semangat mereka membuncah dan seolah diwakili oleh sosok LE.
Mereka tidak peduli ketika LE divonis korupsi karena adanya korupsi atau tidak, toh mereka merasa bahwa hidup mereka tidak akan berubah meskipun tidak ada korupsi.
Maka, alih-alih menyalahkan LE, mereka malah menunjukkan simpati mereka kepada LE yang menurut mereka bahwa LE dikriminalisasi.
Kondisi seperti ini yang menjadi salah satu hambatan pemberantasan korupsi di Papua. Ketika seorang pejabat publik yang berasal dari Papua melakukan korupsi, mereka melawan dengan berbagai argumen untuk memperoleh dukungan dari masyarakat umum, salah satunya mengangkat isu Papua merdeka.
ADVERTISEMENT
Memaknai kembali definisi korupsi bukan pada tataran teoritisnya tetapi lebih pada implikasinya kepada masyarakat. Banyaknya tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik membuat masyarakat seakan abai dan tidak lagi percaya dengan segala apa yang ditampilkan di media.
Toh ada atau tidak adanya pejabat publik yang ditangkap karena korupsi, tidak menjadikan hidup mereka mengalami perubahan.
Begitulah kira-kira.