Konten dari Pengguna

Manusia dan Pertanyaan Eksistensial di Kepalanya

Minhajuddin
Akademisi Unisa Bandung - Peneliti pada Kajian Strategis Hubungan Internasional (KSHI).
8 Desember 2024 16:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret manusia dalam berbagai bentuk. Photo: Karyna Chorna/unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Potret manusia dalam berbagai bentuk. Photo: Karyna Chorna/unsplash.com
ADVERTISEMENT
Dua tahun lalu sebelum memutuskan meninggalkan pekerjaan sebagai Auditor internal di sebuah perusahaan yang sudah saya jalani selama satu dekade, ada pertanyaan yang tidak pernah mampu saya lawan yang muncul setiap kali saya duduk di kantor menghadap layar komputer,
ADVERTISEMENT
Sampai kapan saya menjalani rutinitas ini, apakah sampai saya pensiun di umur 56 tahun?
Apa artinya semua ini yang sedang saya jalani?
Apa yang sebenarnya saya cari di tempat ini selain gaji dan alasan moral yaitu bekerja untuk ibadah?
dan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang menganggu memori saya dalam beberapa momen yang seharusnya saya gunakan sebagai waktu bekerja.
Kira-kira seperti itu pertanyaan eksistensial yang mengganggu rutinitas saya sebelum akhirnya memaksakan diri resign dan mencari pekerjaan yang bisa saya nikmati.
Naif, mungkin iya. Atau bahkan ada yang akan mengatakan bahwa saya terlalu lembek menghadapi tantangan hidup dan berbagai anggapan lain terkait keputusan yang saya ambil, tetapi demikianlah hidup berjalan. Semua orang memiliki preferensi masing-masing untuk menjalani hidupnya.
ADVERTISEMENT
Entah berapa tahun yang lalu, saya percaya bahwa semakin menua manusia maka semakin berkurang perdebatan eksistensial dalam dirinya namun ternyata anggapan saya meleset. Semakin menua maka masalah eksistensial semakin nyata.
Pertanyaan-pertanyaan eksistensial selalu menghantui manusia dalam menjalani hidupnya. Persoalannya adalah apakah mereka akan memberikan perhatian pada apa yang muncul di kepala ataukah memilih untuk melupakan dan melanjutkan hidup secara mekanik dan repetitif kemudian pada akhirnya nanti berada pada titik akhir.
Persoalan Eksistensial
Suatu waktu di jumat sore, saya ikut dalam sebuah diskusi tentang filsafat eksistensial di sudut Tebet. Diskusi kecil yang dihadiri oleh kurang dari 20 orang. Sebagian dari mereka pernah atau sedang menjalani hidup pembalikan, begitu istilah salah seorang narasumber yang juga merupakan dosen di kampus swasta terkenal di Tangerang.
ADVERTISEMENT
Pada diskusi itu, saya bersua dengan berbagai manusia dengan segala problem eksistensial. Ada yang sudah puluhan kali mencoba bunuh diri, ada yang dianggap melawan norma umum dengan menjadi dirinya, dan persoalan lain yang tentunya masih dianggap tabu untuk didiskusikan.
Tibalah giliran saya ditanya mengenai apa yang menjadi persoalan hidup saya yang bisa dibagikan dan dijadikan pelajaran.
Ditanya seperti itu, saya tidak punya jawaban yang memuaskan dan memilih menjawab secara normatif bahwa pada dasarnya, hidup yang saya jalani adalah hidup yang biasa-biasa saja. Meskipun terlahir di daerah yang jauh dari perkotaan, tetapi saya tidak pernah sekalipun merasa kelaparan pada saat kecil bahkan saya bisa melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa peserta diskusi yang bergumam bahwa hidup saya terasa membosankan karena dijalani tanpa ada dinamika yang membangkitkan adrenalin.
Apakah saya terganggu dengan apa yang mereka lakukan?
Sama sekali tidak karena saya selalu percaya bahwa kehidupan ini dikonfigurasi dengan pola yang sangat unik termasuk pola pada manusia sebagai bagian dari alam semesta dan bagaimana manusia berinteraksi dengan lingkungan dalam kehidupannya.
Tidak ada satupun manusia yang menjalani hidupnya persis dengan orang lain, maka dengan demikian, yakinkan diri kita sendiri bahwa apa yang sedang dikerjakan merupakan perjalanan untuk menguji hidup dan bertemu dengan kesejatian hidup.
Pernyataan seperti ini sangat normatif karena menjalani hidup tidak semudah dengan kata demi kata yang keluar dari mulut para influencer.
ADVERTISEMENT
Menemukan Diri
Pernyataan Socrates yang sering dikutip mengenai hidup dan cara manusia menjalaninya;
Pernyataan tersebut semacam senjata ampuh bagi pencari kehidupan dengan menafsirkan dalam berbagai macam bentuk pada konteks hidup yang tidak diuji.
Bagaimana cara menguji hidup?
Bahwa cara menjalani hidup tidak seperti layaknya rumus matematika yang bisa dikuantifikasi dan mitigasi hidup pun tidak berlaku universal. Setiap manusia memiliki cara masing-masing untuk kemudian sampai pada kesimpulan bahwa cara hidup yang sedang dijalani merupakan cara hidup yang sudah diuji.
Salah seorang publik figur yang sedang menuai popularitasnya, dalam setiap ceramahnya mengenai hidup dan kebosanan dalam menjalani hidup, dia selalu mengatakan bahwa bisa saja hidup yang kita anggap begini-begini saja merupakan hidup yang diinginkan oleh orang lain.
ADVERTISEMENT
Mungkin ada benarnya tetapi saya pribadi tidak sepenuhnya sepakat karena masih ada unsur orang lain yang dijadikan variabel agar kita mensyukuri hidup, artinya bahkan kita masih terikat dan memiliki ketergantungan pada selain diri kita untuk mencapai sebuah ketenangan dan makna hidup.
Lalu bagaimana caranya untuk menemukan hidup?
Saya akan menafsirkan pernyataan Socrates mengenai hidup yang tidak diuji. Menurut tafsiran bebas yang muncul di kepala saya adalah orang-orang yang tidak bergerak maju dan mencoba berbagai hal untuk memaknai hidupnya merupakan orang-orang yang hidupnya tidak diuji.
Jadi, hidup yang diuji adalah hidup yang dijalani dengan perencanaan matang dan serius meskipun mengandung risiko yang tidak remeh, tetapi pada satu titik ketika mampu melewati berbagai risiko hidup maka manusia akan sampai pada suatu kesimpulan tentang hidup yang sedang dijalaninya.
ADVERTISEMENT
Pada titik tertentu, manusia yang sungguh-sungguh akan menemukan dirinya yang sejatinya dan pada kondisi ini, semua seakan tampak nyata tanpa terbatasi dengan hal-hal yang invisible. Pada titik ini pula, manusia sudah selesai dengan dirinya dan nafsu menjadi budaknya, mereka tidak lagi diperbudak dengan nafsu.