Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten dari Pengguna
Menjadi Saksi Cerai
23 September 2023 17:29 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Tanda Pengenal untuk Saksi didominasi warna biru. Foto: Dokumen Pribadi](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01hb0remhvpc4htrs9c5njasne.jpg)
ADVERTISEMENT
Pria itu, yang saban hari saya jumpai di lantai tiga kampus, tepatnya di ruang pantry, berjalan gontai memasuki Pengadilan Agama yang terletak di kawasan Antapani. Sekitar 20 menit perjalanan dengan motor dari kampus.
ADVERTISEMENT
Saya berjalan mengambil jarak sedikit di belakangnya untuk tidak mengganggu pikirannya yang sedang kalut. Asap yang mengepul tidak berhenti keluar dari mulutnya. Entah berapa batang rokok yang sudah tandas sedari pagi sekadar untuk meringkankan beban di kepalanya.
Dia tahu bahwa hari ini adalah hari yang berat baginya. Dua tahun lalu ketika mengucapkan janji suci di depan para saksi, dia membayangkan hari yang indah bersama pasangannya, tetapi hidup seringkali berbelok arah dari apa yang diimpikan. Kita tidak pernah tahu sama sekali, dibelokan mana kita akan terperosok, bahkan mungkin di jalan yang sudah dianggap lurus, ternyata ada lubang menganga.
Hari ini, terpaksa dia harus mengakhiri semua apa yang dulu dia mulai dengan suka cita. Tidak ada lagi rasa yang tersisa ketika langkah sudah tidak sejalan. Apa yang tersisa hanya sumpah serapah dan perasaan benci yang membuncah di ubun-ubun.
ADVERTISEMENT
Jalan ini memang tidak disarankan tetapi layaknya pintu darurat yang harus dibuka jika semua jalan keluar sudah mentok. Sedari memutuskan untuk membuka pintu ini, dia sudah menakar semua konsekuensi yang akan diterimanya. Pun tentang suara-suara sumbang yang mungkin akan didengarnya dari mulut-mulut yang tak terkontrol.
Di ruang tunggu, saya menatap nanar setiap orang yang sedang menunggu antrean. Wajah-wajah yang sudah lelah dengan pertengkaran berkepanjangan. Saya menatap layar antrean, sepersekian detik membuat saya mengusap dada ketika menyadari bahwa ada empat ruangan sidang yang semuanya punya antrean sangat panjang.
Kami tiba sesaat setelah azan zuhur namun baru mendapat panggilan setengah tiga sore. Artinya butuh waktu berjam-jam untuk antre sementara saya menyaksikan orang yang masuk ke ruangan sidang hanya beberapa menit saja, mungkin tidak lebih sepuluh menit.
ADVERTISEMENT
Entah beberapa kali saya bolak-balik masuk ke kamar mandi, bukan karena memang benar-benar ingin buang air tetapi lebih pada menenangkan dada melihat beberapa bocah seumuran anak saya yang duduk di ruang tunggu bersama dengan seorang ayah dan di kursi lain, bersama dengan ibunya.
Bocah-bocah itu, yang masih saja asik bermain berlari dan bercanda, tidak pernah sadar bahwa apa yang sedang mereka saksikan adalah retaknya dua orang yang menjadi biang mereka. Tidak ada lagi dua pasang manusia yang akan selalu mereka temui di ruang makan, atau di ruang tamu sambil bercengkerama selepas maghrib. Tidak ada lagi momen menunggu seorang ayah di sore hari dengan harapan membawa sebungkus martabak manis.
Mereka hanya akan menemui salah satu dari orang tuanya. Hidup mereka akan pincang dan sialnya, kemungkinan terburuk adalah perasaan trauma. Mereka akan membandingkan hidup mereka dengan temannya yang masih memiliki kedua orang tua.
ADVERTISEMENT
Tepat di hadapan saya, seorang ayah sedang menunggu antrean sambil membawa kedua anaknya. Seorang putri yang mungkin berusia lima tahun dan adiknya laki-laki yang perkiraan saya berusia 3 tahun. Keduanya masih tampak riang dan saling bercanda. Tetapi sesekali ayah melotot memberi isyarat untuk diam dan tidak berisik.
Di kursi ruang tunggu dekat pintu masuk. Seorang bocah perempuan yang nampaknya baru belajar berjalan, terus menerus bergerak sambil diikuti oleh seorang ibu muda yang juga menunggu antrean. Hal tersebut bisa diketahui dari tanda pengenal pengunjung dengan warna yang berbeda. Biru untuk para saksi dan hijau untuk yang sedang menghadapi masalah.
Saya sedih melihat pemandangan itu. Saya tidak pernah tahu masalah mereka tetapi yang saya pahami bahwa anak-anak selalu menjadi korban paling merasakan dari apa yang sedang dihadapi oleh orang tuanya.
ADVERTISEMENT
Ini pertama kali saya datang, melihat bahkan menjadi saksi sebuah fenomena dalam kehidupan rumah tangga. Di dalam persidangan, ada rasa bersalah menjadi saksi retaknya jalinan suci antara dua pasang manusia tetapi saya pun tidak kuasa untuk menolak sekadar meringankan bebannya.
Apakah benar bebannya ringan setelah putusan ini selesai? Entahlah, kepala saya tiba-tiba pening dihantui rasa bersalah karena sejatinya, saya pun tidak tahu persis masalah yang dihadapinya. Dasar saya hanya dari curhat-curhatannya saban sore setiap menjelang pulang di ruang belakang.
Memilih berpisah memang tidak terlalu sulit bagi orang tua apalagi setelah itu, mereka masih bisa mencari pasangan lain. Namun tidak untuk anak-anak. Luka batin akan terus menganga melihat retaknya pegangan tangan antara kedua orang tuanya.
ADVERTISEMENT
Tidak ada pasangan yang mengharapkan perpisahan ketika mulai meniti jalan bersama. Mereka akan membayangkan semua fase kehidupan dalam kebahagiaan bersama, tetapi begitulah adanya manusia. Masalah akan datang setiap kali untuk menguji seberapa kuat kaki dijejak, seberapa kencang tangan saling menggenggam, sebelum badai itu berlalu.
Problematika Kehidupan Rumah Tangga
Dalam salah satu obrolan lepas tentang pernikahan bersama seorang rekan yang sekarang sudah pindah ke UT, dia menjelaskan bahwa pada dasarnya, terdapat empat sumber masalah dalam sebuah pernikahan yaitu, suami, istri, keluarga suami, atau keluarga istri. Empat penjuru mata angin ingin yang akan mengguncang setiap bahtera rumah tangga seseorang.
Setelah saya renungkan dan mengingat beberapa kasus rumah tangga yang akhirnya harus berakhir pada perpisahan, saya mengamini apa yang disebutkan oleh rekan tadi. Pasangan yang hidup di Indonesia tidak hanya menghadapi ancaman pernikahan dari pasangannya tetapi juga dari keluarganya dan keluarga pasangannya.
ADVERTISEMENT
Di kultur masyarakat Indonesia, seringkali kita mendengar semacam aksioma bahwa ketika menikah, kita tidak hanya menyatukan dua pasang pria dan wanita tetapi menyatukan dua keluarga besar. Kultur ini sebenarnya di satu sisi membuat pernikahan sangat rentan terjadinya masalah.
Budaya yang ada di daerah saya ketika seorang pria akan melamar pacarnya, dia harus menyiapkan sejumlah “uang panai” yang tidak sedikit bahkan harus merelakan banyak hal untuk memenuhinya. Seringkali dari pihak perempuan dan orang tuanya, tidak meminta lebih supaya tidak memberatkan tetapi yang membuat kultur itu semakin sulit untuk dipenuhi karena keterlibatan keluarga besar yang pendapatnya harus didengar.
Kita adalah makhluk sosial sekaligus makhluk individu. Takarannya harus pas agar hidup berjalan dengan seimbang. Ada porsi yang boleh dimasuki oleh orang lain tetapi ada ruang privat yang harus ditutup rapat hanya untuk pasangan.
ADVERTISEMENT
Rumus sederhana yang saya pegang dalam rumah tangga adalah jangan sesekali menceritakan masalahmu kepada orang tuamu karena pada prinsipnya, orang tuamu akan membelamu dan menyalahkan pasanganmu meskipun pada kenyataannya kita yang salah.
Pernikahan bagaikan membangun rumah dan menentukan ruang-ruang dalam rumah. Ruang tamu bebas dimasuki oleh semua orang, dapur hanya untuk orang-orang tertentu sementara kamarmu tidak boleh dimasuki selain pasangan bahkan anak pun jangan sesekali dengan mudahnya masuk di kamar pribadi pasangan.
Artinya apa? Ada cerita yang boleh didengar oleh semua orang, ada yang hanya boleh diceritakan kepada keluarga dekat tetapi ada juga cerita khususnya masalah dalam keluargamu yang tidak boleh sama sekali didengar oleh siapa pun kecuali pasangan.
Batasan Masalah
Semua pasangan punya batasan masalah masing-masing. Batasan tersebut yang akan menjadi ukuran apakah harus mengakhiri dengan jalan pisah jalan atau tetap bersama. Tetapi satu hal yang harus dipahami bahwa hidup dengan orang yang baru dikenal ketika kita dewasa adalah pekerjaan untuk saling memaklumi.
ADVERTISEMENT
Selalu ada riak-riak kecil yang akan mengiringi setiap perjalanan dan jejak langkah dalam sebuah rumah tangga dan selama bukan hal yang prinsipil, maka seharusnya riak itu dinikmati saja.
Tentu sebagai masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai agama, maka salah satu patokan awal adalah nilai-nilai yang diajarkan agama. Jika pasangan sudah melewati batas nilai tersebut maka bisa menjadi tolak ukur untuk membuka pintu darurat. Contoh paling konkret ketika pasangan sudah melakukan kekerasan fisik, maka sudah bisa menjadi alasan kuat untuk memilih jalan sendiri.
Dalam pernikahan modern, dikenal perjanjian pranikah yang mengatur segala hal dalam kehidupan berumah tangga termasuk hak, kewajiban bahkan ketentuan ketika cerai. Perjanjian yang menurut saya menghilangkan nuansa kejutan dalam pernikahan karena sudah diatur sedemikian rigid tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, aneh untuk membicarakan kemungkinan bercerai ketika baru memulai sebuah ikatan. Bahkan dimasukkan sebagai salah satu pasal dalam perjanjian.
Memilih untuk menikah memang pilihan untuk hidup dalam kesunyian panjang dan melepaskan banyak hal yang pernah ada. Kita harus rela melepaskan waktu santai dengan teman-teman, atau harus rela untuk selalu diingatkan agar segera pulang ke rumah ketika jam pulang kantor, rela untuk tidak ikut futsal karena mengantar pasangan arisan dan kebebasan semakin berkurang sebagai konsekuensi dari janji untuk menemani seseorang.
Tujuannya apa?
Semua orang punya tujuan masing-masing ketika memilih untuk hidup bersama. Meskipun tujuan abstraknya adalah bahagia. Konsep bahagia seperti apa? Silakan diinterpretasikan sendiri.
Kemudian masalah akan berbeda bagi setiap pasangan. Ada yang bermasalah dengan kondisi ekonomi, ada yang harus berjuang mendapatkan anak, ada juga yang harus bertahan dengan menjaga pasangannya yang sakit dan berbagai masalah yang tidak bisa diprediksi di awal menjalin komitmen.
ADVERTISEMENT
Meskipun pernikahan merupakan misteri yang sangat gelap dan penuh dengan ketidakpastian, tetapi Socrates menyarankan kita untuk tetap menikah.