Konten dari Pengguna

Ramadan dan Belajar Menerima Kritik

Minhajuddin
Akademisi Unisa Bandung - Peneliti pada Kajian Strategis Hubungan Internasional (KSHI).
17 Maret 2024 17:10 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sekelompok orang yang sedang melakukan demonstrasi. Photo: https://unsplash.com/Koshu Kunii
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sekelompok orang yang sedang melakukan demonstrasi. Photo: https://unsplash.com/Koshu Kunii
ADVERTISEMENT
Saya cukup lama berkutat di dunia korporasi, lebih dari satu dekade, 11 tahun tepatnya. Selama menjadi bagian dari karyawan dengan tiga bidang yang berbeda, banyak sekali pelajaran yang bisa diterapkan. Relasi pertemanan dalam pekerjaan, sikap terhadap pimpinan, pola kepemimpinan, dan berbagai hal lain yang terlalu banyak untuk disebutkan.
ADVERTISEMENT
Salah satu isu utama dalam dunia pekerjaan tentu persoalan gaji. Saya sangat sering mendengar karyawan mengeluh mengenai gaji yang rendah, pekerjaan yang overload, bos yang sewenang-wenang dan berbagai isu lain yang terkadang menghabiskan energi. Tentu saja saya masuk dalam barisan para karyawan yang mengeluh tersebut.
Tetapi bukan itu poin yang ingin saya sampaikan tetapi respons dari para pimpinan di Perusahaan. Setiap kali mendengar keluhan karyawan, mereka seringkali memberikan nasihat bernada sinisme misalnya,
Dan berbagai ungkapan-ungkapan yang sangat khas dengan nasihat dari mulut para kelompok menengah tanggung. Sekilas ketika kita tidak mencermati secara waras ungkapan di atas, mungkin ada benarnya tetapi ada logika yang keliru di setiap pernyataan di atas.
ADVERTISEMENT
Pertama, sebenarnya pernyataan seperti itu semacam pembungkaman atas kritik yang dilancarkan oleh kelompok pekerja. kritik merupakan hak pekerja untuk menuntut keadilan bagi diri mereka ketika tidak sesuai dengan kesepakatan di awal.
Kedua, Memilih mendaftar di perusahaan dan pembagian kerja yang tidak sesuai dengan kontrak di awal merupakan dua hal yang terpisah. Kita mendaftar di perusahaan bukan berarti menyerahkan seluruh hak kita untuk diatur oleh perusahaan tanpa mempunyai lagi hak mengkritik.
Perusahaan harus memahami bahwa karyawan bukan benda mati yang diperlakukan selayaknya mesin dan bisa digunakan kapan saja. Karyawan merupakan bagian dari faktor produksi yang selain memiliki tenaga, mereka juga memiliki pikiran.

Urgensi Budaya Kritik

Peradaban manusia adalah sejarah peradaban kritik. Kemajuan peradaban manusia disebabkan oleh budaya kritik yang menjamur di tengah masyarakat. Jika kelompok yang yang berkuasa membungkam kritik dari masyarakat bawah maka yang terjadi adalah mandeknya peradaban.
ADVERTISEMENT
Saya ambil dua contoh populer ketika kritik menjadi senjata untuk melakukan perubahan. Pertama saat peralihan dari abad kegelapan menuju masa Aufklarung. Jika saja tidak ada kelompok yang berani mengkritik status quo pada abad pertengahan maka mungkin saja peradaban manusia masih mandek sampai saat ini.
Contoh kedua di negara ketika ketika era Orde Baru runtuh karena masifnya kritik dari para aktivis yang terkristalisasi menjadi gerakan reformasi. Kritik tersebut tentu juga menelan korban yang tidak sedikit namun membawa peradaban yang lebih baik.
Demikian pula dalam budaya perusahaan. Seringkali muncul inovasi di sebuah perusahaan karena budaya kritik dari semua lini yang dihidupkan. Pengalaman saya bahwa beberapa produk yang inovatif lahir dari kritik karyawan level bawah yang melihat bawah produk lama sudah tidak diminati oleh nasabah.
ADVERTISEMENT
sayangnya, masih terlalu banyak pimpinan yang menyamakan kritik dengan penghinaan sementara kedua hal tersebut sangat berbeda. Kritik sifatnya membangun dengan memperlihatkan sisi lemah pada sesuatu yang dikritisi sementara penghinaan merupakan usaha untuk menjatuhkan sesuatu yang sudah mapan.

Puasa Sebagai Instrumen Kritik Sosial

Masyarakat kita selalu menghadapi masalah yang hampir sama setiap kali menjelang bulan Ramadan. Harga bahan-bahan pokok tiba-tiba saja naik. Pola tersebut tidak hanya terjadi pada Ramadan kali ini tetapi pada Ramadan-Ramadan sebelumnya.
Tidak hanya harga beras tetapi sejumlah bahan lain seperti minyak goreng curah, bawang putih bonggol, cabai merah keriting, telur ayam ras, gula konsumsi, bawang merah dan bahan lain yang sangat dibutuhkan.
Masyarakat bawah yang akan terdampak sangat berat atas naiknya harga sembako. Mereka harus memikirkan sekian pertimbangan untuk membeli bahan pokok sementara momen Ramadan kali ini seharusnya menjadi kegembiraan bagi mereka setelah mereka dikapitalisasi dalam pertarungan pemilu bulan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Berbagai isu liar muncul dari naiknya harga beras, mulai dari tuduhan bahwa beras dijadikan barang bansos menjelang pemilu serta asumsi bahwa barang-barang naik untuk mengembalikan biaya pemilu yang terlalu mahal.
Apa pun alasannya, masyarakat bawah selalu yang menjadi korban paling menderita. Mereka merasakan berbagai himpitan ekonomi dan kebijakan-kebijakan yang tidak pernah memihak kepada mereka.
Puasa dalam arti sederhana adalah menahan diri. Konteksnya bisa sangat luas termasuk menahan diri dan makan dan minum dan bisa juga dimaknai sebagai menahan diri untuk berbelanja terlalu banyak.
Ramadan kali ini bisa digunakan sebagai kritik sosial sebagai bentuk protes atas mahalnya bahan-bahan pokok yang menyulitkan mereka. Kritik bisa dilakukan dengan cara pembatasan diri meskipun memang harus dilakukan secara masif sebagaimana gerakan protes yang dulu diinisiasi oleh Ghandi.
ADVERTISEMENT
Terlalu jauh memang mengambil perbandingan tetapi setidaknya masyarakat harus menyadari pola yang terus terjadi setiap tahun ketika menjelang Ramadan, kebutuhan pokok selalu menjadi lebih mahal.
Sialnya, sebagian masyarakat kita menganggap bahwa hal tersebut lumrah sebagaimana teori ekonomi bahwa ketika permintaan meningkat maka harga akan naik.
Bangsa ini mayoritas Muslim maka seharusnya Ramadan yang merupakan bulan suci bagi umat Muslim bisa dijadikan momentum untuk mengkonsolidasikan gerakan yang terukur untuk menuntut pemerintah mengambil kebijakan yang pro rakyat, tidak hanya masyarakat Muslim dikapitalisasi untuk memaksimalkan keuntungan.
Renungan Ramadan #5