Konten dari Pengguna

Ramadan dan Kontekstualisasi Pemaknaan Konsumerisme

Minhajuddin
Akademisi Unisa Bandung - Peneliti pada Kajian Strategis Hubungan Internasional (KSHI).
5 April 2024 18:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seringkali kita membeli barang bukan karena butuh tetapi terpengaruh oleh iklan. Photo: unsplash.com/Jon Tyson
zoom-in-whitePerbesar
Seringkali kita membeli barang bukan karena butuh tetapi terpengaruh oleh iklan. Photo: unsplash.com/Jon Tyson
ADVERTISEMENT
Menurut KBBI, ada dua definisi konsumerisme, yang pertama tentang gerakan atau kebijakan untuk melindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjual, dan pengiklan.
ADVERTISEMENT
Sementara definisi yang kedua, konsumerisme diartikan sebagai paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya; gaya hidup yang tidak hemat.
Meskipun memiliki dua makna resmi yang tercantum dalam KBBI, namun konsumerisme seringkali digunakan untuk memaknai sebuah kondisi pada konteks gaya hidup, makna yang lebih peyoratif.
Intinya bahwa konsumerisme merupakan keadaan di mana seseorang membeli/mengkonsumsi barang bukan karena kebutuhan tetapi keinginan. Stimulan keinginan bisa dalam bentuk ingin dihargai, ingin terlihat lebih keren, dan motif lain yang bersifat external.
Konsumerisme tidak terikat pada banyaknya harta yang dimiliki seseorang karena bisa jadi seseorang tidak memiliki cukup modal membeli sesuatu tetapi mereka rela berutang demi memenuhi keinginannya. Misalnya kredit mobil yang seharusnya mobil bukan kebutuhan pokok tetapi dipaksakan membeli dengan metode kredit untuk memuaskan hasrat ingin.
ADVERTISEMENT
Budaya konsumerisme dianggap sebagai produk dari perkembangan kapitalisme. Perusahaan-perusahaan kapital terus memproduksi barang agar mesin sistem kapitalisme tidak mandeg. Produk-produk barang tersebut tentu membutuhkan konsumen yang lebih luas.
Jumlah barang membludak karena produksi yang masif akan menjadi masalah karena menghambat proses produksi selanjutnya sehingga salah satu solusi untuk mengatasi over produksi adalah dengan budaya konsumerisme.
Didesainlah proses marketing yang masif melalui iklan dengan berbagai bentuk. Masyarakat yang awalnya tidak butuh atas beberapa jenis barang, pada akhirnya merasa bahwa mereka harus memiliki barang tersebut. Proses komodifikasi semacam ini yang semakin memperparah budaya konsumerisme di tengah masyarakat.
Pada perkembangan selanjutnya, digital marketing yang semakin populer mempunyai andil bagi masyarakat untuk terus membeli barang-barang apa saja yang mereka inginkan.
ADVERTISEMENT
Kemudahan membeli yang ditawarkan pada era digitalisasi membuat masyarakat hanya duduk atau bahkan baring di kamar sambil belanja. Keuntungan terus mengalir ke perusahaan kapitalistik.
Tidak hanya sampai di situ, bermunculanlah para influencer yang mengendors barang-barang dagangan. Tentu korban dari semua ini adalah masyarakat kelas bawah yang termakan iklan.
Kajian tentang konsumerisme akan sangat panjang jika dielaborasi karena memiliki keterkaitan dengan sistem yang sudah established. Kita berada dalam pusaran sistem yang telanjur dipercaya sebagai solusi bagi kesejahteraan masyarakat.
Jika ada sebagian kelompok melakukan kritik atau menentang status quo, biasanya langsung dilabeli sebagai kelompok yang menentang pertumbuhan ekonomi, atau dianggap rebels.

Ramadan dan Konsumerisme

Ramadan seringkali dianggap sebagai momentum konsumerisme mencapai puncaknya. Hal ini tidak lepas dari daya beli masyarakat yang tinggi menjelang Ramadan. THR yang didapatkan sudah hampir pasti hanya akan numpang lewat digunakan untuk membeli barang-barang untuk keperluan lebaran, termasuk semua setelan pakaian baru.
ADVERTISEMENT
Perusahaan tentu menyambut baik momentum Ramadan sebagai upaya untuk memaksimalisasi keuntungan perusahaan. Berbagai iklan diluncurkan sebelum Ramadan dibubuhi dengan hal-hal yang berbau religi dan tulisan-tulisan selamat menyambut Ramadan.
Di awal-awal Ramadan tahun ini, berkembang fenomena war takjil yang membawa pesan-pesan toleransi. War takjil secara sederhana merupakan fenomena berburu takjil yang tidak hanya diikuti oleh umat Muslim tetapi juga oleh umat nonis.
Sebagian yang terlalu sempit berpikir menganggap bahwa membeli takjil sebagai bentuk konsumerisme karena berbondong-bondong membeli aneka jajanan yang dijual oleh para UMKM.
Kita harus bisa memaknai hakikat konsumerisme. Jangan sampai membeli takjil dalam jumlah banyak bahkan yang dibagikan kepada orang lain, pun dianggap sebagai konsumerisme, apalagi hanya membeli takjil yang penjualnya UMKM.
ADVERTISEMENT
Konteks konsumerisme sudah masuk dalam tahap kultur dan aspek psikologis seseorang. Tidak lagi memandang momentum tetapi berlangsung terus menerus.
Konsumerisme semacam dorongan untuk membeli barang-barang melampaui kebutuhan. Biasanya diinduksi oleh iklan supaya tampil keren. Ketika ada model HP terbaru, ada dorongan untuk membeli, bahkan ketika model HP keluar setiap bulan, maka setiap bulan pun akan mengganti HP.
Sementara para penjual takjil hanya menjamur di bulan Ramadan dan mungkin saja, keuntungan dari penjualan takjil digunakan untuk kebutuhan sekolah anak-anaknya. Maka membeli takjil belum masuk dalam kategori konsumerisme.
Patokannya ada pada psikologis seseorang. Ketika membeli barang-barang dengan niat ingin dianggap keren dan merasa FOMO jika tidak memilikinya, maka demikianlah konsumerisme ada. Konsumerisme dalam konteks yang lebih luas merupakan fabrikasi dari sistem yang diterapkan hampir seluruh negara.
ADVERTISEMENT