Konten dari Pengguna

Ramadan dan Pesan-Pesan Toleransi

Minhajuddin
Akademisi Unisa Bandung - Peneliti pada Kajian Strategis Hubungan Internasional (KSHI).
21 Maret 2024 12:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Simbol tiga agama Samawi. Photo: https://unsplash.com/Lukas Kacaliak
zoom-in-whitePerbesar
Simbol tiga agama Samawi. Photo: https://unsplash.com/Lukas Kacaliak
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam sebuah cuplikan video youtube yang sedang viral, seorang Pendeta sedang berkotbah di depan jemaahnya diiringi gelak tawa oleh semua jemaah yang hadir. Ternyata si Pendeta sedang memparodikan fenomena #wartakjil antara umat Muslim dengan non-Islam. Uniknya, bapak Pendeta menyarankan umatnya untuk mengalahkan umat Muslim dalam war kali ini dengan cara berburu takjil jam 3 sore ketika umat Muslim sedang lemas-lemasnya. Umat nonis dianggap memenangi war takjil karena mereka curi start.
ADVERTISEMENT
Sontak, video tersebut mengundang reaksi yang positif dari masyarakat Indonesia meskipun ada sebagian dari masyarakat Indonesia yang merespons negatif. Mereka adalah kelompok yang melihat segala sesuatu dari hal-hal negatif atau tidak punya banyak preferensi hidup berdampingan dengan kelompok yang berbeda. Tentu kelompok yang merespons negatif tidak hanya dari umat Muslim namun juga ada sebagian dari nonis.
Momen Ramadan kali ini memang sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Selain fenomena war takjil, perubahan paling besar pada dunia digitalisasi yang berkembang sangat pesat. Jika pada Ramadan puluhan tahun silam, kita disuguhi tontotan dari TV atau tauziah yang didengarkan dari radio, maka saat ini, medium radio hampir pasti sudah bukan menjadi prioritas, TV pun tidak menempati posisi paling penting karena diganti dengan platform youtube.
ADVERTISEMENT
Berbagai akun youtube berlomba-lomba menampilkan tayangan yang variatif dengan tujuan untuk menarik viewers namun dari hasil pengamatan saya bahwa satu hal yang menggembirakan karena beberapa platform besar menampilkan tayangan yang mengedepankan tayangan toleransi entah dalam bentuk talkshow, parodi, atau bentuk tayangan lain. Ramadan kali ini tidak melulu menyajikan tayangan segmentatif untuk kalangan umat Muslim tetapi tayangan yang bisa dinikmati juga oleh non Muslim.
Tentu ada kritik terhadap platform bahwa mereka mengejar cuan atas nama toleransi tetapi kritik tersebut biasanya muncul dari suara-suara minor yang mungkin kompetitor atau kelompok yang tidak berusaha untuk mengenal lebih jauh kelompok yang berbeda dengannya. Kelompok seperti ini yang seringkali sangat nyaring bersuara di media sosial sementara di kehidupan nyata, mereka tidak melakukan aksi riil yang memberikan dampak terhadap Pembangunan masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Transformasi media ini menjadi kabar baik bagi Indonesia untuk membangun kohesi sosial yang solid pasca Pilpres 2024 yang sudah berlalu. Hiruk pikuk Pilpres direduksi oleh tontotan yang semakin menarik dan fenomena war takjil yang membahagiakan semua kelompok beragama sehingga mereka sudah melupakan perbedaan yang sebenarnya memang sangat tidak perlu untuk dipermasalahkan.

Refleksi Keber-Agamaan Indonesia

Suatu momen dalam sebuah podcast, seorang Pendeta mengungkapkan bahwa beliau beruntung hidup di Indonesia dengan umat Muslim yang mayoritas. Beliau tidak memungkiri bahwa masih ada tindakan masyarakat yang intoleran di beberapa daerah tertentu namun peristiwa tersebut tidak membuatnya lantas menyesali hidup di Indonesia hidup berdampingan dengan masyarakat yang mayoritas Muslim.
Mengapa demikian?
Beliau membandingkan bahwa kehidupan di Indonesia jauh lebih toleran dibandingkan dengan negara yang lain yang mayoritas masyarakatnya menganut agama tertentu, baik yang mayoritas Islam, Hindu, Kristen dan agama mayoritas lain.
ADVERTISEMENT
Ada umat Muslim yang intoleran tetapi persentasenya jauh lebih sedikit dibandingkan yang toleran. Jika saja umat Muslim tidak toleran maka sangat mudah menjadikan Indonesia sebagai negara Islam seperti negara-negara lain di kawasan Timur Tengah.
Jika misalnya ada kritik bahwa ada beberapa pembangunan Gereja yang ditolak di beberapa daerah, maka dapat juga dibandingkan dengan kondisi sulitnya umat Muslim membangun Gereja di negara-negara Eropa yang mayoritas Kristen, meskipun perbandingan ini tidak terlalu penting karena membandingkan dua hal yang negatif.
Bapak Pendeta yang saya maksudkan di atas adalah Pdt Yerry Pattinasarany yang merupakan anak dari mantan pemain Timnas, Ronny Pattinasarany. Beliau pernah terjerumus ke dunia narkoba yang membuat hidupnya berada di titik nadir tetapi berhasil bangkit atas bantuan ayahnya.
ADVERTISEMENT
Pdt Yerry belakangan sering mendemonstrasikan toleransi antar umat beragama dengan beberapa tokoh lintas agama seperti Habib Husain Ja’far, Bhante Dhira serta para influencer yang mendiskusikan agama dengan santai sehingga masyarakat kemudian menilai bahwa hidup berdampingan dengan damai jauh di atas segala perbedaan yang ada.
Para tokoh yang saya sebutkan di atas mendominasi tayangan digital sehingga menjadi kabar gembira bagi keberagaman Indonesia yang memang sudah sejak dulu dikenal bisa hidup berdampingan. Tidak ada lagi saling tuding dan saling curiga meskipun memang masih ada satu dua tontotan yang saling mengeklaim kebenaran tetapi viewersnya jauh lebih sedikit dari tayangan toleransi yang dipertontonkan oleh tokoh-tokoh yang santai dalam menanggapi perbedaan.
Tentu bukan cuma negara Muslim saja yang punya potensi melakukan tindakan intoleran namun agama lain yang mayoritas pun demikian. Contoh yang sangat nyata, India melakukan tindakan yang benar-benar di luar nalar, bukan hanya secara kultural tetapi tindakan tersebut diinstitusionalkan oleh Narendra Modi dalam beberapa regulasi yang jelas-jelas mendiskreditkan umat Muslim.
ADVERTISEMENT
Represesi terhadap umat Muslim di India dipertontonkan secara vulgar. Beberapa waktu yang lalu, sekelompok orang menyerang mahasiswa Muslim Afrika yang menyebabkan beberapa korban luka. Tindakan semacam itu tidak direspons dengan cepat oleh pemerintah India bahkan terkesan dibiarkan. Ada juga fenomena seorang mahasiswi yang jelas-jelas dilecehkan di kampusnya ketika sekelompok orang memaksanya membuka paksa jilbabnya.

Memaknai Ramadan Sebagai Refleksi Sikap Toleransi

Beberapa tahun silam, kita diwarnai dengan fenomena sweeping rumah makan di siang hari pada bulan Ramadan. Memori tersebut cukup mengganggu tidak hanya bagi non Islam tetapi juga bagi umat Muslim. Padahal sebagian dari warung yang digrebek merupakan warung kecil di pinggir jalan yang notabene pemiliknya orang Islam.
Mereka buka warung di siang hari untuk mewadahi kelompok umat non Islam yang mungkin kesulitan mendapatkan makanan di bulan puasa atau pun umat Muslim yang sedang berhalangan puasa. Namun dimaknai berbeda oleh sebagian kelompok kecil bahwa membuka warung merupakan tindakan tidak toleran terhadap umat Muslim yang sedang berpuasa.
ADVERTISEMENT
Ramadan kali ini dan tayangan-tayangan di platform youtube menjadi momentum bagi semua masyarakat Indonesia khususnya umat Muslim untuk merefleksikan tentang perbedaan yang seharusnya menjadi rahmat alih-alih sebagai pemantik konflik.
Toleransi pada dasarnya bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul di pikiran manusia apalagi yang lahir dan tumbuh di tempat yang homogen sehingga tidak mengenal entitas yang berbeda dengannya. Maka seseorang yang ditakdirkan melalui proses tersebut butuh pengetahuan untuk menumbuhkan sikap toleransi.
Berbeda dengan seseorang yang sudah terbiasa dengan lingkungan yang heterogen kecil, maka mungkin tidak terlalu besar usaha untuk mengedepankan sikap toleransi karena pengalaman empiris mengajarkan mereka untuk respek terhadap entitas yang berbeda dengan mereka.
Sebagaimana yang diungkap Gus Baha dalam salah satu ceramahnya yang saya kutip dari nu.or.id bahwa,
ADVERTISEMENT
Renungan Ramadan #8