Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Refleksi Nasionalisme Orang-Orang Desa
17 Agustus 2023 10:36 WIB
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Suatu waktu dalam sebuah diskusi lepas dengan kawan-kawan komunitas Page Turner. Saat itu kami sedang membahas topik tentang dinamika politik elektoral 2024, termasuk tentang apakah ada hubungan antara hasrat para elit politik untuk memenangkan pertarungan dalam kontestasi politik dengan nasionalisme.
ADVERTISEMENT
Dalam proses diskusi yang berlangsung, salah seorang kawan mengutarakan pandangannya bahwa jika ada kesempatan untuk pindah warga negara ke negara yang lebih baik dalam hal tata kelola negara, maka dia mungkin mempertimbangan untuk mengambil kesempatan itu.
Argumennya berangkat dari berbagai kekecewaan yang disaksikan di negari ini yang dipertontonkan oleh pejabat publik termasuk maraknya kasus korupsi dan akses terhadap dua bidang kehidupan yang vital yaitu pendidikan dan kesehatan yang belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Muncul pertanyaan mendasar, apakah dengan keputusan untuk pindah warga negara bisa menjadi dasar justifikasi bahwa seseorang tidak memiliki rasa nasionalisme?
Atau nasionalisme itu tidak bisa dikorelasikan dengan keputusan yang diambil oleh seseorang karena merupakan konsep abstrak?
ADVERTISEMENT
Secara alamiah, pemerintah atau siapapun tidak perlu melakukan usaha untuk meningkatkan rasa nasionalisme dalam diri seseorang karena pada dasarnya, rasa nasionalisme tumbuh secara inheren dalam diri seseorang di mana mereka dilahirkan dan dibesarkan. Manusia akan mencintai segala yang membersamainya tumbuh dan tidak perlu dipelajari atau distimulasi dengan jargon-jargon abstrak.
Perasaan seperti ini merupakan embrio dari nasionalisme modern yang dikenal seperti saat ini. Pada perkembangannya, nasionalisme bertransformasi menjadi konsep yang sakral ketika sebuah negara masih dalam masa kolonialisme. Salah satu senjata paling ampuh untuk membangkitkan rasa kebersamaan seluruh rakyat adalah mengobarkan semangat nasionalisme untuk mengusir para penjajah.
Nasionalisme dalam konteks ini disebut oleh Ania Loomba (2016) sebagai nasionalisme yang dilahirkan dari keterampasan bahwa suatu dikotomi yang mempengaruhi nasionalisme anti-kolonial. Perasaan memiliki terhadap tanah air mereka, yang berusaha dirampas oleh bangsa lain sehingga dengan sendirinya, akan muncul sikap patriotisme untuk mempertahankan tanah air mereka.
ADVERTISEMENT
Negara dan Nasionalisme
Sejarah perjuangan kemerdekaan selalu beririsan dengan diskursus tentang konsep nasionalisme karena dianggap sebagai senjata yang mampu membakar semangat para pejuang melawan penindasan yang dilakukan oleh bangsa kolonial selama bertahun-tahun lamanya. Heterogenitas etnisitas, agama, dan budaya diramu dalam konsep nasionalisme yang melahirkan perasaan senasib dan sepenanggungan sehingga para pejuang bersatu menghadapi penjajah.
Nasionalisme modern dalam konteksi Indonesia, dapat dilacak dari sejarah ikrar Sumpah Pemuda yang melahirkan konsep tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia. Perkembangan nasionalisme kemudian menemukan momentumnya saat semua pihak yang berbeda sudah mencapai titik temu dalam ikrar Sumpah Pemuda. Hal ini yang menginisiasi serangkaian perjuangan untuk lepas dari penjajahan.
Indonesia dianggap salah satu bangsa yang memiliki nasionalisme sangat kuat karena merupakan bangsa yang sangat heterogen tetapi mampu bersatu dengan tujuan yang sama. Selain itu, Indonesia juga merupakan sedikit dari negara-negara jajahan yang mampu lepas dari negara kolonial dengan usaha sendiri baik melalui perjuangan diplomasi maupun melalui konfrontasi. Sementara sebagian negara jajahan lain memperoleh kemerdekaannya dalam bentuk "pemberian" dari negara penjajah.
ADVERTISEMENT
Beberapa waktu yang lalu, Prabowo Subianto menyatakan bahwa sebagian generasi muda Indonesia sedang mengalami apa yang disebut erosi nasionalisme. Menurutnya, hal ini dapat diidentifikasi dari sikap mereka yang kurang dalam hal menghayati simbol-simbol kebangsaan, seperti lagu Indonesia Raya dan bendera merah putih.
Salah satu bentuk sikap judgmental yang sering dialamatkan kepada generasi yang lahir di masa dekolonisasi adalah rasa nasionalisme mereka yang sering dianggap rapuh dan tidak sekuat dengan apa yang dirasakan para generasi yang hidup pada masa kolonialisme. Padahal jika kita berbicara tentang konteks sosio historis, tentu saja nasionalisme tidak bisa diberlakukan secara universal melintasi ruang dan waktu karena berangkat dari pengalaman empiris yang berbeda-beda.
Para generasi yang hidup dalam masa perjuangan kemerdekaan tentunya memiliki konsep nasionalisme yang lebih universal karena tujuannya jelas, rasa nasionalisme digunakan sebagai alat persatuan untuk mengusir pihak kolonial.
ADVERTISEMENT
Sementara ketika berbicara mengenai nasionalisme generasi sekarang, maka mereka tidak punya standar baku untuk mencintai negara mereka karena sangat tergantung dengan pengalaman empiris yang ada relasinya dengan pemerintah.
Tentu tidak mudah menumbuhkan rasa nasionalisme yang kuat ketika generasi muda tidak mengalami masa kolonialisme. Rasa nasionalisme generasi muda sependek ketika mereka merasa terharu menonton timnas Indonesia menang melawan Malaysia atau tim bulutangkis juara olimpiade, selebihnya generasi muda tidak punya pengalaman untuk menguatkan rasa nasionalisme.
Jika para Pejuang kemerdekaan dengan mudahnya menguatkan rasa nasionalisme mereka karena pengalaman empiris dijajah oleh bangsa lain sementara saya dan kita generasi yang lahir setelah kemerdekaan, tidak punya pengalaman historis bahkan sebaliknya, beberapa kejadian yang dilakukan oleh negara sedikit mereduksi rasa nasionalisme.
ADVERTISEMENT
Perkembangan diskursus nasionalisme juga melibatkan peran elit politik. Menurut Prasodjo (2000) bahwa nasionalisme mengalami dekadensi khususnya pada saat orde baru, dalam istilah yang dia sebut sebagai pembajakan nasionalisme di mana sangat sulit untuk menumbuhkan rasa nasionalisme dalam diri masyarakat.
Tentu saja tidak lepas dengan berbagai kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Rakyat mengalami pengalaman tidak menyenangkan yang ada hubungannya dengan kebijakan pemerintah sehingga berdampak pada bagaimana mereka mencintai negaranya.
Apa yang kita saksikan selanjutnya adalah pemerintah melakukan komodifikasi nasionalisme untuk melanggengkan status quo dengan berbagai jargon abstrak yang sebenarnya sudah tidak kontekstual dengan zaman sekarang. Generasi saat ini sudah tidak bisa diguyur dengan dogeng penderitaan masa penjajahan karena mereka tidak mengalami secara langsung.
ADVERTISEMENT
Jargon tentang “NKRI Harga Mati,” “Saya Indonesia, Saya Pancasila,” menjadi sangat populer ketika menjelang pesta politik elektoral, atau digunakan ketika pemerintah memiliki agenda untuk merepresi tuntutan dari masyarakat kepada pemerintah terkait tata kelola negara.
Generasi yang tidak pernah merasakan dijajah, membutuhkan sesuatu yang bisa dirasakan secara langsung seperti tata kelola negara yang baik. Simbol-simbol abstrak sudah tidak terlalu mempan untuk menguatkan rasa nasionalisme dalam diri generasi muda karena mereka hidup di zaman yang sudah berbeda, apalagi dengan mudahnya mereka mengakses informasi yang turut mengubah persepsi mereka terhadap banyak hal termasuk tentang konsep nasionalisme.
Nasionalisme Orang Desa
Beberapa tahun yang silam, ibu saya pernah datang mengunjungi saya di tanah rantau. Ada perasaan senang ketika dia bersedia diajak ke kota ini karena setahu saya, di umurnya yang sudah melebihi setengah abad, dia sama sekali belum pernah meninggalkan kampung sejauh ini apalagi menyeberang pulau.
ADVERTISEMENT
Saya cukup yakin bahwa ibu akan senang bisa melihat ibu kota secara langsung yang selama ini hanya bisa ditontonnya dari layar televisi. Saya sudah membayangkan ke mana saja saya akan mengajak ibu untuk melihat beberapa tempat ikonik di ibu kota.
Tentu saya tidak akan melewatkan untuk mengajaknya ke Monas. Kalau orang dari desa ke Jakarta, belum afdal jika belum berfoto dengan latar Monas, bahkan orang-orang sekampung belum percaya kita berkunjung ke Jakarta jika tidak ada bukti foto berlatar tugu Monas.
Dugaan saya meleset, bahkan sangat jauh dari apa yang saya bayangkan. Ibu sama sekali tidak antusias melihat kota semegah ini. Ketika saya menjemputnya di bandara, tantangan awal harus dihadapinya.
Ibu sekuat tenaga melawan mabok perjalanan dari bandara ke rumah. Setelah tiba, saya sudah bisa menebak apa yang akan terjadi. Ibu hanya berbaring melepas penat di ruang dengan televisi, bergulat dengan kepala yang serasa akan meledak. Ibu memang tidak pernah kuat menahan pusing jika bepergian dengan mobil.
ADVERTISEMENT
Hari-hari berikutnya menjadi hari yang panjang dan melelahkan baginya. Ibu merindukan rumahnya, ingin segera pulang kampung, ibu rindu jualan di pasar. Bangun tengah malam menyiapkan adonan kue kemudian pagi berjualan di pasar sampai sore.
Bukan hanya ibu saya yang memiliki perasaan yang mengakar terhadap tanah airnya dalam konteks kampung halaman. Hampir semua orang tua di kampung memiliki perasaan yang sama kuat terhadap tempat lahir mereka.
Beberapa hari yang lalu, saya menulis tentang fenomena Brain Drain di mana sebagian orang Indonesia memutuskan pindah warga negara ke Singapura. Saya tidak percaya ada dari mereka yang berasal dari desa karena saya amat sangat yakin bahwa mayoritas masyarakat yang tumbuh dan besar di desa, menyayangi tanah airnya dengan segenap rasa yang tidak bisa dikuantifikasi dengan materi.
ADVERTISEMENT
Mereka tidak perlu diajari bagaimana cinta tanah air. Mereka tidak membutuhkan jargon-jargon nasionalisme mainstream yang sering dijadikan jualan saat kampanye politik.
Mungkin, ini hanya perkiraan saya, bahwa orang-orang desa lebih nasionalis dibandingkan dengan para pejabat yang selalu membasahi mulutnya dengan konsep nasionalisme setiap kali pidato namun ternyata punya agenda pribadi untuk memperkaya diri dari uang negara.
Orang-orang desa hanya butuh hidup yang tenang di desa masing-masing tanpa ada perampasan tanah. Mereka tidak pernah banyak meminta apa-apa kepada pemerintah kecuali pemerintah turut menjaga kestabilan harga ketika mereka sedang memasuki masa panen.
Mereka hanya butuh akses pendidikan dan kesehatan yang murah untuk anak-anak mereka. Minimal ada dokter di setiap puskesmas, atau ada perpustakaan desa yang bisa menjadi salah satu alternatif sumber ilmu pengetahuan bagi anak-anak desa.
ADVERTISEMENT
Salah satu bukti bagaimana cintanya orang-orang desa dengan tanah airnya dapat kita saksikan dalam fenomena mudik setiap tahun. Momen mudik merupakan salah satu bukti konkrit betapa masyarakat Indonesia khususnya dari desa tidak punya banyak alasan untuk mencintai negeri ini.
Mereka dengan cara apapun akan menyempatkan pulang minimal sekali dalam setahun tanpa ada penyebabnya kecuali rasa rindu. Memang, manusia selalu rindu kembali ke asalnya sejauh manapun dia merantau.
Tentang mudik, Emha Ainun Nadjib dalam salah satu bukunya menulis bahwa orang yang melakukan perjalanan mudik dan beramai-ramai pulang kampung pada dasarnya sedang setia tuntutan sukmanya untuk kembali mengakrabi asal-usulnya. Jadi mencintai tanah air dan asal usul adalah sesuatu yang manusiawi.
Begitulah nasionalisme orang-orang desa. Mereka tidak menuntut banyak kepada pemerintah kecuali hanya sedikit. Jika hal-hal yang sedikit itu dipenuhi, mereka akan hidup dengan cara mereka sendiri dan mencintai tanah mereka dengan sepenuh hati.
ADVERTISEMENT