Konten dari Pengguna

Selepas Membaca Buku Polemik Sains

Minhajuddin
Akademisi Unisa Bandung - Peneliti pada Kajian Strategis Hubungan Internasional (KSHI).
2 Januari 2024 16:40 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan membaca buku. Foto: Nattakorn_Maneerat/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan membaca buku. Foto: Nattakorn_Maneerat/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Di akhir tahun lalu, saya menyambangi toko buku Togamas di bilangan Buah Batu, Bandung. Niat awalnya membeli komik Black Clover vol 4 untuk anak saya, tetapi setelah sampai di toko buku, sebagaimana kebiasaan yang saya lakukan, saya melihat-lihat buku sosial politik.
ADVERTISEMENT
Setelah beberapa saat mengelilingi toko buku, mata saya tertuju pada sebuah buku yang tidak terlalu tebal dengan warna sampul dominan kekuning-kuningan dengan judul polemik sains.
Saya membaca salah satu buku display yang segelnya sudah terbuka. Setelah membaca bagian-bagian awal buku, saya mengetahui bahwa buku tersebut adalah kumpulan tulisan dari berbagai tokoh yang disadur dari debat panjang secara online melalui tulisan dengan topik polemik antara sains, agama dan filsafat.
Debat tersebut terjadi pada awal meledaknya pandemi Covid-19, yang distimulan oleh tulisan GM di beranda facebooknya. Tulisan tersebut kemudian mendapat tanggapan dari tokoh lain yang kemudian semakin meramaikan debat bernas dalam tiga tema besar.
Para tokoh yang terlibat di dalam debat panjang dengan saling berbalas tulisan adalah GM, Nirwan A Arsuka, Ulil Abshar A, Taufiqurrahman dll. Sayangnya, tiga penulis tidak bersedia dibukukan tulisannya sehingga agak sedikit mengurangi kenikmatan membaca para intelektual dalam berdebat yang berisi. ketiga tokoh tersebut adalah A.S Laksana, Lukas Luwarso, dan Hamid Basyaid.
ADVERTISEMENT
Perdebatan dimulai dari tulisan GM yang diberi judul 'Pasti." Tulisan tersebut minimal mempertanyakan sains dalam menjawab solusi yang tepat atas pandemi Covid 19 yang melanda dunia.
Tulisan ini secara tersirat mengkritik sains yang di awal merebaknya pandemi covid-19, jawaban sains selalu berubah-ubah. GM memberikan contoh bahwa di awal, pakar memberikan statemen bahwa virus ini tak terdapat pada manusia, kemudian virus ini tidak berbahaya pada anak-anak dan pernyataan-pernyataan lain yang menganulir statemen sebelumnya.
Tulisan GM melahirkan reaksi dari para tokoh yang pro terhadap sains. Mereka menguliti tulisan GM dengan berbagai argumentasi yang logis dan disertai afirmasi dari para tokoh dunia.
Selanjutnya perdebatan yang mengisi nutrisi otak tersebut bisa dibaca di buku polemik sains.
ADVERTISEMENT

Manusia dan Pengalaman Personalnya

Sejatinya, saya mengamini semua argumen para penulis di buku tersebut, baik yang membela sains, agama, maupun filsafat karena menurut saya bahwa semua tokoh fasih dalam bidang masing-masing. Meskipun pada dasarnya, ada beberapa tokoh yang saya kagumi dan berharap memberikan tanggapan tetapi tidak muncul dalam perdebatan seperti Dr. Fahruddin Faiz dan Cak Nun.
Bagaimana pun, saya sepakat atas semua argumen di buku polemik sains, tetapi saya punya demarkasi sendiri karena entah kenapa, ada banyak pengalaman personal yang tidak bisa saya kuantifikasi.
Mungkin bagi para pendukung sains menganggap bahwa pengalaman personal yang tidak bisa dikuantifikasi adalah hal yang nonsens tetapi apa yang saya alami benar-benar faktual.
Misalnya akhir tahun kemarin, saya membatin tentang seseorang yang menurut saya tidak adil karena suatu hal. Saya menghabiskan terlalu banyak waktu untuk membatin (bergibah dengan diri) atas orang lain yang mungkin tidak seperti itu adanya.
ADVERTISEMENT
Tidak lama setelah itu, saya naik tangga dan tanpa sebab yang pasti, lulut saya terbentur padahal sekian ratus kali saya menaiki tangga tersebut dan tidak pernah mengalami hal yang sama.
Terkesan kebetulan atau cocoklogi tetapi saya punya begitu banyak pengalaman yang hampir sama ketika melakukan kesalahan dan selalu ada kesialan yang saya temui. Beberapa dari kejadian tersebut saya tulis di catatan harian.
Kejadian kedua baru saja saya alami. Selepas menyelesaikan tugas di kampus, saya pergi ke toko buku Togamas di jalan Surapati. Seperti biasa sebelum membeli buku, saya memandangi satu persatu buku sosial politik.
Setelah beberapa saat, saya tertarik membeli bukunya Noam Chomsky. Sebelum membeli, saya ingin membaca daftar isi dari buku tersebut tetapi ternyata tidak ada buku display yang terbuka sampul plastiknya. Saya berinisiatif membuka salah satu sampul plastik buku display secara diam-diam tanpa izin ke petugas toko.
ADVERTISEMENT
Setelah memastikan bahwa saya tertarik membaca buku ini, saya mengambil salah satu dari buku yang masih tersegel (bukan buku yang saya buka sampulnya). Saya sudah tidak memperhatikan lagi kualitas buku dan segera menuju kasir untuk membayar.
Saya memutuskan untuk membaca sejenak di beranda toko buku sebelum pulang. Setelah membuka buku yang sudah saya beli, saya baru sadar bahwa buku yang saya bayar tersebut, robek di bagian sampulnya dan dua halaman berikutnya.
Kejadian serupa terlalu sering saya alami, ada yang menyebutnya karma atau apapun istilahnya namun akhirnya saya memutuskan sendiri sikap saya bahwa kehidupan ini tidak bisa dikuantifikasi seluruhnya karena setiap orang memiliki pengalaman personalnya.
Benar bahwa banyak hal bisa diverifikasi oleh sains dan berbagai penemuan sains yang mencengangkan tetapi saya menganggap bahwa selalu ada ruang yang tidak bisa dimasuki oleh sains. Artinya sains tidak boleh pongah terhadap kemampuannya dalam membuktikan kejadian secara empirik.
ADVERTISEMENT

Mendamaikan Sains, Agama, dan Filsafat

Saya pribadi meyakini bahwa tidak ada hal yang harus dipersoalkan atas ketiganya. Hanya saja, yang saya tidak sepakati ketika masing-masing dari para pengikut berusaha mendiskreditkan bidang yang lain bahkan ada yang sampai menulis buku hanya untuk menunjukkan kelemahan dari bidang yang tidak mereka sepakati.
Perdebatan boleh saja terjadi tetapi dengan tujuan untuk menemukan sintesa baru yang berguna bagi semua bidang.
Saya tidak sepakat dengan para pendukung sains yang bersusah payah membuat buku untuk mengolok-olok agama. Pun demikian dengan para Agamawan yang menghabiskan waktunya untuk menyesatkan bidang filsafat, atau bahkan para Filosof yang dengan pongahnya mencemooh sains sebagai bidang yang lahir dari filsafat itu sendiri.
Usaha untuk mendelegitimasi antara ketiga tidak akan membawa manfaat apa-apa selain jago-jagoan, padahal menurut saya bahwa ketiganya bermanfaat untuk kehidupan manusia dengan porsinya masing-masing. Sains dengan penemuan-penemuannya, agama dengan ajaran moralnya dan filsafat dengan refleksi mendalam tentang manusia dan kehidupannya.
ADVERTISEMENT
Misalnya sains dengan penemuannya yang semakin canggih berpotensi merusak kehidupan manusia. Tetapi dengan batasan agama bahkan filsafat, sisi negatif penemuan sains bisa dicengah dan tidak menghancurkan peradaban manusia.
Ketiga bidang tersebut harus berdamai dalam ruang masing-masing untuk memberikan kemanfaatan terhadap manusia dan kehidupannya. Bahkan secara komprehensif terhadap seluruh alam semesta. Dengan begitu maka tidak ada lagi perdebatan yang dekaden.
Kehidupan manusia akan terus dihiasi oleh pertarungan panjang ketiga bidang ini. Prediksi sains yang meramalkan agama akan segera punah seperti mustahil terjadi. Demikian halnya kritikan sains terhadap filsafat yang dianggap tidak berprogress atas pertanyaan-pertanyaan usang, pun tidak akan mengurangi sebagian manusia yang tertarik terhadap bidang ini.
Demikianlah...
Sains, Agama, dan Filsafat akan berakhir ketika manusia terakhir sudah punah.
ADVERTISEMENT