Tipu-tipu Perjanjian Perdagangan Bebas

Minhajuddin
Akademisi Unisa Bandung - Peneliti pada Kajian Strategis Hubungan Internasional (KSHI).
Konten dari Pengguna
10 Maret 2024 10:14 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Minhajuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Slide dari kuliah umum
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Slide dari kuliah umum
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dua tahun terakhir, saya fokus melakukan riset tentang perjanjian perdagangan. Tahun lalu, saya melakukan penelitian mengenai perjanjian ekonomi komprehensif antara Indonesia dengan Persatuan Emirat Arab (PEA), sementara tahun ini, saya melakukan riset yang lebih teknis mengenai signifikansi perjanjian perdagangan terhadap UMKM kota Bandung.
ADVERTISEMENT
Rumusan masalah penelitian saya mengenai apakah perjanjian perdagangan memiliki dampak signifikan terhadap pelaku UMKM sebagaimana yang selalu didengungkan oleh pemerintah bahwa perjanjian perdagangan merupakan upaya pemerintah memudahkan pelaku usaha bersaing di pasar internasional.
Pada korespondensi awal, saya diskusi panjang lebar dengan dua narasumber utama yaitu Direktur KADIN kota Bandung dan Branch Manager perusahaan Forwarder yang sudah berpengalaman bergerak di jasa logistik ekspor impor.
Saya sudah mengenal sebelumnya kedua responden saya sehingga diskusi kami tidak terlalu baku. Kami diskusi santai di ruang kerjanya sambil minum kopi. Pertanyaan-pertanyaan pun saya lontarkan secara random dan sesekali saya selingi dengan pertanyaan basa basi di luar konteks.
Diskusi dengan kedua narasumber dilakukan di waktu dan tempat yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Kedua responden yang saya pilih cukup netral karena tidak berasal dari instansi pemerintah sehingga dalam memberikan keterangan, mereka mengungkapkan sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan.
Sementara memilih responden dari instansi pemerintah sangat rawan bias informasi. Dari berbagai referensi yang saya peroleh dari pernyataan pihak pemerintah, mereka seolah-olah ingin mengatakan bahwa perjanjian perdagangan bebas merupakan kebijakan yang sifatnya bottom up. Sebuah klaim yang sangat berani karena sudah merupakan rahasia umum bahwa kebijakan perjanjian perdagangan bebas merupakan kesepakatan di WTO. Artinya kesepakatan itu merupakan pendekatan kebijakan top down.
Saya mengikuti dua webinar tentang implementasi perjanjian dagang Indonesia-PEA yang diadakan oleh kementerian perdagangan dan FTA Center di waktu yang berbeda. Di kedua sesi tersebut, saya menyimpulkan bahwa pihak pemerintah sangat yakin skema perjanjian ini akan berdampak baik terhadap UMKM, namun pada proses penelurusan selanjutnya, tidak seperti adanya yang saya jumpai di tataran akar rumput.
ADVERTISEMENT

Perjanjian Perdagangan Bebas

Kajian tentang perdagangan bebas sebenarnya merupakan topik lawas sejak puluhan tahun silam. Bahkan sejak ditandatanganinya perjanjian GATT oleh 23 negara. Meskipun sebelumnya, gaung perdagangan bebas sudah didorong oleh negara Eropa dan AS tetapi kemudian diinstitusionalkan dalam perjanjian GATT yang pada perkembangan selanjutnya akan berubah wujud menjadi sebuah organisasi di tahun 1995.
Topik perdagangan bebas menjadi hangat karena ada dua kelompok yang merepons isu ini, pertama kelompok yang pro dengan mengamini tujuan dari perdagangan bebas yang mereka percayai akan melahirkan perdagangan internasional yang adil dan bermanfaat kepada seluruh negara yang terlibat.
Kelompok kedua adalah mereka yang tidak percaya bahwa perdagangan bebas akan membawa kesejahteraan. Alih-alih berguna bagi negara berkembang, skema ini bahkan akan menjadikan negara berkembang sebagai pangsa pasar negara maju.
ADVERTISEMENT
Detailnya terlalu panjang jika dielaborasi di sini. Namun intinya bahwa negara berkembang akan menjadi tong sampah bagi negara maju. Sumber daya alamnya dikeruk, pabrik-pabrik milik negara kapitalis didirikan di negara berkembang, selanjutnya buruh berasal dari masyarakat negara berkembang yang dibayar murah. Setelah itu, produk-produknya akan dibeli lagi oleh masyarakat negara berkembang dengan harga yang tidak masuk akal hanya demi memenuhi citra diri.
Kelompok ini percaya bahwa perdagangan bebas bukan kondisi alamiah yang terjadi tetapi sebuah konstruksi sosial yang didesain sedemikian rupa untuk memenuhi kepentingan negara kapitalis.
Skema ini sangat tricky karena merupakan kesepatan di WTO dan harus diimplementasikan oleh seluruh states parties. Tidak ada alasan untuk tidak terlibat dalam kesepakatan di WTO.
ADVERTISEMENT
Data dan Fakta
Saat saya menanyakan rumusan masalah kepada Branch Manager perusahaan forwarder, dia senyum tipis seakan mengaggap bahwa perjanjian perdagangan hanya diperlukan oleh pemerintah untuk membranding citranya sebagai institusi yang harus pro terhadap rakyatnya tetapi juga harus ikut skema di organisasi WTO.
Sejak menjabat sebagai Branch Manager selama puluhan tahun di perusahaan yang sekarang dijalankan, dia tidak pernah menemukan signifikansi perjanjian perdagangan berdampak terhadap peningkatan volume ekspor.
Penyebabnya sangat banyak kenapa perjanjian perdagangan tidak berpengaruh tetapi dia meyakini bahwa sebenarnya perjanjian perdagangan bebas merupakan kebutuhan pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada WTO bahwa mereka sudah menjalankan kesepakatan yang didorong oleh WTO.
Di lain waktu ketika diskusi dengan responden dari KADIN kota Bandung, hal serupa juga terlontar dari mulutnya. Dia sama sekali tidak percaya bahwa perjanjian perdagangan bebas akan berguna bagi pelaku UMKM, bahkan jangankan berbicara mengenai optimalisasi perjanjian perdagangan bebas yang sudah diratifikasi oleh negara, sosialisasinya pun tidak menyentuh semua pelaku UMKM.
ADVERTISEMENT
Kesimpulannya bahwa perjanjian perdagangan bebas yang sudah diterapkan oleh Indonesia dalam berbagai bentuk, sebenarnya tidak lebih merupakan pemenuhan kewajiban pemerintah terhadap kesepatan di WTO yang mengharuskan semua negara untuk menerapkan perdagangan bebas.