Badai Hujan Es dan Gemanya di Revolusi Prancis

Mirza Ardi Wibawa
Sejarawan, Petani Urban, Kafkasque @mirdiwa
Konten dari Pengguna
14 Januari 2021 19:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mirza Ardi Wibawa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Awal tahun 2021, ramai berita badai salju di Madrid sampai gelombang panas di lingkar artik Siberia. Namun, apa yang dapat dipelajari dari perubahan iklim dan anomali cuaca dalam sejarah umat manusia?
Tumpukan salju di Madrid, Spanyol, pada Januari 2021. Foto dari Pablo Blazquez Dominguez / Getty Images dalam https://www.lonelyplanet.com/articles/madrid-unprecedented-snowfall
Suatu pagi pada 13 Juli 1788, bongkahan es berdiameter 16 inci (40 cm) menghujani pemukiman dan lahan-lahan pertanian di sekitar Paris, Prancis. Ahli meteorologi J. Dettwiller dalam La Révolution de 1789 et la Météorologie, menceritakan laporan Lord Dorset, duta besar Inggris untuk Prancis:
ADVERTISEMENT
"Badai petir, kilat dan hujan es yang terjadi pada Minggu pagi lalu di Paris telah menyebabkan kerusakan di mana-mana... Bunyi yang terdengar di udara melampaui gambaran kita akan kengerian. Hujan es yang jatuh dengan berat dan ukuran sebesar itu tidak pernah terjadi di negeri ini sebelumnya".
Sejak musim semi tahun 1788, cuaca di Prancis memang sudah teramat kering. Gandum tidak tumbuh dan harga roti meroket. Sementara beban kaum petani semakin berat karena harus membayar sewa ke tuan tanah, pajak ke gereja, juga kepada rajanya.
Ilustrasi wanita yang menikmati indahnya salju Foto: Shutter Stock
Sengsara kekeringan di musim semi dan musim panas, orang-orang di sekitar Paris harus bertahan pula di musim dingin dengan stok pangan yang menipis. Bahkan, Thomas Jefferson yang sedang berada di kota itu pernah menulis kondisi musim dingin 1788 dalam autobigrafinya, "datanglah musim dingin yang begitu dingin, yang belum ada dalam ingatan manusia atau tertulis dalam catatan sejarah".
ADVERTISEMENT
Bersama dengan langkanya ketersediaan roti, orang-orang yang kelaparan mulai marah dan melakukan aksi kekerasan. Selama musim dingin 1788 hingga musim semi 1789, beberapa aksi masa pun mulai mengecam tingginya harga gandum, memaksa lumbung-lumbung dibuka dan menghancurkan dokumen-dokumen tuan tanah yang berkaitan dengan utang kepada petani. Pemilik toko roti juga banyak yang menutup kios mereka, menghindari perusakan, penjarahan dan perampokan.
Pada 14 Juli 1789 (Setahun lebih sehari-setelah didera badai hujan es), rakyat Paris mendapati puncak dari tingginya harga roti. Di hari yang sama pula, meletuslah peristiwa Penjara Bastille yang ikonik dalam kronik Revolusi Prancis.
Penjara Bastille 14 Juli 1789. Gambar dari https://daily.jstor.org/the-origins-of-bastille-day/
Jika dalam sejarah kita mencari tanda peristiwa, maka bermula dari sebuah badai hujan es, pekikan jargon revolusi bisa bergema: Marchons! Marchons! Qu'un sang impur abreuve nos sillons! (Bergeraklah! Bergeraklah! Biarkan darah kotor ini mengairi alur ladang kita!)
ADVERTISEMENT
Perubahan iklim bisa jadi katalisasi perubahan zaman, maka berbaik hatilah pada alam dan lingkungan.