Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kebijakan Larangan Ekspor CPO Setelah Kelangkaan Minyak Goreng
8 Mei 2022 17:04 WIB
Tulisan dari mochamadasepirawanpsb18 tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak akhir tahun 2021, kelangkaan bahan pokok yang tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan sehari-hari masyarakat terus berfluktuasi. Komoditi unggulannya adalah minyak goreng, satu persatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat akan minyak goreng.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, pemerintah setidaknya mengeluarkan tiga kebijakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan minyak goreng. Kebijakan tersebut dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Kebijakan tersebut antara lain pengaturan subsidi minyak nabati oleh Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDKS), kemudian melalui penerbitan kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng, dan terakhir kebijakan perusahaan yang memenuhi kewajibannya untuk memenuhi kewajiban domestik mereka, permintaan atau obligasi pasar domestik.
Padahal, kebijakan yang dikeluarkan Mendag itu tidak dilihat untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng di masyarakat. Bahkan, banyak isu yang menyebar atau menyerang masyarakat dengan tuduhan menimbun minyak goreng.
Dilihat dari beberapa kebijakan tersebut di atas, ternyata beberapa kebijakan pemerintah tersebut menjadi penyebab yang secara tidak langsung menyebabkan kenaikan harga dan kelangkaan minyak nabati. Kebijakan tersebut adalah Program Mandatori Biodiesel 30% (B30). Kebijakan tersebut diterapkan setelah melihat keberhasilan proyek-proyek B20 sebelumnya. Bukan untuk menghemat devisa, tapi masalah baru dengan semakin langkanya pasokan minyak goreng.
ADVERTISEMENT
Ada sisi mengejutkan dari kebijakan pemerintah di balik kelangkaan minyak goreng. Di balik kelangkaan minyak goreng, pelaku kelangkaan minyak nabati adalah Indrasari Wisnu Wardhana (IWW), Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen Perdaglu Kementerian Perdagangan), yang dituding melakukan korupsi di CPO yang menyebabkan kelangkaan minyak nabati. . IWW sendiri ditetapkan sebagai tersangka karena menyetujui ekspor CPO dan turunannya ke PT Multimas, Nabati Asahan, Permata Hijau, PT Wilmar Nabati Indonesia dan PT Musim Mas. Perekonomian negara menderita akibat tindakan IWW, kelangkaan minyak nabati dan penurunan minat beli masyarakat karena kurangnya ketersediaan minyak goreng.
Larangan ekspor CPO sementara mulai berlaku Kamis (28/4/2022) lalu. Larangan yang dikutip dari cnbcindonesia.com ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22 Tahun 2022 yang berisi larangan sementara ekspor minyak sawit mentah, minyak sawit olahan, minyak sawit yang diputihkan dan dihilangkan baunya serta minyak goreng.
ADVERTISEMENT
Kebijakan ini diambil karena, ironisnya, produsen minyak sawit mentah terbesar dunia itu justru mengalami kelangkaan di negaranya sendiri. Jokowi menegaskan larangan ekspor sementara dapat dihentikan jika kebutuhan minyak nabati dalam negeri terpenuhi. Hal ini tidak dapat dipisahkan, karena negara juga membutuhkan devisa, pajak, dan surplus perdagangan.
Alih-alih ingin memenuhi kebutuhan dalam negeri, efek selanjutnya yang terjadi karena larangan sementara ekspor CPO ini berdampak pada petani sawit yang merugi. Henry Saragih selaku Ketua Serikat Petani Indonesia menyampaikan tanggapannya kepada CNNIndonesia.com yaitu “menjelang lebaran kemarin, petani yang mengharapkan sebuah harga yang baik yaitu justru hancur harganya semua karena cuma bisa dijual separuh dari harga yang biasa” Sabtu (7/5). Pemaparan yang disampaikan ini mengenai larangan ekspor CPO berdampak pada biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani sawit menurun drastis, efek ini bahkan terjadi sebelum kebijakan larangan ekspor sementara CPO ditetapkan pada (28/4/2022).
ADVERTISEMENT
Ironisnya meskipun ada kebijakan larangan ekspor CPO ini justru harga minyak goreng di pasaran masih saja mahal. Jokowi membenarkan bahwa dari kebijakan larangan ekspor CPO ini memiliki dampak negatif bagi petani sawit, dikarenakan hasil panen yang berpotensi tak terjual.
Dalam hal ini penetapan akan kebijakan larangan sementara ekspor CPO harus secara pasti akan berlangsung hingga waktu yang telah ditentukan. Jangan sampai dengan adanya kebijakan larangan ekspor CPO ini para petani sawit menjadi korban ketidakpastian harga jual dari hasil panen mereka. Memberikan kepastian harga kepada petani sawit untuk biaya produksi dari panen mereka agar para petani sawit pun tidak merugi atas kebijakan yang telah ditetapkan ini. Pemenuhan akan kebutuhan dalam negeri juga harus segera direalisasikan, ini dikarenakan negara juga memerlukan devisa, pajak serta surplus neraca perdagangan untuk penguatan perekonomian Indonesia.
ADVERTISEMENT