Mengapa Masih Terjadi Intoleransi di Cianjur?

Ainu Rizqi
Penulis lepas dan editor di Artikula.id. Saat ini sedang menghirup udara Jogja sambil kuliah di UIN Sunan Kalijaga.
Konten dari Pengguna
7 Desember 2022 22:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ainu Rizqi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: www.pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: www.pixabay.com
ADVERTISEMENT
Belum lagi lengang di telinga kita terkait gema penderitaan akibat terjadinya gempa bumi di Cianjur. Adanya bencana itu membuka mata banyak orang. Donasi-donasi digalakkan, ucapan-ucapan belasungkawa bertebaran. Banyak relawan yang “turun gunung” atas dasar kemanusiaan. Namun, sangat disayangkan, apa yang terjadi di lapangan sungguh sukses membuat kita mengelus dada dan menggelengkan kepala: Intoleransi masih hidup.
ADVERTISEMENT
Para relawan yang pada mulanya berlapang dada untuk melaksanakan tugas kemanusiannya terpaksa menarik diri. Hal ini bermula dari relawan medis dari RAID yang menarik diri, lalu disampaikan melalui akun Instagram @idn.grassroots pada Selasa (29/11/22).
“Dengan sangat menyesal kami tarik mundur rescuer dan rekan-rekan media dari RAID yang diperbantukan untuk trgedi Cianjur dengan pertimbangan perlakuan dari sekelompok masyarakat yang justru membebani misi kemanusiaan kawan-kawan di lapangan,” tulisnya dalam unggahan akun Instagram tersebut.
Perlu kita garis bawahi, “perlakuan dari masyarakat yang justru membebani misi kemanusiaan” itu tidak berangkat dari ruang hampa. Hal-hal yang membebani tersebut selain adanya pungli, terutama adanya tindakan yang intoleran dengan dalih agama.

Intoleransi Atas Dasar Agama

Salah satu alasan yang membuat misi kemanusiaan itu terpaksa harus menarik diri adalah persoalan perbedaan agama. Tindakan diskriminasi pada agama tertentu ini viral lantaran terdapat video di mana beberapa orang mencopot tulisan bantuan dari Gereja. Lalu apa yang ada di balik beberapa orang yang mencabut tulisan tersebut?
ADVERTISEMENT
Terungkap bahwa mereka adalah bagian dari Organisasi Masyarakat (Ormas) GARIS di Cianjur. Ormas ini merupakan kelompok Islam yang dibentuk pada 24 Juni 1998. Lagi-lagi, perbedaan identitas dan keyakinan menjadi tabir penghalang ketulusan manusia dalam mengulurkan tangannya. Hal ini menandakan adanya tidak-berkenanan terhadap liyan dan mengindikasikan adanya klaim kebenaran sepihak yang telah mendarah daging.
Padahal waktu telah mengatakan, betapa banyaknya konflik yang terjadi karena tidak-menerimaan terhadap liyan dan klaim kebenaran atas keyakinannya yang “diabsolutkan”. Tragedi Poso yang berdarah-darah pada tahun 2000, Konflik Tanjung Balai yang berapi-api pada tahun 2016, Konflik Sampang yang bermula pada tahun 2004, Pembakaran Masjid Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat, pada tahun 2021, dan masih banyak lainnya. Bukankah hal itu semua berawal dari perjumpaan perbedaan keyakinan keagamaan?
ADVERTISEMENT
Jika dengan pemahaman atas ayat suci—yang kadang keliru ditafsirkan—masih belum mampu menghentikan tindakan semacam itu, maka perlu adanya alternatif lain agar hal-hal diskriminasi atas dasar agama tak terulangi kembali pada hari ini, besok, dan lusa nanti.
Apalagi melihat kenyataan di Cianjur, sempat tersiar opini-opini di media sosial yang mengatakan bahwa adanya bencana ini merupakan azab dari Tuhan. Saya tak menyalahkan sepenuhnya, namun tak juga membenarkan sepenuhnya. Kita perlu lebih kritis lagi, sebab gempa bumi merupakan problem ekologi, tetapi malah dijawab dengan problem teologi. Sebuah “lompatan” paradigma yang banal.

Memahami Orang Lain bersama Levinas

Menilik angkat kakinya para relawan di Cianjur, saya jadi teringat dengan etika tanggung jawab dari Emmanuel Levinas. Sebelumnya, saya akan sedikit memperkenalkan Emmanuel Levinas agar lebih mudah memahami gagasannya.
ADVERTISEMENT
Emmanuel Levinas merupakan seorang pemikir kontemporer yang dilahirkan di Rusia pada awal tahun 1906 dan mengakhiri hayatnya pada tahun 1995 di Prancis. Jika dia meninggal di Prancis, dapat dipastikan dia juga turut menimba ilmu di Prancis—yang terkenal dengan para pemikir hebatnya. Ya, Levinas belajar filsafat di Prancis dan sempat berguru dengan Edmund Husserl serta Martin Heidegger, yang mana kedua oang tersebut menjadi “raksasa” pemikir di Prancis kala itu.
Pemikiran yang terkenal dari sosok Levinas ini adalah etikanya. Sekilas etika Levinas ini terdengar sangat normatif, karena jika dipahami sekelebat saja terkesan untuk kita agar selalu menghormati orang lain. Namun tak sekadar begitu kenyataannya. Levinas berupaya untuk menyadarkan kepada publik bahwa pada dasarnya orang lain (yang selanjutnya akan disebut Yang Liyan) sudah menjadi fakta dasar atas eksistensi kita. Keberadaan atau eksistensi kita akan benar-benar nyata ketika bertemu dengan Yang Liyan.
ADVERTISEMENT
Sudah menjadi keharusan bagi kita untuk memperlakukan Yang Liyan dengan baik, membuatnya tak terganggu dengan kita, dan merasa nyaman dengan kita. Singkatnya, kita bertanggung jawab dengan Yang Liyan. Gagasan itulah yang kelak membuat Levinas dikenal dengan etika tanggung jawabnya.
Menurut Levinas, perjumpaan kita atau aku dengan 'Yang Liyan' ini merupakan suatu relasi yang harus dilakukan secara vis-a-vis, tanpa menghamba pada resiprositas (kesalingan; timbal balik; saling membalas). Hal tersebut menjadi sesuatu 'yang-etis', yang menjadikan etikanya dikenal pula dengan eksistensialisme etis.
Lantas jika terdapat gesekan-gesekan atau diskriminasi atas perbedaan keyakinan dan agama, maka dengan kerangka Levinas ini kita mudah mengidentifikasinya. Levinas mengatakan bahwa tindakan tidak etis (mendiskriminasi, menolak yang lain) muncul sebab ada abstraksi yang dijadikan patokan untuk memperlakukan seseorang.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus yang terjadi di Cianjur, sekelompok oraang dari Ormas tersebut nampaknya memiliki abstraksi yang menyebabkan pendiskriminasian terhadap agama tertentu. Abstraksi tersebutlah yang menjadikan hal tersebut menjadi bertentangan dengan ‘yang-etis’. Tentunya diperlukan adanya kesadaran bahwa adanya kita bertanggung jawab atas perjumpaannya dengan 'Yang Liyan'. Artinya, adanya 'Yang Liyan' (relawan yang berbeda keyakinan) jangan sampai merasa terganggu dan tidak merasa diperlakukan berbeda.
Fenomena yang bertentangan dengan ‘yang-etis’ tersebut jika dieksplorasi lebih jauh maka akan mengantarkan kita pada suatu hal yang mendasari. Di sini jelas, bukan, bahwa yang mendasari ketidak-etisan tersebut berupa pemahaman atas agama yang berbeda. Pemaknaan dan pemahaman terkait sesuatu selalu memiliki konsekuensi logis pada tindakannya. Dalam hal ini, kita perlu ngangsu kaweruh dengan salah satu pemikir ternama di Prancis, selain Levinas.
ADVERTISEMENT

Mendekonstruksi Pemahaman yang Kaku

Adalah Jacques Derrida. Sosok penggali konsep dekonstruksi yang dilahirkan di Aljir pada tahun 1930 dan mengembuskan napas terakhirnya pada tahun 2004. Derrida melahirkan gagasan dekonstruksi ini tak lepas dengan perjumpaannya dengan sejumlah nama besar, seperti Louis Althuser, Michael Foucault, Pierre Bourdieu, dan lain-lain. bahkan Derrida sendiri mengakui bahwa pemikirannya memiliki jalin-kelindan dengan Heidegger, Nietszche, Adorno, Levias, Freud, dan Saussure.
Konsep dekonstruksi Derrida ini secara ringkas dapat kita pahami sebagai cara berpikir untuk menghantam, meluluh-lantakkan sebuah kemapanan. Dekonstruksi ini merupakan suatu bentuk penghalauan dan penolakan terhadap konsep oposisi biner—seperti benar-salah, laki-laki – perempuan, hitam-putih, dsb. Bagi Derrida, adanya oposisi biner itu dapat menimbulkan konsekuensi yang kelewat fatal.
Konsekuensi logis dari adanya oposisi biner atau dua kutub yang “selalu” dipertentangkan tersebut akan melahirkan adanya superior dan interior. Mendominasi dan didominasi. Ambil saja contoh mayoritas dan minoritas. Senyatanya yang mayoritas selalu mendominasi dan berupaya untuk selalu menguasai yang minoritas. Hal inilah yang menjadi kegelisahan Derrida, sehingga dia benar-benar serius dalam merumuskan konsepnya ini.
ADVERTISEMENT
Lalu jika kehadiran dekonstruksi adalah melawan oposisi biner, apakah dekonstruksi ini berusaha membalikkan posisi bagi oposisi biner tersebut? Tentu tidak. Dekonstruksi hadir dengan wajah emansipatoris. Kehadirannya menjunjung keterbukaan, serta menghormati tiap perbedaan.
Dekonstruksi yang ditawarkan Derrida ini berfokus pada suatu kemapanan dan kefinalan sebuah interpretasi atau pemahaman atas teks. Banyak dari kita yang menganggap bahwa sesuatu yang telah tertuliskan—lebih-lebih pada kitab suci—adalah suatu kebenaran yang telah final. Mutlak. Berangkat dari pemahaman tersebut terkadang justru membuat kita memandang yang lain salah, tidak benar, dan harus kita benarkan. Padahal belum tentu interpretasi atau pemahaman kita atas teks itu sudah benar. Oleh karenanya memahami dekonstruksi menjadi keniscayaan yang harus kita ikhtiarkan.
Intinya pada tawaran dekonstruksi dari Derrida ini adalah sebuah ajakan agar jangan begitu saja menganggap pemahaman atas teks-teks atau keyakinan kita sudah benar mutak kebenarannya. Karena memutlakkan sebuah pemahaman dalam dunia yang multi-interpretatif ini dapat menyebabkan adanya sikut-menyikut antar-pemegang keyakinan tersebut.
ADVERTISEMENT

Perjumpaan dengan yang Berbeda

Kita kembali pada kasus di Cianjur tadi, andai saja para oknum Ormas Garis tak melakukan tindakan pencopotan tulisan bantuan dari gereja, tentu saja potensi para relawan untuk melakukan penarikan diri nihil dilaksanakan. Asumsi saya, pencopotan label dari oknum Ormas tersebut tentunya berangkat dari pemahaman bahwa keyakinan yang mereka yakini telah mutlak kebenarannya, sehingga pihak lain—yang berbeda—tak seharusnya melabeli identitasnya untuk memberikan bantuan.
Dari kejadian di atas, kehadiran Levinas dan Derrida mungkin bisa menjadi alternatif agar hal-hal yang merusak keutuhan tak terulangi lagi dengan dalih keyakinan atau agama tertentu. Sebab kita hidup selalu mengalami perjumpaan dengan banyak kepala; beda kepala, beda isi, beda tindakan. Oleh karena itu perlunya etika yang bertanggung jawab dan penundaan kebenaran yang telah dianggap final sudah menjadi barang tentu yang diupayakan bersama, agar kehidupan lebih hidup dengan kesalingan: saling membantu, saling menguatkan, dan saling menjaga.
ADVERTISEMENT