Konten dari Pengguna

Ada Jejak Jurnalisme Warga di Tulisan Opini

Mohamad Jokomono
Pernah bekerja sebagai redaktur di Harian Suara Merdeka Semarang (2001-2024). Purnatugas per 9 November 2024. Pendidikan terakhir S-2 Magister Ilmu Komunikasi Undip Semarang (2015). Menyukai kucing.
11 Mei 2025 13:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohamad Jokomono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi jurnalisme warga dari sumber Shutterstock.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi jurnalisme warga dari sumber Shutterstock.
Membaca tulisan “Ketan Bintul: Warisan (Kuliner) Istana Banten Yang Tetap Menggoda di Bulan Ramadan” (tambahan (Kuliner) dari saya). Memantik perhatian saya untuk mengaitkannya dengan pembicaraan tentang jurnalisme warga.
ADVERTISEMENT
Tulisan Akbar Ahmad Siswanto, mahasiswa S-1 Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu telah tayang di Kumparan, Jumat (9/5/2015) pukul 18:31 WIB. Keberadaannya menjadi menarik di Rubrik Opini & Cerita.
Tulisan ini, sejauh yang saya baca selama menikmati tayangan tulisan-tulisan Opini & Cerita di Kumparan merupakan satu-satunya yang secara eksplisit menyebut diri sebagai citizen journalism alias jurnalisme warga.
“Dalam merumuskan naskah laporan citizen journalism ini, saya tidak bekerja sendiri. Proses penulisan ini merupakan kolaborasi bersama rekan saya: Arifah Nisa Amira,” demikian papar Akbar Ahmad Siswanto di paragraf terakhir.
Tiap tulisan di Opini & Cerita selalu ada sertaan informasi “Konten dari Pengguna”. Ini berarti konten yang dibuat oleh pengguna atau pengakses Kumparan sebagai pembacanya. Dan, bukan dibuat oleh wartawan yang bekerja pada Kumparan.
ADVERTISEMENT
Sebagai pembaca, pengguna konten dapat mengakses rubrik ini untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaannya dalam menyikapi suatu persoalan. Format ekspresinya pun sudah jelas. Yaitu tulisan opini.
Dengan demikian, agaknya rubrik ini sedari awal sudah hadir dengan kerangka kebijakan media untuk mengkanalisasi keterlibatan warga (setidaknya warga pembaca Kumparan) untuk mengemas gagasan secara jurnalistik.
Bisa jadi bukan sekadar berita lempang (straight news). Tapi, diarahkan lebih dari sekadar itu. Berita feature yang lebih mengaksentuasikan narasi, deskripsi, dan sudut pandang yang lebih memberikan ruang pada personalitas. Tentu saja ada imbuhan opini dari sang penulis.
Dengan demikian, kalau boleh ini disebut jurnalisme warga. Dalam perspektif pengertian yang lebih sederhana, yaitu karena adanya partisipasi warga (pembaca Kumparan) dalam berjurnalistik ria. Boleh dikatakan, bahwa mereka bukan warga yang awam sama sekali akan prinsip-prinsip jurnalistik.
ADVERTISEMENT
Kelompok Tulisan
Gaya naratif agaknya menjadi pilihan yang direkomendasikan. Ada kelompok tulisan opini yang tampil dengan kecerdasan analitis mengupas persoalan aktual. Standar yang lazim dikenakan pada rubrikasi opini di media-media massa siber.
Di samping itu, ada kelompok tulisan dengan gaya naratif lebih kental, berisi renungan kehidupan yang bernas. Bahkan, ada tulisan opini di Kumparan, dengan jalinan kalimat-kalimat yang lebih mengingatkan saya pada karya sastra.
Lalu, ada kelompok tulisan dengan gaya naratif untuk mengantarkan uraian persuasif tentang suatu tujuan yang konstruktif di masa depan. Atau, bisa juga berupa petunjuk tentang suatu hal dengan maksud agar pembaca menindaklanjutinya dengan kegiatan praktik langsung.
Masih dengan mempertahankan gaya naratif, ada pula kelompok tulisan dalam sentuhan informasi yang menarik sehingga layak mendapat tangkapan reseptif dari para pembacanya. Terkadang info-info yang ringan pun bisa bermanfaat.
ADVERTISEMENT
Sajian ketan bintul. (Sumber: Shutterstock)
Ketan Bintul
Informasi tentang penganan ketan bintul bisa masuk kelompok tulisan yang tersebut terakhir ini. Sebagai ekspresi jurnalisme warga, ia telah menjanjikan informasi menarik tentang kuliner di zaman Kasultanan Banten yang tetap terawat keberadaannya hingga sekarang.
Bermula dari kegiatan kunjungan para mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah Unnes ke Museum Surosowan, Banten, beberapa waktu lalu. Kegiatan adalah bagian dari mata kuliah Kajian Peninggalan Sejarah.
Ada dua dosen yang mendampingi mereka, yaitu Dr Carolina Santi Muji Utami, M.Hum dan Bambang Rakhmanto, M.Hum. Di luar temuan-temuan benda-benda bersejarah itu, ada penganan ketan bintul yang menjadi objek tulisan Akbar Ahmad Siswanto.
Kuliner ini memadukan beras ketan yang telah masak setelah mengalami proses pengukusan dengan serundeng kelapa yang berisikan daging. Ada makna simbolik mengacu pada ketannya yang lengket dan padat. Persatuan dan kedekatan dengan sesama.
ADVERTISEMENT
Info-info ringan tentang ketan bintul semula merupakan kuliner istana, ramai dicari orang saat Ramadan, semua dari hasil wawancara dengan sejumlah pelaku UMKM di sana.
Akbar Ahmad Siswanto juga melaporkan secara ringkas tentang kunjungan ke museum tujuan yang merupakan bekas Keraton Sorosowan. Kemudian Masjid Agung Banten yang telah berdiri pada avad ke-16 dengan paduan arsitektur Jawa, Belanda, dan Tiongkok. Menaranya berbentuk mercusuar.
Juga ke kolam pemandian untuk para perempuan keluarga Kasultanan Banten di masa silam. Pun ke Benteng Speelwijk yang kini tinggal reruntuhan. Dahulu, VOC dapat bertahan dari serangan Portugis berkat keberadaan benteng ini.
Satu opini menarik dari perspektif orang yang menekuni ilmu sejarah, menjadi bagian yang sangat menarik dalam tulisan ini. Akbar Ahmad Siswanto berpandangan, bahwa warisan masa lalu tidak selalu hadir berupa prasasti atau bangunan besar.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, terkadang warisan masa lalu bisa terwujud dalam bentuk sederhana seperti ketan bintul. Tetap bertahan dalam terpaan arus perubahan. Resep leluhur yang terus dijaga oleh tangan-tangan para wanita.
Nah, begitulah saya menemukan jejak jurnalisme warga itu salah satunya di dalam tulisan Akbar Ahmad Siswanto ini. Jurnalisme warga dalam perspektif pengertian yang lebih sederhana, yaitu karena adanya partisipasi warga (pembaca Kumparan) dalam berjurnalistik ria. ***
Mohamad Jokomono, purnatugas pekerja media cetak.