Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Benarkah Ateisme Identik dengan Komunisme?
30 April 2025 10:35 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Mohamad Jokomono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Agaknya pola pikir yang terlanjur terpatri di benak mayoritas bangsa Indonesia. Entah karena bertolak dari upaya simplifikasi atau entah apa. Cenderung mengidentikkan ateisme dengan komunisme. Dengan demikian, ia berada di sisi yang berseberangan dengan kaum agamais. Kalangan teisme yang mengakui keberadaan Tuhan.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya, komunisme merupakan paham sosial, politik, dan ekonomi yang berlandaskan pada manifesto politik Karl Marx dan Friedrich Engles. Ia hadir sebagai bentuk koreksi terhadap sistem kapitalisme yang berekspansi masif di dunia pada abad ke-19.
Dalam konsep utopisnya, komunisme memperjuangkan kesejahteraan ekonomi dengan menolak kepemilikan individu-individu akan akumulasi modal sehingga memunculkan sistem kelas, yaitu borjuis (pemilik modal serta kekuasaan) dan proletar (kaum pekerja dan rakyat jelata).
Interaksi keduanya menghadirkan kesenjangan dan menempatkan kaum pekerja dan rakyat jelata di pihak lemah. Oleh karena itu, negara seharusnya menguasai seluruh alat produksi yang sejatinya belonging to the people, demi sebesar-besarnya pemerataan kemakmuran rakyat.
Ideologi Profan
Dari perspektif konsep utopis tersebut, jelaslah sesungguhnya komunisme merupakan ideologi yang profan dan sekuler. Dengan demikian, komunisme bisa menjadi pisau anutan bagi berbagai pihak dengan latar belakang yang berbeda-beda.
ADVERTISEMENT
Yang ateis, dan mungkin ini berjumlah dominan, memperlakukan komunisme sesuai dengan keyakinannya yang antituhan. Sementara itu, yang agamais (teis) akan memperlakukan komunisme dengan tetap bertahan pada keyakinan akan keberadaan Tuhan.
Tidak Relevan
Oleh karena itu, dari paras tilikan ini, tidak relevan mempertentangkan secara frontal komunisme sebagai ideologi pada satu sisi dengan keyakinan teisme (bertuhan) pada sisi yang lain.
Orang yang beragama secara taat pun bisa saja memiliki pandangan yang mendapat pengaruh komunisme. Nama Tan Malaka, siapa pun tidak memungkiri eksistensi dirinya sebagai tokoh bangsa yang memiliki paham komunis di Indonesia. Meski demikian, dia tetap seorang muslim yang taat.
Buku elektronik berjudul Tan Malaka: Bapak Republik yang Terlupakan (terbitan Tempo-Jakarta, 2008) yang disusun Tim Edisi Khusus Hari Kemerdekaan dengan Penanggung Jawab Yos Rizal Suriaji, menarasikan masa kecil lelaki kelahiran Sumatra Barat, 2 Juni 1897 itu potret bocah lelaki Minangkabau.
ADVERTISEMENT
Gemar bermain sepak bola, layang-layang, dan berenang di sungai. Selepas magrib dia mengaji, lalu tidur di surau. Anak lelaki, begitu menurut kelaziman pada saat itu, segan menginap di rumah ibunya. Pemberani, bandel, dan nekat, tapi tak pernah meninggalkan sembahyang. Dia pun hafal Alquran.
Rajin Salat
Di masa dewasanya, pemilik nama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka, yang tetap rajin salat dan menunaikan segala perintah agama itu, pernah melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1922.
Dia berpandangan, gerakan komunis di Hindia Belanda (saat itu Indonesia belum merdeka) akan sulit meraih keberhasilannya untuk mendepak jauh-jauh kolonialisme Belanda, jika mereka tidak mau bekerja sama dengan Pan-Islamisme.
Secara tegas, dia pernah mengingatkan, betapa perlu persatuan antara Partai Komunis dan Sarekat Islam. Menurut Tan, yang baru terpilih sebagai Ketua Partai Komunis saat itu, kedua partai itu semestinya bersatu padu karena memiliki tujuan sama, mengusir imperialis Belanda.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, perselisihan kedua partai hanya bagian dari politik pecah belah penjajah. Pandangan Tan Malaka ini mendapat dukungan Kiai Haji Hadikusumo, tokoh Muhammadiyah di Sarekat Islam.
Tetap Muslim
Yah, Ibrahim Datuk Tan Malaka adalah seorang komunis, tetapi di depan Tuhan dia tetap seorang muslim sebagaimana pernyataan beliau sendiri dalam suatu kesempatan.
Ini bukti bahwa seorang muslim dengan kualitas rajin salat lima waktu dan hafal Al-Qur’an serta mengamalkannya, pada saat yang bersamaan adalah juga sosok yang memiliki paham komunis.
Dengan demikian, menghadap-hadapkan secara frontal antara sosok yang agamais dan komunis, patut dipertanyakan relevansinya. Apakah ini suatu pandangan yang dewasa? ***
■ Mohamad Jokomono, S.Pd., M.I.Kom., purnatugas pekerja media cetak.
ADVERTISEMENT