Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Diksi “Berdamai" atau "Melawan", Itu Hanya soal Prioritas Relevansi
13 Mei 2025 14:03 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Mohamad Jokomono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Diksi "berdamai" terkadang menjadi semacam pusaka anutan sikap. Itu terjadi manakala seseorang menghadapi suatu ujian kehidupan yang menghunjam telak di ranah pemikiran dan perasaannya.
ADVERTISEMENT
Bisa jadi, ada pihak-pihak yang kurang bisa enjoy dengan diksi ini. Menurut versi pembacaan mereka, ini ada indikator pemunculan bibit-bibit keputusasaan. Ada semacam pengenduran tekad.
Kebanyakan kaum muda dengan jiwa perlawanan frontal yang bergejolak di dada, cenderung tidak puas dengan diksi "berdamai" itu. Mereka memandang pilihan kata ini lebih dekat dengan sikap menyerah. Lembek.
Meradang Menerjang
Mereka menginginkan diksi yang lebih meradang menerjang. Menghadapi ujian kehidupan itu dengan dada terkembang lebar. Menegakkan perlawanan dengan cara yang seterhormat-hormatnya.
Ini persoalan yang terkait dengan harga diri. Tidak bisa melempar handuk putih di kala hitungan ronde laga tinju menghadapi ujian kehidupan belum mencapai titik perlawanan pamungkas.
Saya bisa memahami nalar berpikir para kaum muda di atas. Seperti halnya saya pun bisa memahami, mereka yang memilih diksi "berdamai" dalam menghadapi ujian kehidupan yang pelik.
ADVERTISEMENT
Dan, kaum tua biasanya (meski selalu saja ada celah pengecualian) akan memiliki naluri kooperatif yang sedemikian kuat. "Berdamai" di mata mereka, lazimnya tidak harus mendapat interpretasi sebagai sikap menyerah.
Para kaum tua itu cenderung berpegang pada pandangan, ada jenis perlawanan yang tidak harus dilakukan secara frontal. Tidak harus terucapkan dengan gegap gempita respons. Tidak harus mempanglimakan kegagahberanian fisik.
Perlawanan Moderat
Ada juga perlawanan yang memberi ruang bagi kompromi-kompromi. Boleh jadi perlawanan moderat itu setara dengan perjuangan melalui jalur diplomasi pada saat para pendiri negeri ini berjuang melawan pendudukan Jepang.
Serta, melawan segenap upaya Belanda mencengkeramkan kembali kuku-kuku kekuasaannya di Tanah Persada Nusantara. Itu terjadi pada tahun-tahun awal setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, kaum muda dan para milisi bekas tentara KNIL warisan Belanda serta tentara Peta warisan Jepang lebih mengapresiasi perjuangan di jalur penggunaan cara-cara dengan kontak senjata.
Bahkan, untuk penentuan waktu proklamasi kemerdekaan pun agar tidak terkesan sebagai hadiah dari Jepang, kalangan pemuda dengan penuh semangat mendesak Bung Karno dan Bung Hatta (representasi kaum tua) lewat momen penculikan keduanya ke Rengasdengklok.
Prioritas Relevansi
Pada hemat saya, memang perlu ada perlawanan untuk menghadapi setiap ujian kehidupan. Hanya cara mengekspresikan perlawanan itu bisa terealisasikan lewat dua pilihan jalur.
Jalur pertama, setara dengan mereka yang menetapkan pilihan untuk melawan dengan kontak senjata. Jalur kedua, setara dengan mereka yang memilih wahana diplomasi untuk mencapai tujuan lebih hakiki. Bukan sekadar kemenangan dalam “pertempuran”, melainkan kemenangan dalam “peperangan”.
ADVERTISEMENT
Bagi pemeluk jalur kedua ini, sikap berkompromi dengan keadaan yang telah terjadi merupakan uluran nalar yang lebih masuk akal sebagai tarekat yang mesti terjalani. Retorika "berdamai" lantas menjadi diksi yang lebih ramah terhadap akal sehat.
Bagi saya, kedua jalur itu memang seharusnya ada dalam skenario pertarungan dalam setiap upaya seseorang ketika menghadapi ujian kehidupan. Keduanya bisa diterapkan sesuai dengan prioritas relevansinya. ***
■ Mohamad Jokomono S.Pd., M.I.Kom., purnatugas pekerja media cetak.