Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Filsafat Stoik untuk Redam Kecewa saat Pemimpin Terpilih Ingkari Janji
6 Mei 2025 21:29 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Mohamad Jokomono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Dua perhelatan demokrasi akbar telah berlangsung pada tahun 2024 lalu. Seperti kita ketahui bersama, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres); Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Pusat, Provinsi, Kota/Kabupaten; serta Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pemungutan suaranya telah berlangsung bertepatan dengan Hari Kasih Sayang, 14 Februari 2024.
ADVERTISEMENT
Kemudian Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, pemungutan suaranya telah pula diselenggarakan pada 27 November 2024. Proses demokrasi pun telah bergulir dengan baik. Para pemimpin di pusat dan daerah yang terpilih pun telah menunaikan tugas kepemerintahan masing-masing. Demikian pula dengan para legislator dan senator telah memenuhi tugas legislasi masing-masing.
Tulisan ini ditujukan kepada para konstituen pemilih yang menyalurkan hak suaranya dalam berbagai macam perhelatan demokrasi tersebut. Ada kalanya muncul ekspektasi tertentu, manakala hati tergerak untuk menentukan subjek pemimpin baik di tingkat pusat, provinsi, atau kabupaten/kota dan demikian juga pada sosok legislator dan senator. Namun pada kenyataannya, mereka belum memenuhi janji saat kampanye. Bagaimana cara meredam kekecewaan jika itu terjadi?
ADVERTISEMENT
Resapi Filsafat Stoik
Untuk meredam kekecewaan akibat hasil pilpres atau pilkada, atau pemilihan legislator dan senator, ada baiknya kita meresapi filsafat Stoik. Salah seorang tokoh filsafat ini, William Irvine, dalam A Guide to Good Life: The Ancient of Stoic Joy via Henry Manampiring (2019 : 63), mengemukakan trikotomi kendali dalam menyikapi suatu peristiwa dengan cara pandang yang tidak mengerdilkan diri sendiri.
Peristiwa pilpres, pilkada, pemilihan legislator dan senator, tentu saja bukan peristiwa yang murni seutuhnya berada di dalam kuasa kendali diri kita sendiri. Pikiran dan tindakan para calon yang pada akhirnya menjadi subjek terpilih, relatif tidak bisa selalu sesuai dengan kehendak dan impian kita. Itu di luar kendali kita. .
ADVERTISEMENT
Namun, tentu saja bukan sepenuhnya murni di luar kendali kita. Kitalah yang berkuasa penuh ketika berada di bilik pemungutan suara untuk menentukan pilihan terhadap calon A, B, C yang sedang berkontestasi.
Peristiwa pilpres, pilkada, pemilihan legislator dan senator, jika ditilik menurut konsep pandangan William Irvine, merupakan peristiwa kehidupan yang sebagian berada di dalam kendali kita; dan sebagian lainnya di luar kendali kita. Dalam hal ini, kita perlu memisahkan antara "proses upaya internal" yang berada di dalam kendali kita dan "hasil eksternal" yang berada di luar kendali kita.
Proses upaya internal kita sebagai bagian dari konstituen pemilih, yaitu upaya kita menjadi warga negara yang baik. Salah satunya dengan berperan serta secara positif dengan turut memberikan suara kita, dalam suatu ikhtiar mendapatkan pemimpin yang paling tepat dari sejumlah kontestan yang diusung. Sekali lagi dan ini perlu digarisbawahi: hanya sebatas sebagai ikhtiar.
ADVERTISEMENT
Kendali Penuh
Kita sebagai konstituen pemilih memiliki kendali penuh melalui paduan antara kemandirian penalaran dan kepekaan mendengarkan suara hati nurani, untuk menilai rasionalitas konten kampanye ataupun orasi politik dari para kontestan. Dari sana, sepenuhnya kita memiliki kendali, untuk menakar tiap kontestan dan menentukan peringkat kualitas masing-masing. Setidaknya, kita punya kendali penuh untuk menetapkan siapa yang paling mendekati kriteria optimal dan sosok yang paling sesuai dengan kita dari sejumlah pilihan yang tersedia.
Bila kita hanya fokus pada proses upaya internal untuk menjadi warga negara yang baik saja (karena ini yang berada di dalam kendali kita), maka sesungguhnya ini adalah bekal awal dari perjalanan kita meredam kekecewaan akibat hasil eksternal dari perhelatan demokrasi itu.
ADVERTISEMENT
Taruh kata hasil eksternalnya, sosok pemimpin pilihan kita setelah duduk di tampuk kekuasaan ternyata tidak memenuhi janji kampanye, kita bisa lebih memaklumi karena toh hasil eksternal itu di luar kendali kita. Dengan kesadaran demikian, kita bisa lebih arif memahami, bisa jadi dalam perjalanan kekuasaannya ada kesepakatan (baca = tekanan) politik dari pihak-pihak tertentu yang tidak bisa dielakkannya sehingga muncul kebijakan yang tidak istikamah dengan trek awal.
Kontemplasi Derita
Ajaran lain dari filsafat Stoik yang relevan diterapkan dalam upaya meredam kekecewaan akibat hasil pilpres, pilkada, pemilihan legislator dan senator, yaitu praktik premeditatio malorum (kontemplasi derita). Paulinus Pandiangan (2021: 10) menekankan, bahwa istilah dari bahasa Latin ini merupakan teknik psikologis yang dapat membantu kita menyikapi pemimpin yang tidak memenuhi janji dengan sedapat mungkin meminimalisasi semburan emosi negatif (marah, jengkel, dan kecewa).
ADVERTISEMENT
Sasaran yang hendak digapai dari ajaran premeditatio melorum ini, yaitu membantu kita menghadapi suatu kenyataan buruk dengan mental yang lebih tangguh. Adapun caranya, menurut Henry Manampiring (2019 : 151), yaitu dengan membayangkan segala kemungkinan buruk yang mungkin bakal terjadi.
Dengan cara ini, lanjut Henry Manampiring, kita bisa memilih untuk bersikap rasional terhadap kenyataan peristiwa yang berada di luar kendali. Untuk meminimalisasi kekecewaan terhadap calon pemimpin yang tampil dalam kontestasi perhelatan demokrasi, kita bisa membayangkan di bilik pemungutan suara, siapa pun kandidat yang kita pilih memiliki peluang yang sama untuk menyakiti kita dengan tindakan politisnya pada kemudian hari.
Dengan cara ini, kita sebagai pemilih dapat mempersiapkan mental yang relatif tidak terintervensi secara akut dengan emosi negatif (marah, jengkel, dan kecewa). Kita pun memiliki peluang, untuk meredam kecewa tatkala kandidat yang kita pilih dan menang itu pada kemudian hari saat berkuasa betul-betul sesuai dengan bayangan buruk yang kita kontemplasikan.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, timpal Paulinus Pandiangan, jika ternyata bayangan buruk yang kita sertakan saat berada di bilik suara sama sekali tidak menjadi kenyataan. Karena pada kemudian hari ternyata kandidat yang kita pilih dan akhirnya menang, saat berkuasa menunjukkan sosok yang amanah. Jika ini yang terjadi, adalah suatu keniscayaan bagi kita untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan. Ternyata pilihan kita tepat.
Kalaupun sekarang kita sudah telanjur kecewa dengan para pemimpin yang tidak memenuhi janji kampanye. Sedikitnya, hasil resapan terhadap sebagian konsep filsafat Stoik ini dapat menuntun akal budi kita agar tidak lagi terjerumus ke dalam lobang yang sama pada kali kedua. Atau, kalau "resep obat" ini dianggap datang terlambat. Minimal muncul kesadaraan, untuk tidak perlu memelihara rasa kecewa itu dalam waktu yang lama. ***
ADVERTISEMENT
■ Mohamad Jokomono, S.Pd., M.I.Kom., purnatugas pekerja media cetak.