Konten dari Pengguna

Ini Hanya Sepenggal Kisah Masa Lalu Redaktur Koran Cetak dalam Perspektif Etika

Mohamad Jokomono
Pernah bekerja sebagai redaktur di Harian Suara Merdeka Semarang (2001-2024). Purnatugas per 9 November 2024. Pendidikan terakhir S-2 Magister Ilmu Komunikasi Undip Semarang (2015). Menyukai kucing.
9 Mei 2025 13:30 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohamad Jokomono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Short Message Service (SMS) dahulu pernah dominan sebagai layanan chat di telepon genggam. (Sumber: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Short Message Service (SMS) dahulu pernah dominan sebagai layanan chat di telepon genggam. (Sumber: Shutterstock)
Ini memang betul-betul sepenggal kisah dari masa lalu. Kejadiannya pun ketika short message service (SMS) masih berperan dominan. Belum digantikan oleh WhatsApp (WA). Alkisah, ada pesan-pesan “cinta” yang datang ke telepon genggam redaktur koran cetak dari Biro Iklan.
ADVERTISEMENT
Pada saat itu, lazim muncul SMS “cinta”, seperti “Ass wr wb. File: 18fpaseban.jep dan foto pengajian majelis zikir KH Drs Imrodi Abdilah pesan 300 koran. Suwun” (Selasa, 18 Juni 2013 pukul 18:07 WIB).
Ada lagi, “File 19fwisudatk.jep dan foto pesan 40 koran. File 19fprestasi.jep dan foto order koran 100 eksemplar. Suwun” (Rabu, 19 Juni 2013 pukul 17:32 WIB). Kemudian, ada susulan pada tanggal yang sama, hanya beda waktu (pukul 18:14 WIB): “File 19fkoramil.jep susulan order koran. Suwun”.
Demikian pula dengan SMS “cinta” lainnya: “File 20fsd.jep dan foto order koran 50 eksemplar. Suwun” (Kamis, 20 Juni 2013, pukul 17:49 WIB) dan “File 23fazzahra,jep order koran 100 eksemplar. Suwun” (Minggu, 23 Juni 2013, pukul 17.23).
ADVERTISEMENT
Yang kemudian muncul sebagai pertanyaan: bagaimana fenomena berita-berita dengan sertaan SMS “cinta” dari Biro Iklan itu menurut perspektif etika deontologi, etika teleologi, dan etika keutamaan?
Ilustrasi dari Shutterstock.
Etika Deontologi
Deontologi, menurut Bertens (2011: 270), merupakan sistem etika yang menyediakan ukuran baik dan buruk suatu perbuatan berdasarkan maksud si pelaku.
Sistem etika deontologi ini tidak menyoroti tujuan dari pilihan perbuatan kita, tetapi semata-mata pandangan si pelaku itu terkait dengan wajib atau tidaknya suatu perbuatan dan keputusan si pelaku.
Tokoh penting yang terkait dengan etika deontologi ini adalah filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804). Bertens (2011: 270) mengungkapkan, dalam pandangan Kant, baik dalam arti sesungguhnya hanya kehendak yang baik.
ADVERTISEMENT
Di luar kehendak yang baik, mendapat sebutan baik secara terbatas atau dengan syarat. Kesehatan, kekayaan, dan kecerdasan misalnya adalah baik, jika kehendak manusia menggunakannya di jalan yang baik.
Namun, apabila kehendak memakainya di jalan yang tidak baik, semua hal itu akan menjadi tidak baik. Keutamaan-keutamaan bisa menjadi tidak baik, jika kehendak manusia memanfaatkannya di jalan yang tidak baik.
Pertanyaan “seksi” secara filsafat yang paling muncul adalah apakah yang membuat kehendak menjadi baik.
Bertens (2011: 270) mereproduksi pandangan Kant, bahwa suatu kehendak itu baik apabila seseorang bertindak karena kewajiban.
Jika suatu perbuatan terjadi karena dorongan motif lain (alias bukan semata-mata karena kewajiban), betapa pun baik dan terpuji perbuatan itu tidak bisa terkategorikan sebagai baik.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya Kant berpandangan, terdapat pembedaan berlandaskan imperatif kategoris dan imperatif hipotetis (Bertens, 2011: 271).
Menurut Kant, kewajiban moral mengandung imperatif kategoris, mengacu artian perintah (imperatif) yang mewajibkan begitu saja tanpa syarat.
Bertens (2011: 272) menekankan, bentuk dasar imperatif kategoris adalah “engkau harus begitu saja” (du sollst). Semua peraturan etis dijiwai imperatif kategoris. Sebaliknya, imperatif hipotetis senantiasa dengan penyertaan syarat.
Adapun bentuk perintah (imperatif) hipotetis itu, contoh: “kalau engkau ingin mencapai suatu tujuan, maka engkau harus menghendaki juga sarana-sarana yang menuju ke tujuan tersebut”.
Dalam ranah pemikiran moral, ungkap Bertens (2011: 272), tingkah laku manusia hanya berada dalam jalur bimbingan norma yang mewajibkan begitu saja, bukan dengan pertimbangan lain.
ADVERTISEMENT
Adapun yang menjadi pusaka anutan Kant adalah imperatif kategoris. Pijakan selanjutnya dalam pemikiran moral Kant berupa penyimpulan otonomi kehendak.
Bila hukum moral berada dalam perspektif pemahaman imperatif kategoris, maka dalam bertindak secara moral kehendak seharusnya otonom (bukan heteronom).
Suatu kehendak bersifat otonom jika yang menentukan dirinya sendiri. Sementara itu, kehendak yang heteronom membiarkan faktor-faktor dari luar dirinya ikut menentukan, seperti kecenderungan emosi.
Dalam perspektif etika deontologi Kant, redaktur koran cetak tadi telah melakukan kehendak yang baik karena sudah memenuhi kewajiban pekerjaan jurnalismenya, dalam tautan ini mengedit dan menerbitkan berita, termasuk tipe-tipe berita dengan sentuhan SMS “cinta” dari Biro Iklan.
Dalam ranah pemikiran moral, tingkah laku redaktur koran cetak itu hanya berada dalam jalur bimbingan norma yang mewajibkan begitu saja, bukan dengan pertimbangan lain dengan panduan prinsip imperatif kategoris.
ADVERTISEMENT
Karena itu, menjadi bukan persoalan ketika redaktur memberikan jatah halaman untuk pemuatan berita-berita yang teriringi SMS-SMS “cinta” dari Biro Iklan. Karena, telah memenuhi kewajiban sebagai pihak yang mendapat kewenangan menentukan mana berita yang layak terbit dan mana yang tidak.
Termasuk menentukan layak terbit suatu berita karena pertimbangan adanya kompensasi pembelian koran tadi. Prinsip imperatif kategoris itu menuntun redaktur untuk sampai pada kehendak otonom guna memenuhi kewajiban pemuatan tersebut.
Sementara itu filsuf Britania Raya William David Ross (1877-1971), mengusung jalan keluar dengan memberi tambahan pada teori deontologi itu berupa kewajiban prima facie (pada pandangan pertama).
Dalam taut artian, setiap kewajiban itu bersifat sementara. Suatu kewajiban hanya berlaku hingga timbul kewajiban baru yang lebih penting dan mengalahkan kewajiban terdahulu.
ADVERTISEMENT
Dalam tautan dengan pemuatan berita-berita dengan iringan SMS-SMS “cinta” dari Biro Iklan, redaktur dapat menunaikan kewajiban prima facie, manakala dalam satu halaman ada dua berita yang value-nya sama-sama memiliki potensi untuk “ditangguhkan pemuatannya”.
Namun yang satu terkait dengan SMS “cinta” dari Biro Iklan sedangkan yang lain tidak. Adalah etika kewajiban bagi redaktur untuk menangguhkan pemuatan kedua berita itu. Ini kewajiban pertama.
Hanya, manakala suatu halaman hanya menyisakan tempat untuk satu berita, sedangkan yang tersisa hanya dua berita yang sebetulnya news value-nya tidak begitu menggiurkan alias datar-datar saja, maka kewajiban pertama untuk menangguhkan pemuatan kedua berita itu telah selesai.
Kemudian berganti dengan kewajiban memprioritaskan pembuatan berita yang teriringi dengan SMS “cinta” dari Biro Iklan. Dengan pertimbangan, berita itu telah tertandai dengan adanya deal kompensasi pembelian koran dalam jumlah tertentu. Karena itu, merupakan kewajiban berikutnya untuk “mengamankan” kebijakan pemuatan berita tersebut.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi dari sumber Shutterstock.
Etika Teleologi
Bila deontologi merupakan etika kewajiban, maka teleologi adalah etika bertujuan. Salah satu aliran filsafat yang menganut prinsip teleologi atau etika bertujuan adalah utilitarianisme.
Aliran utilitarianisme awal beranjak dari tradisi pemikiran moral di Britania Raya dan pada perjalanan waktu selanjutnya menebarkan pengaruh ke seluruh kawasan yang masyarakatnya berbahasa Inggris (Bertens, 2011: 261).
Ada sumbangan yang relatif signifikan untuk perkembangan aliran ini dari David Hume (1711-1776), filsuf Skotlandia. Meski demikian, bentuk yang lebih matang tentang utilitarianisme datang dari Jeremy Bentham (1748-1832) melalui bukunya Introduction to the Priciples of Morals and Legislation (1789).
Bertens (2011: 263) mengemukakan, Bentham tiba pada prinsip utilitas, bahwa the greatest happiness of the greatest number (kepentingan terbesar dari jumlah terbesar umat manusia).
ADVERTISEMENT
Prinsip utilitas inilah yang kemudian menjadi semacam “roh” yang tindakan-tindakan pribadi. Dalam pandangan Bentham, prinsip utilitas itu perlu penerapan secara kuantitatif semata. Bentham pun mengembangkan the hedonic calculus.
Terkait dengan berita-berita dengan sertaan SMS-SMS “cinta” dari Biro Iklan berupa pemuatan dengan kompensasi pembelian koran dalam jumlah tertentu, etika bertujuan yang menjadi tawaran filsafat utilitarianisme Bentham, yaitu untuk kepentingan terbesar dari jumlah terbesar umat manusia, kiranya belum memenuhi persyaratan.
Sebab, berita-berita “narsis” tentang profil dan prestasi sekolah, berita “narsis” terkait kiprah Koramil dalam kegiatan di masyarakat, dan banyak berita “narsis” lain yang harus dimuat karena kompensasi pembelian koran, agaknya memang tidak berkaitan dengan wilayah kepentingan orang banyak.
Berita-berita "narsis" yang muncul berkat adanya SMS-SMS “cinta” Biro Iklan itu, lebih muncul dari kepentingan (atau kebahagian) segelintir orang dari organisasi yang mendapat penonjolan isu dalam berita.
ADVERTISEMENT
Filsuf asal Britania Raya, John Stuart Mill (1806-1873), via Bertens (2011: 264) dalam bukunya Utilitariansm (1864) mempertajam Bentham, terkait dengan keharusan pengukuran akan kepentingan secara kualitas. Dia menekankan, kualitas juga perlu mendapat pertimbangan pula. Kualitas kebahagiaan dapat pula terukur secara empiris.
Mill via Bertens (2011: 265) mengatakan, kebahagiaan yang bertengger sebagai norma etis merupakan kebahagiaan yang menjadi milik semua orang. Bukan kebahagiaan satu atau sekelompok orang saja yang mungkin mempunyai status spesial.
Mill, menurut kutipan Bertens, menulis everybody to count for one, nobody to count for more than one (setiap orang memperhitungkan untuk satu, dan tak ada seorang pun memperhitungkan lebih dari satu).
Untuk menegaskan kehadiran prinsip utilitas sebagai salah satu entitas etika bertujuan, relevan pemikiran tentang jurnalisme etika. Gordon, Kittross, Reuss, Merril (1996: 48) menggunakan kata “kompeten” (competent) untuk mendeskripsikan jurnalisme etika, sedangkan Edmund B. Lambert dalam bukunya, Commited Journalism: An Ethic for the Profession (1992), menggunakan “komit” (commited).
ADVERTISEMENT
Lambeth (via Gordon, Kittross, Reuss, Merril, 1996: 48-49) mengemukakan lima prinsip yang membedakan etika jurnalis dan jurnalisme, yaitu kebenaran, keadilan, kebebasan, kemanusiaan, dan pendampingan (stewardship). Lambeth mengarahkan pada teknik-teknik yang etika jurnalis gunakan sebagai motivasi dalam pekerjaan mereka.
Etika kompeten, jurnalis komit pada pekerjaan baik untuk mereka sendiri maupun kebaikan umum, ungkap Gordon, Kittross, Reuss, Merril (1996: 49), tetapi bukan tanpa problem interpretasi tentang informasi yang mereka cari dan sediakan untuk audiens mereka.
Terkait dengan etika komitmen dan jurnalis komit, berita-berita dengan sertaan SMS-SMS “cinta” dari Biro Iklan itu cenderung melabrak prinsip atau sedikitnya kurang ramah terutama terhadap prinsip “keadilan” dan “kebebasan”.
Betapa tidak? Manakala kapasitas satu halaman koran cetak maksimal hanya memungkinan pemuatan enam berita, tetapi terdapat empat berita dengan sertaan SMS-SMS “cinta” dari Biro Iklan, ini praktis hanya ada jatah dua berita yang “bebas”.
ADVERTISEMENT
Padahal saat itu masih ada kiriman dua berita lagi yang sebetulnya nilai beritanya terbilang menyentuh kepentingan orang banyak, sekalipun masih memungkinkan adanya “penundaan pemuatan”.
Paling tidak, terhadap dua berita yang “bebas” ini, adanya “pemaksaan” harus dimuat empat berita dengan iringan SMS-SMS “cinta” dari Biro Iklan merupakan pelanggaran dari prinsip “keadilan” dan “kebebasan”.
Ilustrasi dari sumber Shutterstock.
Etika Keutamaan
Bertens (2011: 237) menekankan, etos merujuk pada keutamaan kelompok. Kata ini berasal dari kata dalam bahasa Yunani, ethos. Dalam bahasa-bahasa modern, kata “etos” memperlihatkan ciri-ciri, pandangan, nilai yang menandai suatu kelompok.
Bertens (2011: 237) mengadopsi kata ethos yang menurut pemaknaan leksikal dari Concise Oxford Dictionary berada dalam kelas ajektiva sebagai “suasana khas yang menandai suatu kelompok, bangsa, atau sistem”.
ADVERTISEMENT
Dalam tautan arti ini, tidak jarang terdengar bentukan-bentukan seperti, “etos kerja” dan “etos profesi”. Dengan demikian, etos menunjuk kepada suasana khas yang meliputi kerja dan profesi.
Bertens (2011: 238) menandaskan, berbincang soal etos profesi tentulah terkait dengan nilai-nilai luhur dan sifat-sifat baik yang menandai suatu profesi. Karena itu, untuk menjadi anggota profesi yang baik, semua orang yang mengemban profesi perlu mempunyai etos profesi itu.
Etos profesi redaktur tentu akan bermuara apa upaya memperjuang berita-berita yang menjadi konten media tetaplah memenuhi standar yang berkesesuaian dengan kode etik profesi dan kode etik perusahaan.
Untuk mengawinkan kode etik profesi dan kode etik perusahaan sehingga redaktur memiliki etika keutamaan yang tersemangati dengan etos profesi, ter- kadang dalam realitas keseharian mereka harus berbenturan dengan adanya tipe-tipe berita dengan iringan SMS-SMS “cinta” dari Biro Iklan itu.
ADVERTISEMENT
Menghadapi hal ini, Gordon, Kittross, Reuss, Merril (1996: 56) menyarankan solusi Jalan Tengah Aristoteles (Aristotle’s Golden Mean). Pendekatan itu dapat menyarankan untuk tetap bertahan pada pekerjaan selama kehendak seseorang dapat enjoy dengan pengharusan etika berkat dorongan dari kekuatan luar.
Pada situasi ketika menghadapi berita-berita normal, redaktur dapat berpegang dengan leluasa pada etika keutamaan dengan memaksimalkan etos profesi yang berisikan nilai-nilai luhur dan sifat-sifat baik yang menandai suatu profesi.
Namun, menghadapi berita-berita dengan sertaan SMS-SMS “cinta” dari Biro Iklan, diakui atau tidak, telah terjadi penumpulan optimalisasi untuk menyetiai etika keutamaan yang mendapatkan panduan operasional berupa etos profesi.
Dalam situasi semacam ini, Jalan Tengah Aristoteles (Aristotle’s Golden Mean) kemudian menemukan bentuk modifikasi realisasi terapan. Berkompromi dengan kode etik perusahaan terkait dengan berita-berita dengan SMS-SMS “cinta” dari Biro Iklan, adalah pilihan jalan tengah yang tidak terlalu mengecewakan etika keutamaan.
ADVERTISEMENT
“Kompromi dengan kode etik perusahaan” itu berada di tengah-tengah dua kutub ekstrem, antara “penolakan secara mentah-mentah” dan “penerimaan tanpa filter apa pun”. ***
Daftar Pustaka
Bertens, K. (2011). Etika. Cetakan Kesebelas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Gordon, A. David, John M. Kittross, Carol Reuss, John C Merrill. (1996). Controversies in Media Ethics. London-Melbourne-Auckland: Longman.
Mohamad Jokomono, S.Pd., M.I.Kom., purnatugas pekerja media cetak.