Konten dari Pengguna

Kata “Ban.tu/n/” dan “Ban.tu/t/” Bisa Dijadikan Bahasa Puisi

Mohamad Jokomono
Pernah bekerja sebagai redaktur di Harian Suara Merdeka Semarang (2001-2024). Purnatugas per 9 November 2024. Pendidikan terakhir S-2 Magister Ilmu Komunikasi Undip Semarang (2015). Menyukai kucing.
22 April 2025 12:18 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohamad Jokomono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tentang fonem-fonem yang membentuk kata dalam bahasa. (Sumber: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tentang fonem-fonem yang membentuk kata dalam bahasa. (Sumber: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Seringkah Anda menemukan kata “ban.tu/n/” dan “ban.tu/t/” beserta bentuk-bentuk turunannya dalam percakapan bahasa Indonesia sehari-hari? Atau, dalam teks-teks tertulis berupa buku, artikel, berita, atau postingan di WhatsApp, Instagram, Facebook dan media sosial lainnya?
ADVERTISEMENT
Harus diakui memang masih relatif jarang ditemukan dalam bahasa tulisan. Istilah linguistiknya ortografi. Sistem representasi dengan simbol visual (huruf, angka, tanda baca, dan spasi).
Demikian pula, saat hadir dalam bahasa lisan (auditori), penyampaian pesan dengan pola bunyi (vokal, konsonan, dan nada), juga masih sangat jarang terdengar.
Tulisan ini akan mengenalkan kedua kata tersebut. Tentu saja, diikuti dengan kemungkinan realisasi penerapannya dalam kegiatan berbahasa Indobesia.
Nah, bisa dimulai dari kata “ban.tu/n/”. Faktanya ia memang ada sebagai entri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI Dalam Jaringan (KBBI VI Daring).
Akan tetapi, tak dapat disangkal frekuensi penggunaannya masih kurang. Beda misalnya jika fonem /b/ diganti dengan /p/. Kata “/p/an.tun” akan terhubung pada sesuatu yang bisa segera dipahami, tatkala seseorang membaca atau mendengar kalimat-kalimat berikut:
ADVERTISEMENT
//Pohon sawo buahnya lebat/, /Burung jalak kenyam rasa manis/, /Tantangan berbangsa kian hebat/, /Kita mesti berpikir dinamis.//
//Teh gelas disimpan di kardus/, /Semakin nikmat diseruput pelan/, /Bangga jadi Indonesia itu harus/, /Demi kejayaan di masa depan.//
Itu sebagian bait-bait yang pernah saya tulis saat berperan serta dalam lomba pantun tingkat rukun warga dalam memeriahkan acara HUT RI (17-an, istilah lokal yang populer) di sebuah perumahan di Kota Semarang, Jawa Tengah, beberapa tahun silam.
Ada lagi kata “/l/an.tun” yang lebih familier. Sublema “me.lan.tun.kan”, bisa berarti “menyanyikan (lagu)” atau “menyuarakan (dengan indah ayat-ayat suci Al-Qur’an)”. Ini yang paling banyak dipahami dan diterima di masyarakat bahasa kita.
Namun ada yang kurang lazim. Bisa berarti “memantulkan” seperti dalam kalimat “Sebelum melakukan servis, pemain voli itu melantunkan bola ke lantai beberapa kali”.
ADVERTISEMENT
Hampir sulit terpikirkan, kalau dewasa ini, ada orang, apalagi wartawan, yang menetapkannya sebagai diksi dalam konteks tersebut akhir. Sekalipun, secara maknawi bisa jadi tidak keliru. Alias berterima berdasarkan tilikan makna di kamus.
Bukan Serapan Bahasa Sunda
Kembali ke “ban.tu/n/”. Ada yang mengatakan, dalam bahasa Sunda Halus (Lemes) terdapat kata ini. Digunakan kepada orang yang dihormati. Artinya bawa atau ambil.
Atau, bisa dipahami dengan konsep maknawi “ambil”. Karena di dalam kata “ambil” ada rentetan tindakan yang dimulai dari pegang (suatu benda), angkat, dan bawa (benda itu ke suatu tempat atau kepada orang yang akan diserahi). Jadi, dalam kata “ambil” sudah terkandung pula arti “bawa”.
Dalam bahasa Sunda, kata “ban.tu/n/” semakna dengan “can.dak”. Bedanya pada subjek pelaku tindakan “mengambil” itu. Bila “ban.tu/n/” subjek pelaku tindakannya adalah diri si pembicara/penulis, maka “can.dak” subjek pelakunya orang lain.
ADVERTISEMENT
Di KBBI VI Daring, terdapat lema “can.dak”. Tetapi, diserap dari bahasa Melayu Belitung. Merujuk pada benda berupa kail bermata lima untuk menangkap cumi-cumi.
Dari serapan bahasa Jawa, ada gabungan kata “candak cekel kulak”. Kegiatan berdagang dalam skala kecil. Membeli barang apa saja sesuai dengan besaran modal. Dan, sesegera mungkin menjualnya kembali untuk mendapatkan keuntungan.
Temuan kata "bantun" dari proses permainan tebak kata, yaitu Kata Kita, yang menginspirasi penulisan artikel ini. (Foto: Mohamad Jokomono)
Akan tetapi, lema (kata dasar) “ban.tu/n/” yang ada di KBBI VI Daring berlainan dengan makna dalam bahasa Sunda. Agaknya bukan serapan dari bahasa daerah tersebut. Ada dua makna yang terkandung dalam kata ini (polisemi). Pertama, tarik atau cabut.
Dari makna kata dasar (lema) ini, kemudian muncul sejumlah sublema. Ada “mem.ban.tu/n/” (menarik agar lepas; mencabut). Misalnya dalam kalimat “Gadis mungil itu membantun rambut putih sang mama yang baru tumbuh beberapa helai”.
ADVERTISEMENT
Kemudian ada sublema “mem.ban.tu/n/.i” (mencabuti; menyiangi). Contoh kalimat “Mama dengan telaten membantuni rumput-rumput liar yang tumbuh di taman toga milik rukun tetangga di tempat kami tinggal”. Akhiran “-i” menandakan tindakan itu berlangsung secara berulang dalam suatu proses kegiatan hingga selesai.
Ada lagi sublema “ter.ban.tu/n/” yang searti dengan “tercabut”. Masih relatif dekat dengan kata “terlepas”. Misalnya dalam kalimat “Akibat ulah usil anak kucing berbulu putih menepuk-nepukkan tangannya ke dot bayi sang majikannya, akhirnya terbantun dari mulut mungilnya”.
Adapun makna kedua “ban.tu/n/”, terutama terkait dengan lema turunan (sublema) “se.ban.tun”. Merujuk pada spesies tumbuhan (pohon kecil) yang berbunga. Nama ilmiahnya Toxotrophis ilicifolia.
Tergolong ke dalam famili Moraceae. Wilayah asalnya China (Yunnan bagian selatan, Guangxi, Hainan) hingga Indochina, India bagian timur, Bangladesh, Malaysia, dan New Guinea.
Temuan kata "bantut" sebagai hasil tebakan kata yang benar. (Foto: Mohamad Jokomono)
Tentang Kata “Ban.tu/t/”
ADVERTISEMENT
Selanjutnya mengenai kata “ban.tu/t/”. Tentu tidak relatif segera dapat dipahami seperti “b/u/n.tut”, yang akan cepat terhubung sebagai padanan kata “ekor” (binatang). Bisa pula dimaknai “kesudahan; akibat” sebagaimana tertuang dalam kalimat “Insiden kekerasan itu ada buntutnya”.
Bisa jadi, jika dibandingkan antara kata “b/a/n.t/u/t” dan “b/u/n.t/a/t” (fonem vokal /a/ dan /u/ bertukar posisi), keduanya sama-sama belum terlalu familier. Adapun arti “b/u/n.t/a/t”, yaitu “bagian kapur yang menjadi keras dan membatu pada tumbuh-tumbuhan, badan binatang, atau manusia”.
Dalam kapasitasnya sebagai lema di KBBI VI Daring, “ban.tu/t/” memiliki makna dasar “hambat”. Ada dua sublema yang muncul dalam aktivitas berbahasa, yaitu “mem.ban.tu/t/” (dalam bentuk pasifnya “di.ban.tu/t/”) dan “ter.ban.tu/t/”.
Sublema “mem.ban.tu/t/” mengusung makna “merintangi; menghalangi; menghambat”. Dapat dikaitkan dengan kondisi kemajuan ataupun proses perkembangannya.
ADVERTISEMENT
Contoh kalimat “Kejadian seorang anggota tim pengamanan protokoler Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo yang mendorong dan memukul jurnalis dari LKBN Antara, saat mengawal kunjungan kerja arus mudik di Stasiun Tawang Semarang, Sabtu (5/4/2025), sungguh membantut penegakan citra polisi yang humanis, profesional, dan lebih dewasa dalam menjalankan tugas”.
Kalimat di atas dapat dipahami. Upaya penegakan citra anggota Polri yang humanis, profesional, dan lebih dewasa dalam menunaikan tugasnya, terus ditekankan dalam berbagai kesempatan. Dan, sejauh ini upaya tersebut telah terkondisi dengan baik.
Akan tetapi, insiden kekerasan itu, walau hanya seorang oknum yang melakukannya, bisa berisiko “membantut” (menghambat) keberhasilan upaya penegakan citra positif Polri. Meskipun, oknum bersangkutan telah menyatakan penyesalan dan permohonan maafnya lewat media, pastilah kondisi ini akan menjadi tidak mudah untuk dilupakan begitu saja. Paling tidak untuk sementara waktu.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, dari sublema “ter.ban.tu/t/” tersaji dua makna. Ia dapat dipahami sebagai “terlarang; terhambat”. Suatu keadaan mengakibatkan suatu proses upaya menjadi gagal; tidak jadi; atau suatu perjuangan mencapai tujuan menjadi tidak selesai.
Kalimat “Upaya pencerahan literasi di kampung itu terbantut sikap mayoritas masyarakatnya yang tidak begitu peduli pada buku, baik elektronik maupun fisik”, dapat menjadi contoh penerapan.
Demikian pula dengan kalimat “Upaya perdamaian untuk mendinginkan konflik antarwarga itu terbantut dengan perkelahian massal yang terjadi beberapa kali dalam sebulan terakhir. Akhirnya, upaya intens untuk mencari solusi yang menyejukkan bagi kedua pihak terpaksa mengalami penundaan hingga waktu yang belum bisa ditentukan”.
Makna lain yang ditawarkan kata “ter.ban.tu/t/”, yaitu tidak dapat menjadi besar. Ini terkait dengan buah-buahan, tanaman. “Buah-buah mangga yang tumbuh pada pepohonan di kebun milik Pak Ahmad terbantut, karena pemupukan yang kurang maksimal dan pemilihan varietas benih yang bukan termasuk unggul”.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui pula, KBBI VI Daring mencatat, bahwa kata “ban.tu/t/” sebagai lema juga merupakan hasil serapan dari bahasa Gayo. Para penuturnya masyarakat suku Gayo di Provinsi Aceh. Dalam kelas verba, ia bermakna sedikit mistis, yaitu “mengobati penyakit dengan cara memindahkannya ke tempat atau ke benda lain”.
Dalam Kamus Budaya Gayo yang disusun Dr Rajab Bahry dan diterbitkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada tambahan keterangan “biasanya sakit bengkak di pangkal paha dipindahkan ke bambu dengan doa tertentu” (2018: 7).
Ilustrasi dari sumber Shutterstock.
Kemungkinan Realisasi Penerapan
Agaknya diperlukan dorongan event tertentu yang heboh dan di situ dilibatkan kata “ban.tu/n/” dan “ban.tu/t/” serta diviralkan di media sosial. Itu pun belum tentu menjamin keberlanjutan pemakaiannya dalam komunikasi sehari-hari, manakala momen viralitas itu telah berlalu.
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, masyarakat penutur bahasa Indonesia pada umumnya akan segera lebih mudah memahami kata “men.ca.but”, “men.ca.but.i”, “ter.ca.but” daripada “mem.ban.tun”, “mem.ban.tun.i”, “ter.ban.tun”.
Demikian pula, kata “me.rin.tang.i”, “meng.ha.lang.i”, “meng.ham.bat” lebih terbiasa digunakan dan sama sekali tidak ada kendala makna, jika dibandingkan dengan pemakaian kata “mem.ban.tut”.
Atau, kata “ter.la.rang”, “ter.ham.bat” (termasuk dalam konteks buah-buahan atau tanaman yang terhambat peetumbuhannya). Saya pikir akan lebih mudah dicerna maknanya oleh masyarakat penutur bahasa Indonesia sekarang ini, dibandingkan jika mereka dihadapkan pada kata “ter.ban.tut”.
Nah, sambil menunggu kalau-kalau saja ada peristiwa heboh yang membantu pemviralan kata “ban.tu/n/’ dan “ban.tu/t/” beserta kata-kata turunannya di media sosial. Saya pikir akan lebih relevan jika terlebih dahulu dicarikan kemungkinan realisasi penerapan kedua kata tersebut.
ADVERTISEMENT
Penggunaan dalam penulisan karya sastra, terutama genre puisi, saya rasa bisa untuk menganalkan atau menyalurkan kedua kata itu sebagai bagian dari ekspresi seni. Dalam penulisan puisi, ada pilihan kata yang terkadang lebih ditentukan oleh pertimbangan representasi terdejat dari perasaan yang hendak dituangkan.
Bisa saja, pertimbangan pilihan kata atau diksi itu, lebih diberangkatkan dari keserasian persajakan yang ditimbulkannya sehingga kedengaran indah tatkala dibacakan. Begitulah, bahasa dalam puisi memang sangat personal. Dan, di situlah letak daya tariknya.
Berikut saya contohkan karya puisi yang bisa menjadi kanal ekspresi bagi kata “ban.tu/n/” dan “ban.tu/t/”, atau setidaknya bagi kata-kata turunannya.
SENANDUNG SENJA KALA
terbantun dari lantunan masa silam
ah, ternyata masih ada asa yang terjeda
ADVERTISEMENT
di sela-sela senandung senja kala
di kelindan sayup impian yang pernah ada
tapi, langkah ini terbantut jarak warsa
yang telah membatu sebagai arca kenangan
meski tak lelah menyusuri tumpukan
memori dalam kerupawanan gulita malam
ah, tapi masih ada kepercayaan yang
terpatri di diri ini, dan akan selalu terjaga
keyakinan tentang kebaikan waktu
yang tersedia untuk gapaian tangan renta
Semarang, 8 April 2025
***
Mohamad Jokomono, S.Pd., M.I.Kom, purnatugas pekerja media cetak.