Konten dari Pengguna

Membaca “Sitti Nurbaya” dengan Bantuan KBBI VI Daring

Mohamad Jokomono
Pernah bekerja sebagai redaktur di Harian Suara Merdeka Semarang (2001-2024). Purnatugas per 9 November 2024. Pendidikan terakhir S-2 Magister Ilmu Komunikasi Undip Semarang (2015). Menyukai kucing.
2 April 2025 9:47 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohamad Jokomono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sitti Nurbaya diabadikan sebagai nama jembatan di Kota Tua Padang. (Sumber: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Sitti Nurbaya diabadikan sebagai nama jembatan di Kota Tua Padang. (Sumber: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai. Atau lebih sering disebut ringkas Sitti Nurbaya. Ejaan aslinya saat pertama kali diterbitkan Balai Pustaka pada 1922, Sitti Noerbaja. Dalam esai-esai sastra, lebih sering lagi nama depannya ditulis Siti (hanya dirulis dengan /t/ satu saja). Ia juga dianggap salah satu monumen sastra Angkatan 1920.
ADVERTISEMENT
Setiap pelajar Indonesia tentu pernah mendengar novel karya Marah Roesli (1889-1968) tersebut. Sastrawan ini lulusan Sekolah Dokter Hewan di Bogor pada 1915. Dia menekuni profesi yang linear dengan pendidikannya itu sejak lulus hingga purnatugas pada 1952.
Meki tidak terlalu produktif, ada novel lain yang hadir darinya, yaitu La Hani (1924), Anak dan Kemenakan (1956). Dan, Memang Jodoh (ditulis pada 1960-an serta terbit sebagai buku pada 2013). Ada juga karya terjemahan dari novel Charles Dickens, Gadis yang Malang (1922).
Sangat bisa dipahami, pendidikan apresiasi sastra, terutama untuk novel, diintroduksi dengan sinopsis. Dengan harapan setelah mengetahui arus narasi yang tersaji, para apresiator pemula (usia pelajar SMP hingga SMA) ramai-ramai mencari dan membaca novelnya secara utuh. Entah dalam bentuk buku elektronik, entah pula buku fisiknya.
ADVERTISEMENT
Pertemuan dengan sosok novel yang seutuhnya. Itulah sesungguhnya merupakan perilaku apresiasi yang paling autentik. Hanya yang kemudian menjadi persoalan, yaitu ada rentang jarak bahasa yang digunakan oleh penulis dengan para pembacanya. Dan, persoalan yang paling menonjol adalah kendala pemahaman. Atau lebih tepatkan, ketidaksegeraan dipahami.
Marah Roesli dengan Sitti Nurbaya-nya mengekspresikan gagasan naratifnya dengan bahasa Melayu (belum bahasa Indonesia) dalam kisaran dua dasawarsa awal abad ke-20. Tentu hal ini akan menjadi persoalan tersendiri bagi para pembaca muda yang terbiasa dengan bahasa Indonesia di titimangsa hampir tiga dekade abad ke-21 ini.
Pertemuan dengan Teks
Meski demikian, pertemuan langsung dengan teks, bisa memberi ruang apresiasi dengan sentuhan berbeda. Dibanding dengan sekadar dimoderatori oleh uraian sinopsis. Atau, kalau yang dianut pandangan yang moderat, keduanya bisa dikombinasikan sebagai pendekatan.
ADVERTISEMENT
Pendekatan sinopsis sebagai salah satu sisi mata uang logam “apresiasi” dapat diterapkan agar para apresiator muda dapat digugah pemahamannya terhadap garis besar keseluruhan isi teks. Sementara itu sisi lainnya, pertemuan langsung dengan teks (walau hanya sebagian kecil), tetap perlu dilakukan.
Karena itu, diperlukan suatu representasi teks yang dikutip dari novel Sitti Nurbaya yang relatif simpel. Dalam artian, kosakata yang terdapat di dalamnya, kalaupun sulit dipahami dengan segera, dapat dilacak maknanya dengan alat bantu.
Nah, saya menyarankan alat bantu itu berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI Dalam Jaringan (KBBI VI Daring). Tujuan pragmatisnya, agar lebih mudah diakses. Di samping itu, jika diperlukan juga bisa dimintakan bantuan kepada Artificial Intelligence (AI) di handphone.
ADVERTISEMENT
Contoh Penerapan
Saya ambil contoh representasi teks dari novel Sitti Nurbaya yang relatif simpel sebagai pembuka pintu masuk apresiasi. Saya pilih saat Marah Roesli menceritakan saat Sutan Mahmud (ayahanda Samsulbahri) akan bertemu dengan kakak perempuannya, Putri Rubiah.
(1) Pada senja hari yang baru diceritakan, kelihatan bendi Sutan Mahmud masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah gedung di kampung Alang Lawas.
Dari kutipan (1) ini, biasanya yang pertama kali akan mengundang tanya dari para anak muda sekarang, yaitu kata “bendi”. Tidak sedikit di antara mereka yang merasa jarang mendengar kata ini dalam percakapan sehari-hari.
Tenang saja. KBBI VI Daring memberikan informasikan yang cukup jelas. “Bendi” merujuk artian “kereta beroda dua yang ditarik oleh seekor kuda dengan pengemudi di depan”.
ADVERTISEMENT
Wujud penampilan bendi bisa bervariasi. Akan tetapi, pemahaman prinsip bahwa kata itu merujuk pada sarana transportasi tradisional yang menggunakan tenaga penggerak berupa kuda. Informasi awal itu sudah relatif memadai.
Profesi Sutan Mahmud
Profesi Sutan Mahmud diinformasikan oleh Marah Roesli dalam narasi beberapa kutipan berikut.
(2) Di dalam bendi ini duduk Sutan Mahmud. Memang gagah rupanya Penghulu ini duduk di atas bendinya, bertopangkan tongkat ruyung dengan kedua belah tangannya.
Yang segera muncul dari kutipan (2), yaitu kata “penghulu” dan “tongkat ruyung”. Pada informasi narasi ini, kata “penghulu” bisa diartikan sebagai pemimpin (orang yang memimpin); orang yang terkemuka dalam suatu jabatan di lingkungan pemerintahan.
Dia membawa “tongkat ruyung” benda kecil panjang yang berfungsi untuk menopang atau pegangan ketika berjalan. Adapun bahannya dari “ruyung”, kayu keras dari batang pohon enau (kelapa).
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, kutipan (3) mempertegas informasi tentang profesi Sutan Mahmud.
(3) Destamya yang berbentuk "ciling menurun" itu adalah sebagai suatu mahkota di atas kepalanya. Bajunya jas putih, berkancingkan "letter W," dan ujung lengan bajunya itu berpetam sebagai baju opsir.
Kata “destar” tentu perlu bantuan KBBI VI Daring untuk mengetahui artinya. Ia berpadanan dengan “bulang” (kain yang dililitkan pada kepala). Bentuknya “ciling manurun” (gaya memakai destar).
Kemudian “Bajunya jas putih, berkancingkan “letter W”. Mengingat latar belakang waktu kejadian di masa pemerintahan kolonial Belanda, sangat mungkin monogram W adalah inisial Raja Willem dan Ratu Wilhelmina dari Kerajaan Belanda.
Selanjutnya, ada lanjutan deskripsi “..., dan ujung lengan bajunya itu berpetam sebagai baju opsir”. Di sini ada kata “berpetam”, memakai petam atau patam, yaitu hiasan dari pasmen (benang emas atau perak) atau kain yang dijahitkan di lengan baju.
ADVERTISEMENT
Petam itu mengingatkan Marah Roesli, ada kemiripan dengan lengan baju yang dikenakan seperti opsir. Kata ragam arkais yang berarti “perwira (pangkat dalam kemiliteran)”.
Namun karena Sutan Mahmud bukan perwira Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL). Alias opsir Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Maka dari itu, digunakan kata depan untuk menyatakan perbandingan “sebagai” opsir. Artinya seperti.
Sesungguhnya Sutan Mahmud merupakan pegawai pemerintah kolonial. Para leluhurnya telah bekerja dengan Kompeni. Versi belandanya Vereenigde Oost-Indische Compagnie. Atau, yang terkenal di buku sejarah dengan singkatan VOC.
Kalau sekarang, dia setara dengan aparatur sipil negara (ASN). Ambtenaar, istilah pemerintah kolonialnya. Karena itu, Sutan Mahmud berhak mengenakan jas putih yang kancing-kancingnya bermonogram W.
Aksesori Pakaian dan Deskripsi Pribadi
ADVERTISEMENT
Masih tentang pakaian dari Sutan Mahmud. Ditulis begini oleh Marah Roesli:
(4) Celananya—celana panjang putih, sedang di antara baju dan celana kelihatan sarungnya, kain sutera Bugis hitam, yang terjuntai hampir sampai ke lututnya. Sepatunya sepatu kasut, yang diperbuat dari kulit perlak hitam.
Dari kutipan (4) ada kata “terjuntai” (dari kata dasar “juntai”). Artinya terjulur ke bawah. Kain sarung dari kain sutera Bugis itu dikenakan hingga terjulur ke lutut. Adapun sepatu yang menjadi “kasut” (alas kaki) terbuat dari “perlak” (kulit tiruan dengan lapisan berkilat).
Deskripsi fisik Sutan Mahmud tertuang ke dalam kutipan (5) berikut:
(5) Rupanya Penghulu ini, tak guna kita rencanakan, karena adalah sebagai pinang dibelah dua dengan rupa anaknya Samsulbahri.
ADVERTISEMENT
Kata “rupa” di sini, menurut KBBI VI Daring, sesuai dengan konteks kalimat tersebut, dalam realitas berbahasa dewasa ini lebih biasa digunakan “raut muka/wajah”.
Ada pula kata “rencanakan” yang lebih dekat ke dalam ragam klasik yang semakna dengan “ceritakan”. Lalu ungkapan “pinang dibelah dua” menyiratkan kemiripan dengan putranya, Samsulbahri.
Dengan bahasa yang sederhana, bisa dikalimatkan ulang: “Wajah Penghulu ini tak perlu diceritakan lagi. Sangat mirip dengan Samsulbahri”.
Sementara itu, deskripsi pribadi dari Sutan Mahmud secara tersurat tertuang dalam kutipan (6) berikut:
(6) Di antara Penghulu-penghulu yang delapan di kota Padang waktu itu, Sutan Mahmud inilah yang terlebih dipandang orang, karena bangsanya tinggi, rupanya elok, tingkah lakunya pun baik; pengasih penyayang kepada anak buahnya, serta adil dan lurus dalam pekerjaannya.
ADVERTISEMENT
Dia “yang terlebih dipandang orang”. Dalam KBBI VI Daring terdapat sublema “memandang” (dibentuk dari lema “pandang”). Ada empat makna, salah satunya “menyegani; menghargai”. Dalam bentuk pasif jadilah “disegani; dihargai”.
Dengan demikian, Sutan Mahmud seorang penghulu (pegawai pemerintah yang berjabatan tinggi) yang disegani atau dihargai banyak orang.
Karena apa? “Bangsanya tinggi”, memiliki kedudukan atau status sosial yang tinggi. “Rupanya elok”, raut wajahnya yang tampan. “Tingkah laku yang baik”, kelakuan atau perangainya yang terpuji.
Bagian selebihnya: “...; pengasih dan penyayang kepada anak buahnya, serta adil dan lurus dalam pekerjaannya”. Kata “lurus” dalam konteks ini lebih dekat dengan arti jujur.
Foto ilustraai rumah gadang Minangkabau. (Sumber: Shutterstock)
Deskrpsi Rumah Putri Rubiah
Selanjutnya deskripsi rumah kakak perempuan Sutan Mahmud, yang bernama Putri Rubiah.
ADVERTISEMENT
(7) Tatkala sampai ke muka gedung tadi, berhentilah bendi Sutan Mahmud, dan Penghulu ini turun dari atas kendaraannya, lalu naik ke atas rumah ini. Dari jauh telah nyata kelihatan, gedung ini kepunyaan seorang mampu, karena rupanya sederhana, pekarangannya besar dan dipagar dengan kayu yang bercat hitam.
Pada kutipan (7), penggunaan kata depan “ke” dan kata “muka” dalam kalimat “Tatkala sampai ke muka gedung tadi, berhentilah bendi Sutan Mahmud” agak kurang lazim dalam bahasa Indonesia di masa kini. Dibanding misalnya dengan “di depan gedung tadi”. Lagi pula, kata “muka” salah satu artinya adalah “depan”. Bisa dicek di KBBI VI Daring.
Lalu kata “mampu” dalam kalimat “Dari jauh telah nyata kelihatan, gedung itu kepunyaan orang mampu” bisa dipahami sebagai orang yang kaya atau memiliki harta berlebih. “(Gedung itu) rupanya sederhana”. Maksud sederhana di sini, bisa jadi lebih terkait dengan arsitekturnya yang tidak terlalu rumit.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya deskripsi tentang pekarangan (halaman di sekitar rumah) dan bentuk jalan masuk ke dalam rumah itu.
(8) Di dalam pekarangan ini, banyak tumbuh-tumbuhan yang sedang berbuah dan bunga-bungaan yang sedang berkembang. Jalan masuk ke rumah ini, bentuknya sebagai bulan sebelah, dan kedua pintunya, dapat ditutup dengan pagar besi yang bercat putih.
Dari kutipan (8) penyebutan metaforis bentuk jalan masuk ke rumah “sebagai bulan sebelah” yang sedikit mengundang tanya. Bisa jadi karena penggunaan kata “sebelah” (dari kata dasar “belah”).
Arti yang paling dekat dengan konteks ini menurut KBBI VI Daring, yaitu setengah; separuh. Bila bulan diambil bentuknya yang berupa lingkaran, maka “bulan sebelah” dapat dimaknai setengah lingkaran.
Deskripsi selanjutnya tentang rumah Putri Rubiah.
ADVERTISEMENT
(9) Pada bentuknya nyata, gedung ini buatan lama; karena bangunnya tinggi, tiangnya besar-besar berukir-ukiran, lantainya papan, demikian pula dindingnya; atapnya genting dilapisi dengan rumbia, sehingga tak mudah bocor.
Kata “nyata” dalam kalimat “Pada bentuknya nyata, gedung ini buatan lama”, agaknya Marah Roesli hendak menegaskan, bahwa jelas sekali gedung tersebut merupakan bangunan yang telah dihuni secara turun-menurun dalam rentang waktu yang sudah sangat lama. Dengan ciri-ciri yang dia sebutkan kemudian.
Bisa pula disertakan keterangan tentang kata “rumbia”. Sangat mungkin ada apresiator pemula yang belum mengetahuinya. Dari KBBI VI Daring diinformasikan, daun rumbia (palem), nama Latinnya Metroxylon sagus, yang tumbuh bergerombol di rawa-rawa. Biasa digunakan sebagai atap rumah.
Deskripsi di Dalam Rumah
ADVERTISEMENT
Dinding rumah Putri Rubiah itu pun tak luput dari perhatian Marah Roesli untuk diceritakan kepada pembaca.
(10) Pada dindingnya yang dicat putih itu, tergantung beberapa gambar Sultan Turki dengan Wazir-Wazirnya. Kolong di bawah rumah itu, sekelilingnya berkisi-kisi papan kecil-kecil, yang bercat hitam.
Sebagai catatan pendukung, hubungan antara masyarakat Minangkabau dan Turki sudah terjalin sejak lama. Seorang ulama putra daerah, Syekh Ahmed Khatib al-Minangkabawi berangkat ke Makkah pada 1871 untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam ilmu agamanya.
Pada saat itu, Makkah berada dalam kekuasaan Kerajaan Ottoman (Utsmani). Hal inilah yang menjawab pertanyaan, mengapa kebudayaan Islam Turki menjamahkan pengaruhnya di Minangkabau.
Satu di antaranya yang terkait dengan pembahasan, yaitu adanya gambar sultan-sultan Turki yang terpasang di rumah-rumah masyarakat di sana. Paling tidak di kisaran waktu pemerintahan kolonial Belanda. Sebelum kemerdekaan.
ADVERTISEMENT
Nah, pada kutipan (10) di atas terdapat kata “wazir”. Menurut KBBI VI Daring, lema ini dalam ragam klasik merujuk pada artian perdana menteri. Kalimat pertama dapat dipahami. Bahwa di dinding rumah (bagian depan) milik Putri Rubiah itu tergantung foto-foto (lebih dari satu) Sultan Turki dengan perdana menteri masing-masing.
Kemudian pada kalimat kedua, kolong di bawah rumah panggung khas Minangkabau itu disebutkan “berkisi-kisi”. Dari kata dasar “kisi” yang direduplikasi dan diimbuhi dengan prefiks “ber-”. Itu berarti di kolong tersebut dipasangi papan kayu kecil-kecil dalam posisi berdiri dan berjarak sehingga ada celah-celahnya.
Selanjutnya Marah Roesli pun menulis:
(11) Di serambi muka, yang dipagari kisi-kisi kayu berpahat, ada sebuah lampu gantung, yang dapat dikerek turun-naik, terbuat dari ukir-ukiran timah, bertutupkan gelas, sedang di bawah lampu itu adalah sebuah meja marmar bulat, yang kakinya berukir-ukiran pula, dikelilingi oleh empat buah kursi goyang, macam dahulu. Serambi ini tengahnya menganjur ke muka sedikit.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa kata dalam kutipan (11) yang perlu dipadankan dengan kata lain yang searti dan hingga kini masih sering digunakan dalam kehidupan berbahasa sehari-hari. Dibanding “serambi muka”, kata “beranda” terdengar lebih familier. Hanya perlu dibubuhi keterangan “beranda agak panjang yang tersambung dengan induk rumah”.
Kata “dikerek” juga perlu dijelaskan. Berawal dari kata “kerek”. Dalam KBBI VI Daring, berarti “roda kecil bersumbu yang bertali atau berantai yang berfungsi untuk menaikturunkan barang (dalam teks dirujuk lampu gantung).
Kemudian ada kata turunan dalam bentuk aktif “mengerek” (menaikkan atau menurunkan barang [lampu gantung] dengan kerek). Sesuai dengan kutipan, yang ditulis Marah Roesli adalah bentuk pasifnya “dikerek”. Jadi bisa diartikan “lampu gantung yang bisa dinaikturunkan dengan kerek.
ADVERTISEMENT
Lampu gantung itu “bertutupkan gelas”. Kata “gelas” di sini tentulah bukan tempat minum yang biasa dipahami dalam kehidupan berbahasa sekarang ini. Melainkan merupakan padanan dari kata “kaca”.
Predikat “menganjur ke muka” dalam kalimat “Serambi ini tengahnya menganjur ke muka sedikit” cukup menimbulkan kendala pemahaman. Mungkin akan lebih mudah dipahami, jika dalam pikiran pembaca sekarang, kalimat yang tersusun, yaitu “Bagian tengah beranda rumah itu sedikit menjorok ke depan”.
Foto ilistrasi pelita yang berbahan bakar dari minyak. (Sumber: Shutterstck)
Benda Tradisional dan Sebutan Kekerabatan
(12) Di sanalah bertemu kedua tangga yang terletak di kanan-kiri serambi. Rupanya Sutan Mahmud telah biasa masuk rumah ini, karena ia terus berjalan ke serambi belakang. Di sana kelihatan olehnya seorang anak gadis yang berumur kira-kira 15 tahun, sedang duduk menjahit di atas tikar pandan dekat sebuah pelita.
ADVERTISEMENT
Dari kutipan (12) ada dua benda, yaitu “tikar pandan” dan “pelita” yang perlu diberi catatan penjelas. Tikar pandan sebagaimana dirujuk oleh namanya adalah tikar yang dibuat dari bahan daun pandan. Sementara itu, pelita merupakan alat penerang tradisional dengan bahan bakar minyak.
(13) Tatkala Sutan Mahmud melihat anak perempuan ini, berhentilah ia sejurus, lalu bertanya, "Ke mana ibumu, Rukiah?" Mendengar perkataan ini, terperanjatlah anak perempuan itu, lalu mengangkat mukanya menoleh, kepada Sutan Mahmud.
Ada kata “sejurus” saat ini kurang lazim digunakan. Merupakan padanan kata dari “sebentar” yang lebih sering terdengar dalam pemakaian bahasa sehari-hari sekarang. Juga klausa “mengangkat muka”, akan lebih mudah dimengerti jika dipahami sebagai “mengangkat wajah”.
(14) Tatkala dilihatnya Penghulu ini berdiri di belakangnya, segeralah diletakkannya jahitannya, lalu berdiri, sambil berkata, "Sedang sembahyang, Mamanda." Kemudian ia hendak masuk ke dalam sebuah bilik, akan melihat, sudahkah ibunya sembahyang. "Sudahlah, biarlah! Aku nanti sebentar," kata Sutan Mahmud, lalu duduk di atas sebuah kursi makan, di sisi sebuah meja marmar kecil.
ADVERTISEMENT
Dari kutipan (14) ada sebutan kekerabatan Minangkabau, yaitu “mamanda”. Sapaan takzim (hormat) kepada saudara laki-laki dari ibu. Untuk kata “sembahyang” sekarang ini lebih sering dinyatakan orang dengan “salat”. Adapun kata “nanti” dalam “Aku nanti sebentar” dewasa ini lebih lazim dipakai orang kata “tunggu”.
(15) Tatkala itu terdengarlah suara seorang perempuan bertanya dari dalam bilik, tempat perawan tadi akan masuk, "Siapakah itu, Rukiah?" "Mamanda Penghulu," jawab Rukiah. "O, tunggulah sebentar! Kukenakan pakaianku dahulu, karena aku baru sudah sembahyang."
Dan, untuk kutipan (15), kata “bilik” lebih jarang frekuensi pemakaiannya dibandingkan dengan “kamar” dalam pemakaian bahasa sehari-hari.
Demikian contoh analisis sederhana tentang KBBI VI Daring sebagai alat bantu untuk membaca sebagian dari novel Sitti Nurbaya. Pertemuan langsung dengan teks, baik dalam buku elektronik maupun buku fisik, merupakan bentuk penyeimbang dari sekadar mengetahui sinopsisnya dalam pengajaran apresiasi sastra.
ADVERTISEMENT
Mohamad Jokomono, S.Pd., M.Kom., mantan pekerja media cetak.