Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.9
Konten dari Pengguna
Perbedaan Satu Fonem Sudah Cukup Menjadi Kontras Makna Kata
4 April 2025 16:59 WIB
·
waktu baca 17 menitTulisan dari Mohamad Jokomono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pernahkah terpikir, faktor penyebab apakah sehingga jumlah kata dalam bahasa Indonesia itu bisa begitu produktif? Yang telah dimasukkan di Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI Dalam Jaringan (KBBI VI Daring), sesuai dengan informasi mutakhir pada pengujung 2024, telah mencapai 208.283 entri. Bisa jadi masih ada kata dalam lingkungan pergaulan sehari-hari yang belum dimasukkan.
ADVERTISEMENT
Bila kita menelusuri KBBI VI Daring dengan dorongan pemicu aplikasi gim tebak kata, seperi Kata Kita dan Katla, maka sesungguhnya ada salah satu jawaban yang dapat segera terlihat, mengapa jumlah kata itu bisa begitu produktif.
Betapa tidak? Perbedaan satu fonem saja bisa memunculkan sejumlah kata yang memiliki perbedaan makna. Fonem tersebut bisa berupa bunyi konsonan atau bunyi vokal. Ada berbagai variasi tempat, yaitu di silabel (suku kata) awal, tengah, dan belakang.
Dengan catatan, kata dasar dengan fonem pembeda di silabel tengah, hanya untuk kata yang terdiri atas tiga silabel. Adapun kata dengan dua silabel, fonem pembedanya terletak di awal atau akhir.
Satu Fonem Pembeda di Silabel Awal
Fonem berupa bunyi konsonan /b/, /g/, /p/, /w/ tatkala dilekatkan di depan kerangka konstruksi kata “/…/i.rang” bisa ditampilkan sebagai contoh pembuka tulisan ini. Di KBBI VI Daring, terdapat lema “/b/i.rang” (malu karena dihina). Berbeda makna dengan “/g/i.rang” (gembira). Juga dengan “/p/i.rang” (merah kecokelat-cokelatan atau kekuning-kuningan [lazimnya tentang rambut]).
ADVERTISEMENT
Dengan lema “/w/i.rang” (malu) masih memiliki kedekatan makna, meski dengan nuansa yang bisa berlainan. Bila “/b/i.rang” rasa malu lebih berangkat dari faktor penyebab eksternal (ada perkataan atau perbuatan menghina dari orang lain sehingga seseorang merasa malu dan bisa jadi bercampur dengan marah).
Maka, lema “/w/i.rang” bisa berangkat dari faktor internal (seperti tindakan tidak senonoh seseorang yang membuat malu seseorang). Dan, sekaligus karena faktor penyebab eksternal (orang lain membuka aibnya di depan umum, sehingga seseorang merasa malu).
Demikian halnya dengan perbedaan fonem /k/ dan /l/ pada lema “/k/e.sang” dan “/l/e.sang”, kontras makna pun terjadi. Dengan sublema “mengesang” (turunan dari lema “/k/e.sang”) terkandung makna “membuang ingus dengan memijit hidung”. Adapun sublema “mengesang” (turunan dari lema “/l/e.sang”) yang diserap dari bahasa Minangkabau berarti “mengendarai (kerbau, sepeda) dengan mengangkangi”.
ADVERTISEMENT
Contoh lain, yaitu lema "/c/e.ra.na" dan "/d/e.ra.na". Hanya karena perbedaan fonem /c/ dan /d/ saja, sudah cukup menimbulkan kontras makna. Kata "/c/e.ra.na" merupakan tempat sirih dari kuningan atau perak. Adapun "/d/e.ra.na" merupakan ragam arkais yang berarti tahan dan tabah menderita.
Kemudian ada perbedaan fonem vokal /i/ dan /u/ dalam kerangka konstruksi kata "/.../ng.kah". Di KBBI VI Daring, ditemukan lema "/i/ng.kah" yang bermakna pindah; beranjak (dari suatu tempat.
Sementara itu, dengan hanya berbeda satu fonem, yaitu vokal /u/ di silabel pertama dalam "/u/ng.kah", maknanya pun berbeda. Dengan sublema "mengungkah" yang merupakan padanan dari "membongkar"
Satu Fonem Pembeda di Silabel Tengah
Fonem vokal /a/ dan /o/ pada "ga.l/a/.ba" dan "ga.l/o/.ba" telah memosisikan keduanya sebagai kata berlainan makna. Jika kata "ga.l/a/.ba" bermakna pilu atau sedih, "ga.l/o/.ba" merujuk pada tumbuhan berbatang kecil, tidak berkayu, hanya berpelepah, biasanya tumbuh di hutan. Memiliki nama ilmiah Hornstedtia alliacea.
ADVERTISEMENT
Kemudian fonem /c/ dan /h/ pada "wa./c/a.na" dan "wa./h/a.na" pun menyokong adanya kontras makna. Makna "wa./c/a.na" bermacam-macam. Bisa merujuk artian komunikasi verbal atau percakapan.
Di lingkungan istilah linguistik teradapat empat makna. Pertama, keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan. Kedua, satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah. Ketiga, kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis; kemampuan atau proses memberikan pertimbangan berdasarkan akal sehat. Kelima, pertukaran ide secara verbal.
Sementara itu, "wa./h/a.na" pun mempunyai beberapa arti. Ia bisa dirujuk sebagai kendaraan atau alat pengangkut. Tetapi, arti ini cenderung tidak pernah digunakan dalam kebiasaan berbahasa sehari-hari. Agaknya yang lebih sering digunakan adalah dalam kapasitas posisinya sebagai kiasan. Biasa dipahami sebagai alat atau sarana untuk mencapai suatu tujuan.
ADVERTISEMENT
Di luar makna yang biasa hadir dalam penggunaan bahasa sehari-hari, ternyata "wa./h/a.na" dalam konteks kalimat yang berbeda juga ada yang memaknainya sebagai tafsir mimpi atau alamat (pertanda akan terjadinya suatu peristiwa baik atau buruk yang menimpa diri seseorang). Bahkan, sebagai serapan dari bahasa Jawa, ia berarti anak yang terlahir di tengah perjamuan atau perhelatan.
Satu Fonem Pembeda di Silabel Akhir
Fonem konsonan /d/, /h/, /k/, /l/, /n/, /y/ manakala dilekatkan di silabel akhir kerangka konstruksi kata “ba./…/ar” pun bisa menimbulkan ramuan makna yang berlainan. Misalnya fonem /d/ diletakkan di tengahnya, akan terbentuk lema “ba./d/ar”. Dan, di sini juga terdapat sisi menarik dari kata yang membuka diri atas kemungkinan multimakna tergantung pada konteks kalimatnya.
ADVERTISEMENT
Menurut KBBI VI Daring, lema “ba./d/ar” memiliki sejumlah makna. Ia bisa diartikan ikan kecil-kecil seperti teri yang bernama ilmiah Stolephorus spp. Lalu dari ragam klasik, ia merupakan lauk-pauk. Dari serapan bahasa Arab, bisa bermakna bulan dan kiasan sangat cantik. Ia pun dapat direferen ke batu hablur untuk permata cincin.
Ketika fonem /h/ melekat pada kerangka konstruksi kata “ba./…/ar”, akan terbentuklah lema “ba./h/ar”. Dalam ragam klasik, makna yang muncul adalah laut atau sungai/danau besar. Adapun dalam ragam arkais, artinya satuan ukuran panjang dari ujung kaki ke ujung tangan yang lurus ke atas.
Selanjutnya, manakala fonem /k/ menginvasi, akan hadir lema yang sudah akrab hadir dalam aktivitas berbahasa sehari-hari, yaitu “ba./k/ar”. Ternyata artinya pun ketika hadir dengan sublema “membakar” relatif variatif. Tidak sekadar “menghanguskan kayu” atau “memanggang satai” atau “membuat bata dengan memanaskannya”. Akan tetapi, bisa juga masuk ke ranah kiasan sebagai “memanaskan hati atau perasaan” serta “mengobarkan semangat”.
ADVERTISEMENT
“Ba./k/ar” dapat juga dikaitkan dengan permainan olahraga bola bakar. Dua regu bertanding, regu pemukul bola dan regu penjaga. Pemain regu penjaga terus berupaya agar pemain regu pemukul tidak sampai menginjak tempat singgah. Istilah “membakar” dalam konteks ini adalah menghentikan langkah lawan. Selain itu, sebagai bagian dari istilah dunia komputer, sublema “membakar” merujuk artian mengopi data ke dalam cakram padat.
Lalu tatkala fonem /l/ berinteraksi di dalam kerangka konstruksi kata “ba./…/ar”, akan terbentuk lema “ba/l/ar”. Bisa berarti putih untuk sebutan kerbau bulai. Juga bisa untuk mata yang keputih-putihan karena robekan retina.
Dari unsur serapan bahasa Melayu Kalimantan mengandung makna “lebam kebiruan dan bengkak memanjang akibat bekas pukulan”. Dan, sebagai akronim biasa dipakai sebagai singkatan balai arkeologi.
ADVERTISEMENT
Ketika fonem /n/ masuk terbentuklah lema “ba./n/ar”. Dari gabungan kata “akar banar” atau “banar babi” dapat merujuk “kijil”. Merupakan istilah botani, yaitu liana (tanaman berkayu yang merambat dengan arah tumbuh tidak teratur) yang batangnya berduri. Daunnya menjorong sampai melonjong, perbungaan memayung, buahnya bulat dan berwarna hijau. Tumbuh di bioma subtropis, tersebar dari India sampai Filipina.
Selebihnya, saat dukungan fonem /y/ akan membuahkan lema “ba/y/ar” yang sudah sangat akrab dalam kehidupan berbahasa sehari-hari. Secara sederhana dan tradisional, ia biasa diartikan “beri uang untuk ditukar dengan sesuatu”.
Contoh berikut, fonem konsonan /l/, /n/, /r/, /s/, manakala dilekatkan di akhir kerangka konstruksi kata “pin.ta/…/” juga menjadi pembentuk kontras makna dari lema yang terbentuk. Saat fonem /l/ dilekatkan, jadilah lema “pinta/l/”. Dengan sublema “memintal”, ada dua makna yang muncul. Ia bisa berarti “memilin untuk membuat tali”. Misalnya memintal sabut kelapa untuk membuat tali. Bisa pula berarti “membuat benang sutera” dengan menggunakan semacam alat.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya dengan fonem /n/ akan terbentuk lema “pin.ta/n/”. Ia merupakan nama lain dari burung manyar tempua yang pandai menganyam sarangnya. Nama latinnya Ploceus philippinus infortunatus. Burung kecil pemakan biji-bijian, bangsa burung berkicau. Dan, hidup di tempat terbuka dekat sumber air.
Kemudian, dengan sertaan fonem /r/, jadilah lema “pin.ta/r/” yang relatif karib dalam realitas penggunaan bahasa sehari-hari. Ia bisa terkait dengan tingkat kemampuan intelektual. Dan, ia pun bisa mencakup kecerdikan seseorang bersiasat. Serta, kemahiran seseorang berolah keterampilan.
Seterusnya, ketika fonem /s/ memainkan fungsinya dalam kerangka konstruksi morfologis “pin.ta/…/” sehingga muncullah lema “pinta/s/”. Pada sublema “memintas”, arti yang bisa tercurahkan pun tidaklah sempit. Ia bisa dimaknai sebagai penempuhan jalan yang terdekat; penyelaan perkataan orang; pemotongan perjalanan (tentang orang, pesawat).
ADVERTISEMENT
Di samping itu, bisa masuk juga sebagai kelas verba: melintasi; melalui; melewati. Dan, sebagai istilah komputer, ia dapat mengusung arti “kamera televisi atau film yang memotong secara tiba-tiba proses pengambilan gambar suatu objek”.
Secara variatif fonem vokal /e/, /i/, /u/ dan fonem konsonan /h/, /k/, /l/, /m/, /r/, /t/ memberikan tekanan makna berbeda manakala melekat di akhir kerangka konstruksi morfologis “ban.ta/…/”. Lema “ban.ta/e/” yang diserap dari bahasa Wolio (penutur masyarakat di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara) berarti “balai pertemuan masyarakat adat”.
Sementara itu, dari lema “ban.ta/i/” jika diturunkan ke sublema “membantai” akan muncul sejumlah makna. Pengartiannya bisa menyembelih atau memotong hewan ternak. Ia bisa bermakna “merusakkan” seperti dalam kalimat “Air bah telah membantai habis padi yang sedang menguning di sawah”.
ADVERTISEMENT
Bisa juga berarti “memukul kuat-kuat” dalam kalimat “Pemuda itu telah membantai kepala pencuri itu dengan tongkat ruyungnya”. Dan, dalam sentuhan makna kiasan, “membantai” dapat pula mengandung artian “membunuh dengan kejam secara massal”.
Tatkala fonem vokal /u/ masuk ke dalam kerangka konstruksi morfologis ini, jadilah lema “ban.ta/u/”. Ia merujuk benda berupa “jaring yang teranyam rapat untuk menangkap burung dan sebagainya; pukat panah”.
Lalu peran serta fonem konsonan /h/ membentuk lema “ban.ta/h/”. Dengan sublema “membantah”, hadirlah sejumlah nuansa makna. Ia bisa berarti “menolak” misalnya dalam kalimat “Tidak seorang pun nayaka yang berani membantah perintah Baginda Raja”. Bisa juga berarti “tidak membenarkan” seperti dalam kalimat “Juru bicara partai itu membantah adanya isu skandal asmara yang menimpa ketua umumnya”.
ADVERTISEMENT
Lalu dengan dukungan fonem konsonan /k/ terbentuklah lema “ban.ta/k/”. Ia merupakan referen dari ikan air tawar dengan nama Latin Osteochilus microcephalus. Dengan fonem konsonan /l/ terbentuk lema “ban.ta/l/” (alas kepala, alas duduk, sandaran punggung).
Berkat adanya fonem konsonan /m/ muncul lema “ban.ta/m/”. Ia bisa menjadi referen ayam bertubuh kecil; ayam katik. Dari istilah olahraga, ia bisa dimaknai petinju atau pegulat yang berada di kelas tanding dengan berat badan 51-54 kilogram.
Dengan partisipasi fonem konsonan /r/ jadilah lema “ban.ta/r/”. Bila selanjutnya hadir sublema “membantar”, maka dalam ragam arkais bermakna “menolak (mencegah) penyakit”. Dari sublema “pembantaran” ada kandungan arti “penangguhan masa penahanan”. Masih ada lagi kontribusi fonem konsonan /t/, sehingga lahir lema “banta/t/” (tentang roti yang proses pengolahannya belum matang benar.
ADVERTISEMENT
Deretan contoh bisa ditambah lagi. Fonem konsonan /h/, /k/, /m/ sebagai pembeda arti dalam kerangka konstruksi morfologis “lin.ca/…/. Dengan fonem /h/ terbentuk fonem “lin.ca/h/” (tidak bisa diam; sering berubah pikiran; kerap berganti pekerjaan; acap kali pindah tempat tinggal). Dukungan fonem /k/ melahirkan lema “lin.ca/k/”. Serapan dari bahasa Jawa ini mereferen benda berupa bangku panjang dari bambu.
Kemudian dengan kontribusi fonem /m/ terbentuklah lema “lin.ca/m/”. Jika diturunkan ke sublema “melincam”, serapan dari bahasa Minangkabau ini memiliki beberapa makna. Dengan konteks kalimat masing-masing, ia bisa berarti “melancar (bergerak) dengan cepat”; “menghunjamkan senjata tajam dengan cepat”; “berlalu dengan cepat”.
Selanjutnya peran fonem /l/, /m/, /n/ dalam kerangka morfologis “pis.to/…/”. Terlahirlah tiga lema, yaitu “pis.to/l/” (senjata api genggam), “pis.to/m/” (istilah biologi untuk taring beracun lipan atau kelabang), “pis.to/n/” (istilah teknik untuk pengisap dalam mesin; katup kuningan pada instrumen tiup untuk mengatur bunyi”.
ADVERTISEMENT
Masih ada contoh lagi, tentang peran pembeda makna fonem vokal /a/ dan /i/ dalam kerangka konstruksi morfologis “tang.s/…/”. Lema “tang.s/a/” merujuk pada benda berupa genderang (rebana) untuk mengarak tabut (peti anyaman bambu atau burung-burungan burak dari kayu diarak dalam peringatan terbunuhnya Hasan-Husen pada tiap 10 Muharam).
Sementara itu, lema “tang.s/i/” memiliki beberapa arti. Ia bisa merujuk pada benda berupa bangunan asrama TNI atau Polri; barak. Dan, dalam ragam cakapan bisa dimaknai sebagai penjara. Serta, lema “tangs/i/” versi serapan bahasa Melayu Jambi, merujuk pada benda berupa benang untuk memancing ikan.
Dari peran serta fonem konsonan /c/, /j/, /t/ pada silabel akhir dalam kerangka konstruksi kata “lan./…/ar” memunculkan tiga kata berbeda makna hanya karena beda satu fonem saja.
ADVERTISEMENT
Ada lema “lan./c/ar”. Ia bisa bermakna “tidak terhenti” seperti dalam kalimat “Kitiran itu dapat berputar dengan lancar”. Bisa juga bermakna “fasih” (Dia telah lancar berbahasa Inggris); “berlangsung dengan baik” (Ujian skripsinya berjalan lancar).
Setelah itu, ada lema “lan./j/ar” yang bermakna “bertambah panjang (karena diulurkan/dijulurkan)”. Dalam kelas adverba dari ragam arkais, ia memiliki makna “lantas; lalu; langsung” dan “cepat hilang (lenyap). Dan, di ragam arkais lema ini juga bermakna sama dengan lancar.
Serta, ada pula lema “lan./t/ar”. Bila diturunkan ke sublema “melantarkan”, maka bisa dimaknai dengan “menyebabkan (pertikaian, kerugian)” dan “menyampaikan (usul, permintaan)”.
Berikut peran fonem konsonan /c/, /d/, /j/ sebagai pembeda makna dalam kerangka konstruksi kata “lan./…/ur”. Dari lema “lan./c/ur”, dapat terbentuk sublema “melancur” yang searti dengan “memancur” sebagaimana dalam kalimat “Air yang jernih melancur dari pipa itu”.
ADVERTISEMENT
Kemudian ada lema “lan./d/ur” dengan sodoran makna “terjurai panjang (lengan baju, tali)” dan “merasa lemah pada lutut karena terlalu lama berdiri”. Lalu lema “lan./j/ur” (terdorong ke depan; lanjut).
Tak ketinggalan lema “lan./t/ur”. Jika diturunkan ke sublema “lanturan”, tak disangka ia adalah istilah yang digunakan dua disiplin ilmu dengan muatan pengertian masing-masing. Dari ilmu sastra, “lanturan” merujuk pada digresi atau bagian cerita yang tidak secara langsung berhubungan dengan alur utama.
Sementara itu, dalam perspektif ilmu fisika, “lanturan” merupakan “pergeseran sudut yang tampak berhubungan dengan kedudukan sebuah benda langit dalam arah gerak pengamat. Disebabkan oleh kombinasi kecepatan gerak pengamat dengan kecepatan cahaya”.
Seterusnya peran pembeda makna fonem vokal /a/ dan /u/ di silabel akhir dalam kerangka konstruksi kata “pin.t/…/r”. Lema “pin.t/a/r” bisa terkait dengan tingkat kemampuan intelektual. Ia pun bisa mencakup kecerdikan seseorang dalam bersiasat. Dan, kemahiran seseorang dalam berolah keterampilan.
ADVERTISEMENT
Adapun lema “pin.t/u/r” merupakan benda untuk menangkap kepiting. Bentuknya bundar dan diberi jaring dan umpan di dalamnya. Serta, bandul yang dapat mengapung di permukaan air.
Selanjutnya, dengan fonem vokal yang sama, kali ini masuk ke dalam silabel kedua kerangka konstruksi morfologis “sun.d/…/k”. Ada lema “sun.d/a/k”. Dengan sublema “menyundak” muncul arti “menyundul; membentur” (Gadis itu tiba-tiba berdiri, hampir saja menyundak lampu gantung).
Bisa juga berarti “naik atau pasang” sebagaimana termaktub dalam kalimat “Akibat hujan yang sangat lebat, air sungai itu menyundak”. Selain itu ada lema “sun.d/u/k”. Dengan sublema “menyunduk” bisa bermakna “mencocok; menusuk” dan “merangkai dengan sunduk”.
Masih tentang peran fonem vokal sebagai pembeda arti, saya menemukan lema “tam.p/a/k” (kelihatan), “tam.p/i/k” (tolak), “tam.p/u/k” (dalam arti kiasan: yang tertinggi). Juga ada “tim.b/i/l” (bisul kecil pada tepi pelupuk mata), “tim.b/u/l” (keluar dari dalam air; menyembul sedikit dari permukaan yang rata; terbit (matahari, bulan); muncul (penyakit, pertikaian, pikiran, perasaan); keluar (dari semak-semak, hutan).
ADVERTISEMENT
Peran fonem konsonan /k/, /s/, /z/ sebagai pembeda makna juga tampak tatkala mengisi silabel akhir dari kerangka konstruksi kata “ka.la./…/a”, sehingga terbentuklah lema “ka.la./k/a” (denda perceraian, biasanya telah ditetapkan saat perkawinan).
Lalu ada lema “ka.la./s/a” yang merupakan serapan dari bahasa Wolio (masyarakat penutur di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara) yang merujuk pada benda berupa anyaman bambu yang jarang untuk tempat jemuran.
Selain itu, ada lema “ka.la./z/a”. Menurut istilah biologi, ia merupakan “tali pilin pada albumen yang tersambung pada tiap ujung kuning telur pada lapisan membran di dalam telur unggas, berfungsi untuk menjaga agar posisi kuning telur tidak berubah”.
Adapun dalam istilah botani, merujuk pada bagian dasar bakal biji tempat nuselus (benih awal pada tumbuhan berbiji) dan integumen (kulit biji atau cangkang) menyatu.
ADVERTISEMENT
Contoh lain, datang dari peran fonem konsonan /g/, /m/, /n/, /s/, /t/, /y/manakala menempati fungsi sebagai pembeda makna di silabel akhir dalam kerangka konstruksi kata “se.ra./…/a”. Ada lema “se.ra./g/a” yang biasanya dengan “bantal”. Jadilah “bantal se.ra./g/a” (bantal bundar bersulam untuk peralatan perkawinan).
Lalu ada lema “se.ra./m/a”. Merujuk pada jenis ayam. Jadilah “ayam se.ra./m/a”, yaitu ayam katik dari Malaysia, bulunya kebanyakan hitam atau metah. Berkaki kecil dan pendek tetapi tidak cebol. Jinak. Membusungkan dada saat berjalan mundur. Nama ilmiahnya Gallus gallus domesticus.
Lema “se.ra./m/a” dalam ragam klasik merujuk pada benda berupa “gendang yang sebelah dipukul dengan tangan dan sebelah lagi dibunyikan dengan kayu pemukul”. Dalam ragam klasik pula, ia merupakan permainan silat dengan pedang.
ADVERTISEMENT
Lema “se.ra./n/a” saat menjadi sublema “menyerana”, kandungan artinya “merana” (makin lama makin kurus) sebagaimana terdapat dalam kalimat “Tubuh pemuda itu menyerana akibat penyakit yang kronis”. Bisa pula bermakna “termenung” (Gadis cilik itu duduk menyerana setelah kucing kesayangannya sudah berhari-hari pergi tak kunjung kembali).
Lalu ada sublema “se.ra./s/a” (terbentuk dari lema “rasa”). Artinya seakan, seolah. Contoh: “Serasa putus tali jantung pemuda itu, melihat gadis pujaan hati menangis tersedu-sedu”.
Ada pula sublema “se.ra./t/a” (terbentuk dari lema “rata”), artinya “seluruh; segenap; seantero”. Contoh kalimat “Di matanya, gadis itu yang paling cantik di serata dunia”; “Dia pun mencintanya dengan serata hati”.
Masih ada lagi lema “se.ra./y/a”. Dalam ragam klasik, maknanya setara dengan preposisi “sambil; serta” (Kakek membaca buku seraya menikmati alunan musik klasik). Lema ini dari serapan bahasa Minangkabau bisa berarti “penolong” dan “pertolongan”. Selain itu, juga merujuk pada pohon meranti, termasuk jenis shorea, yang kayunya keras.
ADVERTISEMENT
Fonem Vokal Pembeda Makna
Dapat dicermati peran signifikan vokal /a/, /e/, /i/, /o/ ketika masuk ke kerangka konstruksi kata “g/…/. l/…/ng”. Kali ini perbedaan ada di silabel awal dan akhir sekaligus. Dengan demikian, bisa masuk kategori contoh perbedaan satu fonem yang mengusung kontras makna.
Dengan fonem vokal /a/ terbentuklah lema “g/a/l/a/ng”. Dari sublema “menggalang”, makna yang muncul bisa “memberi ganjal atau landasan” seperti dalam kalimat “Kernet itu menggalang dengan balok kayu besar ban belakang bus yang mati mesin di jalan menanjak”. Ia bisa juga bermakna “menyangga; menopang; menunjang; menyokong”, seperti dalam kalimat “Manfaat balok-balok itu untuk menggalang perahu”.
Makna lainnya “memperkuat dan menegakkan” seperti tertuang dalam k.alimat “Menggalang persatuan seluruh rakyat untuk menghadapi musuh negara”. Bisa pula secara kiasan bermakna “mengumpulkan; mencari (dana, dukungan).
ADVERTISEMENT
Ketika fonem vokal /e/ yang masuk terbentuklah lema “g/e/l/e/ng” (kepala yang bergerak ke kiri dan kanan). Kemudian dengan fonem vokal /i/ bisa dihadirkan lema “g/i/l/i/ng”. Dengan sublema “menggiling”, ia bisa bermakna “melumatkan (memipihkan) sesuatu dengan batu giling; melumatkan kopi, mengupas kulit padi, memerah tebu dengan mesin penggiling”.
Lalu dengan fonem vokal /u/, munculah lema “g/u/l/u/ng”. Ia bisa berarti “benda berlembar-lembar yang dilipat menjadi bebentuk bulat”. Dan, bisa pula difungsikan sebagai kata penggolong benda yang berwujud lembaran. Misalnya dalam kalimat “Tikar milik RT ada lima gulung”.
Dengan sublema “menggulung”, ada sejumlah makna. Ia bisa berupa kegiatan menggulung benda yang berbentuk lembaran. Bisa pula mengacu pada tindakan membeli-belitkan (tali, benang) pada kumparan. Dan, dalam kiasan, tersedia makna “mengejar dan menangkap” seperti dalam kalimat “Polisi menggulung kawanan penjahat kelas kakap itu”.
ADVERTISEMENT
Manakala fonem vokal /o/ berkiprah, muncullah kemudian lema “g/o/l/o/ng”. Dari serapan bahasa Sasak (masyarakat penutur Suku Sasak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat), ia merupakan referen dari benda berupa “alat dari besi untuk memisahkan biji kapas dari serat-seratnya”.
Dari sublema “menggolong” bisa terpahami sebagai “menjadi kelompok-kelompok”. Misalnya dalam kalimat “Peneliti itu menggolong data temuannya berdasarkan karakteristik khas masing-masing”.
Dan, secara tak terduga, di KBBI VI Daring, menginformasikan bahwa “menggolong” memiliki kesenapasan makna dengan “menindas”. Ada sebuah klausa contoh, yaitu “bukan buat menolong, melainkan hendak menggolong”.
Fonem-fonem Sama Susunan Beda
Faktor penyebab lain yang bisa dicatat, kenapa produksi kata dalam bisa berjumlah besar, yaitu dari jumlah dan jenis fonem yang sama tetapi dengan susunan yang berbeda dapat memunculkan sejumlah kata.
ADVERTISEMENT
Ada dua kata yang terdiri atas fonem-fonem yang sama. Kalau saya susun secara alfabetis, yaitu /d/, /e/, /g/, /n/. /t/, /u/. Dari enam fonem ini muncullah susunan fonem yang membentuk dua kata yang memiliki makna berbeda. Ada lema “dengut” yang merujuk artian “tiruan bunyi gema memanjang seperti bunyi burung puyuh dan gung”.
Dari enam fonem yang sama tersebut juga dapat dibentuk kata “gendut”. Ia bisa diartikan “besar dan seakan-akan bergantung (tentang perut)”. Ia dalam ragam kasar dapat dipahami sebagai hamil, seperti dalam kalimat “Belum genap dua bulan menikah, perut sang istri sudah tampak gendut”.
Dan, juga dalam kiasan dari ragam kasar, dapat dibaca sebagai “banyak mendapat keuntungan”, sebagaimana tertuang dalam kalimat “Dialah yang gendut dalam urusan pengadaan barang untuk instansi pemerintah itu”.
ADVERTISEMENT
Kemudian kata “dagang” dan “gadang” yang terdiri atas 2 fonem /a/, 1 fonem /d/. 1 fonem /n/, dan 2 fonem /g/. Lema “dagang” terkait dengan makna “pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan menjual dan membeli untuk mencari keuntungan; jual-beli; niaga”.
Sementara itu, lema “gadang” yang diserap dari bahasa Minangkabau, lazim diartikan besar. Lalu dari sublema “begadang” (berjaga atau tidak tidur pada malam hari). Dan, bisa pula ia menjadi referens benda “ayakan (beras dan sebagainya) yang berukuran besar; badang”.
Begitu pula dengan lema “lantip” dan “pintal” yang sama-sama terdiri atas 1 fonem /a/, 1 fonem /i/, 1 fonem /l/, 1 fonem /n/, 1 fonem /p/. Lema “lantip” merupakan serapan dari bahasa Jawa yang berarti “berotak cemerlang; cerdas”. Sementara itu, “pintal” (pilin).
ADVERTISEMENT
Lalu dari susunan 2 fonem /a/, 1 fonem /g), 1 fonem /n/, 1 fobem /s/, 1 fonem /t/ dapat dibentuk lema “sangat” (suatu hal atau keadaan yang berlebihan; amat; terlalu; payah [tentang penyakit]; sungguh-sungguh). Dan, lema “satang” merujuk pada galah untuk menjalankan perahu.
Letak Vokal Bersulih, Beda Makna
Faktor penyebab berikutnya produktivitas kata lainnya, ada kata yang karena dua fonem vokal yang bersulih letak, sehingga terjadilah perbedaan makna.
Contoh yang saya temukan lewat gim tebak kata, yaitu “g/a/nd/u/h”. Konstruksi morfologis ini terasa kedengaran berbeda itu, langsung membawa ingatan saya pada “g/u/nd/a/h” yang sudah relatif familier karena pernah menemuinya dalam tulisan (biasanya yang agak sastrawi).
Saking penasaran, saya pun segera mengakses KBBI Vi Daring. Ternyata lema “g/a/nd/u/h” semakna dengan “tokok”. Artinya tambahan sedikit dalam kegiatan bertukar barang. Agar lebih mudah dipahami, saya pun mengambil contoh sublema “berganduh”. Keterangannya lebih jelas, yaitu merujuk pada aktivitas “bertukar tambah; bertukar barang dengan tambahan uang”. Demikian salah satu artinya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, lema “g/u/nd/a/h” yang fonem vokal /a/ dan /u/ bersulih tempat dengan “g/a/nd/u/h”, dalam ragam klasik lebih mewadahi arti “sedih, bimbang, gelisah”. Contoh kalimat, “Sangatlah sedih kalbu Baginda setelah berpisah dengan Sang Putri” kian menguatkan bahwa lema ini lebih lazim peruntukannya di teks-teks sastra hikayat.
Kesimpulan yang dapat diambil, faktor penyebab signifikan yang dapat dikaitkan produktivitas kata dalam bahasa Indonesia, yaitu perbedaan satu fonem saja, sudah dapat ditemukan adanya sejumlah kata yang beda makna.
Selain itu, karena adanya susunan susunan berbeda dari jumlah dan jenis fonem yang sama. Dan yang tidak bisa dilupakan, perberdaan letak fonem (lebih sering terjadi pada vokal), dari suatu kerangka konstruksi kata. ***
ADVERTISEMENT
■ Mohamad Jokomono, S.Pd., M.I.Kom, mantan pekerja media cetak.