Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Satu Kata Serapan, Ada yang Berasal dari Beberapa Bahasa Daerah
13 Mei 2025 13:24 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Mohamad Jokomono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sangat banyak kekayaan khazanah kosakata bahasa dari berbagai daerah di Indonesia telah terawetkan menjadi entri di Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI Dalam Jaringan (KBBI VI Daring).
ADVERTISEMENT
Dengan 718 bahasa daerah, menempatkan Zamrud Khatulistiwa ini, sebagai negara yang berhak menyandang predikat negara dengan keragaman bahasa kedua terbesar di dunia. Adapun yang pertama adalah Papua Nugini.
Menurut data dari Sensus Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, Long Form Sensus Penduduk 2020, Indonesia memiliki 1.200 lebih suku bangsa. Sementara itu, dari hasil serupa 10 tahun sebelumnya (2010), Tanah Air Kita dihuni tidak kurang dari 1.340 kelompok etnis.
Suku Jawa menempati proporsi 40,05% dari total jumlah penduduk. Karena itu, tidak mengherankan, jika kuantitas kata yang diserap dari bahasa Jawa juga relatif besar.
Berdasarkan data dari KBBI VI Daring, jumlahnya ada di kisaran 1.584 entri. Ini berdasarkan perhitungan manual saya. Kata-kata seperti “blu.suk.an” (memasuki suatu tempat untuk mengetahui sesuatu), “blak-blak.an” (terus terang).
ADVERTISEMENT
Kemudian “bo.bot” (berat suatu benda), “bo.cah” (anak kecil), “gu.yon” (bergurau), “bo.bok” (untuk menyebut tidur bagi anak-anak”, “ge.tun” (menyesal), “a.dreng” (ingin sekali), boleh dikatakan sangat dikenali sebagai kata-kata yang berasal dari bahasa Jawa.
Sudah Punah
Fakta menarik yang dapat ditarik dari realisasi penyerapan kata dari bahasa daerah yang telah dilakukan tim penyusun KBBI VI Daring, ada satu dapat dikategorikan bahasa daerah yang kini sudah tidak ada lagi masyarakat penuturnya. Alias punah.
Ia adalah bahasa Serua. Dahulu bahasa ini digunakan masyarakat di Desa Waru, Kecamatan Teon Nila Serua, Kabupaten Maluku Tengah.
Ada beberapa penyebab bahasa Serua punah. Adanya aktivitas gunung berapi di Pulau Serua, sehingga masyarakat di sana dipindahkan ke Pulau Seram. Di sana mereka tidak lagi menggunakan bahasa Serua.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, beradaptasi menggunakan salah satu bahasa daerah di Pulau Seram, yaitu bahasa Alune, Elnama. Piru, Geser, atau Gorom. Lama-kelamaan keturunan mereka tidak lagi menggunakan bahasa Serua.
Penyebab lainnya, pada akhir Perang Dunia II, banyak orang asal Pulau Serua yang dipindahkan ke Negeri Belanda. Di sana terbentuk komunitas Teun Nila Serua (TNS) yang berupaya mempertahankam adat-istiadat masyarakat tersebut.
Namun, bahasanya tidak dipertahankan. Untunglah, pada 2021, Kantor Bahasa Provinsi Maluku dapat menerbitkan Kamus Dwibahasa Serua-Indonesia. Dapat dikumpulkan 1.601 entri, termasuk lema dan sublema.
Di KBBI VI Daring dapat ditemui kata-kata dari bahasa Serua, seperti “a.ba.te” (kayu yang patah), “ain.pa.ti” (pohon tumbang”, “bah.ro.ten” (upeti dari rakyat untuk kepentingan negeri, berupa uang atau barang).
ADVERTISEMENT
Demikian pula dengan kata “wa.ten.sa” (berdebat tanpa kesimpulan), “wu.lur” (tidur menyamping), “ya.ta.ne” (sendok kayu yang panjang untuk mengaduk sagu saat memasak papeda).
Direvitalisasi
Meski belum punah, ada juga bahasa daerah yang dipandang perlu direvitalisasi daya hidupnya oleh Pemerintah Provinsi Papua. Ada sejumlah bahasa yang termasuk kategori ini. Salah satunya bahasa Biak.
Penuturnya berada di Pulau Biak, Pulau Numfor. Selain itu di Kampung Kajasbo, Distrik Biak Timur, Kabupaten Biak Numfor dan Kampung Wanderbo, Adibai, Son, dan Opiaref.
Contoh kata dari bahasa Biak yang diserap KBBI VI Daring, yaitu “ben.bep.hon” (piring untuk maskawin), “bom” (tombak untuk maskawin), “kam.boi” (bilik di tengah rumah), “ke.ret” (keluarga besar dalam suku Biak Numfor, terdiri atas beberapa keluarga inti dari keturunan laki-laki).
ADVERTISEMENT
Ada pula kata “wai.ron” (perahu untuk perang), “wor” (lagu atau tarian daerah yang diiringi dengan tifa). Program revitalisasi ini bertujuan untuk mempertahankannya pada taraf aman dan dapat ditransmisikan dengan lebih baik.
Upaya revitalisasi juga dilakukan terhadap bahasa Gayo. Balai Bahasa Provinsi Aceh telah melakukan tugas tersebut. Tujuannya, untuk menghindarkan dari kepunahan. Dan, menumbuhkan dan mengembangkan bahasa daerah tersebut.
Kata-kata dari bahasa Gayo yang diserap dalam KBBI VI Daring, antara lain “am.pang” (tikar kecil dihiasi sulaman, sebagai pelapis tempat duduk pada acara adat), “be.be.ke” (anyaman pandan tanpa hiasan).
Dapat ditemui juga kata “ce.pe.ra” (lauk sangrai dari jamur dan beras, disajikan saat perayaan pernikahan), “de.na” (gangguan kekurangan air susu pada ibu yang bari saja melahirkan), “ge.la.na” (sibuk dan gelisah).
ADVERTISEMENT
Acuan pada Tempat atau Etnis
Fakta menarik lainnya saat saya menelusuri tentang kontribusi bahasa daerah dalam pengayaan entri di KBBI VI Daring, yaitu acuan penamaan bahasa pada tempat atau sebutan etnis.
Padahal, sesungguhnya ada beberapa bahasa daerah yang digunakan di tempat tersebut. Atau, yang terkait dengan sebutan etnis tersebut.
Pada login Bahasa di KBBI VI Daring terdapat pilihan Papua yang disingkat Pp. Papua tempat 428 bahasa daerah menjadi objek tutur, menurut pemetaan Balai Bahasa Provinsi Papua sejak 2006.
Dan, pada 2022 hingga 2024, ada sepuluh bahasa yang direvitalisasi, yaitu Tobati, Sentani, Dani, Hatam, Moi, Kamoro, Imbuti/Marind, Biak, Sobei, Biyekwok/Biyabo.
Selain itu, ada bahasa Asmat, yang masih terinci lagi menjadi Asmat Bets Mbup, Asmat Safan, Asmat Sawa, Asmat Sirat. Kemudian, ada Sapone, Mapia, Bauzi, Bawija, Kimaam, Kimagina, Kimki. Kimyal, Kiri-Kiri, Kitum, Kiwai, Klesi dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Beberapa dari bahasa daerah di Papua tersebut, juga ditampilkan secara tersendiri sebagai penyebutan bahasa daerah yang menjadi rujuk penyerapan.
Di login Bahasa KBBI VI Daring, selain bahasa daerah di Papua (Pp), juga ditampilkan bahasa-bahasa yang dituturkan di wilayah tersebut, seperti Asmat (Asm), Bauzi (Bz), Biak (Bk), Dani (Dn), Sentani (Stn). Namun, memang tidak seluruhnya tercantum, seperti Kiri-Kiri, Kitum, Kiwai, Klesi.
Selain lokasi tempat, acuan penamaan bahasa juga pada kelompok etnis. Misalnya bahasa daerah Dayak (Dy). Termasuk rumpun Austronesia ini, di masa prasejarah berasal dari Taiwan dan kemudian menyebar ke Nusantara.
Ada bahasa Dayak Ngaju, penuturnya sebagian besar penduduk Kalimantan Tengah. Berperan penting dalam pergaulan, perdagangan, dan pendidikan.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya bahasa Maanyan, penuturnya suku Dayak Maanyan di Kalimantan Tengah. Bahasa Bakumpai dan Bukit atau Metatus dengan masyarakat penutur di Kalimantan Selatan.
Bahasa Iban, Bidayuh, dan Modang bagi suku-suku Dayak yang tinggal di Kalimantan Barat. Lalu bahasa Kenyah, Kayan, Punan di Kalimantan Timur. Serta, bahasa Lundayeh untuk masyarakat penutur suku Dayak yang berada di Kalimantan Utara.
Di login Bahasa KBBI VI Daring, selain bahasa daerah Dayak (Dy), ada tersedia informasi entri seperti Bahau (Bh), Benuaq (Bn), Kenyah (Ke), dan Passer (Psr). Meski demikian masih ada bahasa-bahasa Dayak lain, belum ditemukan ada informasinya dalam bentuk kata serapan di kamus.
Ciri Khas Budaya Lokal
Fakta menarik berikut, pilihan kata dari bahasa daerah yang diserap, bisa jadi ada pertimbangan ciri khas budaya lokal.
ADVERTISEMENT
Dalam bahasa Komering (Ko) yang menjadi wahana komunikasi masyarakat suku Komering di Sumatera Selatan. Masyarakat penuturnya di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Ogan Komering Ulu Timur.
Bahasa Komering mempunyai dua dialek, yaitu Pulau Negara dan Aji. Perbedaan dialektologi keduanya 51%-81%. Bahasa yang merupakan cerminan budaya dan tradisi suku Komering, dewasa ini terancam punah.
Sebagai upaya revitalisasi, Balai Bahasa Sumatera Selatan telah melakukan penelitian kosakata. Telah pula mengalami pengolahan leksikografis. Untuk selanjutnya digunakan sebagai korpus yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk penyusunan kamus dwibahasa Komering-Indonesia.
Di login Bahasa KBBI VI Daring, ada beberapa entri yang diserap dari bahasa daerah Komering. Dicermati dari pilihan lemanya memang dapat dirasakan betapa kuat kecirikhasan budaya dan tradisi suku tersebut.
ADVERTISEMENT
Seperti lema “adi-adi” (puisi yang dilagukan); “kun.cah” (pantun nasihat kepada para pemuda dan pemudi agar pintar menjaga diri dalam menjalin hubungan); “un.dak-un.dak.an” (pantun dalam bahasa Komering dialek Aji); “warahan” (dongeng edukasi dalam.bahasa Komering dialek Aji).
Lalu dari bahasa Ekari/Ekagi (Ekg) yang dituturkan oleh Suku Mee. Bahasa dari masyarakat yang tinggal di wilayah pegunungan Papua Tengah, terutama di Kabupaten Paniai.
Lema yang diserap KBBI VI Daring begitu lekat dengan budaya dan tradisi setempat, yaitu “kai.do” (nyanyian dengan harmonika mulut, berupa teriakan-teriakan nyaring); “mo.de” (cawat untuk perempuan dari pintalan serat kulit kayu); “yu.wo” (pesta makan babi).
Dapat dicatat pula, bahasa Bauzi yang dituturkan oleh Suku Bauzi di Provinsi Papua. Bahasa ini termasuk rumpun bahasa Teluk Geelvink Timur. Suku ini terkenal sebagai pemburu buaya dan ular. Bagi mereka, daging kedua hewan itu adalah makanan yang lezat.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, bertalian dengan kecirikhasan budaya kulinernya yang tidak lepas dari daging buaya, kemudian kata “da.o”. Merujuk pada benda berupa tombak untuk menangkap buaya.
Satu Kata Serapan dari Beberapa Bahasa Daerah
Fakta menarik yang juga perlu mendapat catatan, yaitu adanya satu kata serapan yang ternyata berasal dari beberapa bahasa daerah. Dan, kandungan maknanya pun berbeda.
Di KBBI VI Daring dapat ditemui keberadaan lema “ca.lung”. Kata ini berdasarkan sumber serapan dari bahasa Minangkabau (Mk) saja sudah memiliki tiga rujukan benda.
Kata “ca.lung” dari bahasa Minangkabau bisa mereferen pada “tabung bambu untuk mengambil air” (1). Bisa pula menjadi lambang bunyi yang mewakili sebutan untuk benda berupa “timba kecil dari bambu (2). Dan, “mangkuk dari timah untuk menampung getah karet” (3).
ADVERTISEMENT
Adapun kata “ca.lung” yang diserap dari bahasa Melayu Medan (Md) artinya “cangkir besar yang terbuat dari bahan aluminium.
Dalam bahasa Sunda, berbeda lagi benda yang direferen kata “ca.lung” ini. Yaitu “alat musik pukul dari bambu bulat, ada yang menyerupai gambang, ada yang tersusun melintang dari atas ke bawah”.
Sementara itu, dalam bahasa Melayu Riau (Ri), kata “ca.lung” ini mempunyai makna “takaran beras dari dari kaleng susu”.
Contoh lain, kata “an.cak”. Bila merupakan kata hasil serapan bahasa Madura (Mdr), maka maknanya “wadah makanan dari batang pisang untuk hajatan”.
Jika dilacak keberasalannya dari bahasa Using (Us) Banyuwangi, kata “an.cak” mempunyai dua arti, yakni “tempat bilah-bilah gamelan” (1) dan “alat dari bilah-bilah kayu untuk alas merontokkan padi di sawah”.
ADVERTISEMENT
Kata “an.cak” menurut versi serapan dari bahasa Melayu Medan (Md), makna yang dihadirkan adalah “tanda batas kepemilikan (tanah atau rumah) berupa pohon atau potongan besi yang ditanam”.
Berbeda jauh dari arti kata “an.cak” yang diserap dari bahasa Melayu Kepulauan Riau (Kpr), yang rujukan bendanya berupa “tempat dari rotan atau bambu untuk menampung ikan teri mentah yang akan dimasak”.
Bisa jadi, masih ada fakta-fakta menarik lainnya di balik peran serta bahasa daerah di Nusantara dalam proses pengayaan khazanah kosakata bahasa Indonesia. Tentu saja, perlu rentang proses pencarian yang lebih intens lagi. ***
■ Mohamad Jokomono, S.Pd., M.I.Kom., purnatugas pekerja media cetak.