Konten dari Pengguna

Kontroversi Ijazah (Palsu) Jokowi: Perspektif Komunikasi Politik

Mohammad Isa Gautama
Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang. "Politik tanpa Dialog" dan "Modernisme tanpa Pengaman" adalah dua buku kumpulan kolom/esainya, terbit penghujung 2020.
6 Mei 2025 9:57 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohammad Isa Gautama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden ke-7 RI, Jokowi usai melapor terkait tudingan ijazah palsu di Polda Metro Jaya, Rabu (30/4/2025). Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden ke-7 RI, Jokowi usai melapor terkait tudingan ijazah palsu di Polda Metro Jaya, Rabu (30/4/2025). Foto: Rachmadi Rasyad/kumparan
ADVERTISEMENT
KASUS dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini menjadi trending topic di mana-mana. Nyaris semua media, dipenuhi head-line mengenai topik ini.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini patut dikaji bukan semata sebagai soal hukum administrasi, melainkan sebagai gejala komunikasi politik yang lebih dalam: krisis kepercayaan publik, delegitimasi simbolik, dan politik pasca-kebenaran yang kini merasuki demokrasi Indonesia.
Secara teoritik, kasus ini sejalan dengan apa yang dikatakan Brian McNair: politik modern sangat ditentukan oleh kontrol atas narasi. Pada konteks ini, pihak yang coba mengungkap kepalsuan ijazah bisa jadi menggunakan isu ini sebagai alat delegitimasi. Di seberangnya (pendukung Jokowi) berupaya mempertahankan narasi legitimasi. Di tengahnya, publik terbelah, bukan karena fakta, tetapi karena afiliasi politik dan persepsi yang dibentuk (terutama) oleh media sosial.
Kontroversi ijazah Jokowi pertama kali diangkat oleh aktivis dan kelompok tertentu yang menggugat keabsahan dokumen pendidikan (saat itu) Presiden Jokowi dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Bisa jadi, fenomena ini beririsan dengan apa yang disebut dalam studi komunikasi politik sebagai upaya delegitimasi simbolik — sebuah proses membangun narasi negatif untuk mengikis otoritas moral lawan politik (Jagers & Walgrave, 2007).
ADVERTISEMENT
Narasi delegitimasi ini mendapatkan amunisi dari karakteristik media sosial yang memungkinkan viralitas tanpa verifikasi. Teori spiral keheningan yang dikemukakan Noelle-Neumann menguatkan fenomena di mana gelembung opini semakin hari seolah-olah mewakili mayoritas. Padahal, ia bisa jadi hanyalah gema dari kelompok minoritas yang vokal. Sementara media arus utama, yang semestinya menjadi penyeimbang, dikhawatirkan justru terjebak dalam logika klik bait, memperbesar isu tanpa klarifikasi memadai.

Tabiat Era Post Truth

Di sisi lain, sengkarut ijazah palsu Jokowi semakin memperkokoh era politik post-truth di Indonesia, di mana emosi dan keyakinan, serta ketidaktransparanan lebih menentukan pandangan politik daripada fakta objektif. Kebenaran sejati seolah semakin dipinggirkan, hal mana diduga kuat disebabkan kelindan berbagai kepentingan, atau bahkan penyimpangan.
ADVERTISEMENT
Menurut Ralph Keyes (2004), politik post-truth menciptakan realitas semu yang dibentuk oleh narasi, bukan data. Publik semakin percaya bahwa ijazah Jokowi palsu bukan karena bukti kuat, melainkan karena tidak pernah mendapat informasi valid bahwa ijazah itu memang asli.
Viralitas ini, lagi-lagi berangkat dari ruang kosong berupa ketiadaan inisiatif Jokowi untuk menjelaskan fakta yang sebenarnya. Terbukti, ijazah yang dipegangnya (dan diklaim sebagai asli) hanya diperlihatkan kepada wartawan dan warga yang diundang ke kediamannya. Itu pun dilarang untuk difoto.

Hilangnya Kejujuran

Dalam konteks komunikasi politik modern, kejujuran dan transparansi dari figur publik bukan sekadar prasyarat moral, namun juga fondasi utama bagi legitimasi politik. Teori trust-building dalam komunikasi politik menyatakan bahwa kredibilitas seorang pemimpin atau tokoh politik sangat ditentukan oleh persepsi publik atas integritas dan keterbukaannya (Hetherington, 2005).
ADVERTISEMENT
Ketika figur publik mengelola informasi secara jujur dan terbuka, proses komunikasi politik berjalan dua arah—tidak sekadar instruktif dari elite kepada massa, tetapi partisipatif yang memungkinkan publik menjadi subjek politik aktif. Sebaliknya, ketika ada dugaan manipulasi atau pemalsuan data, seperti dalam kasus kontroversi ijazah palsu, maka terjadi delegitimasi bukan hanya terhadap individu, tetapi terhadap keseluruhan institusi demokrasi yang diwakilinya.
Lebih jauh, transparansi figur publik berfungsi sebagai mekanisme checks and balances informal dalam sistem politik modern. Komunikasi politik yang sehat menuntut akses publik terhadap informasi autentik, sehingga proses deliberasi demokratis dapat berjalan dengan rasional (Habermas, 1989).
Ketika tokoh politik menutup-nutupi riwayat pendidikan, kekayaan, atau keputusan strategisnya, maka terjadi disrupsi terhadap ruang publik yang seharusnya menjadi arena pertukaran wacana kritis. Oleh karena itu, dalam perspektif komunikasi politik, tuntutan publik agar para pemimpin jujur dan transparan bukanlah serangan personal, melainkan bentuk artikulasi sehat dari kontrol demokrasi.
ADVERTISEMENT

Simptom Krisis Legitimasi

Dalam perspektif Pierre Bourdieu, kekuasaan politik tak hanya bertumpu pada kekuatan formal, tetapi juga pada modal simbolik seperti kepercayaan dan kehormatan. Ketika modal simbolik seorang pemimpin berupa nama baik dan keterbukaan rusak oleh kesembronoan berpolitik, maka kekuasaan formal dan nama baiknya pun ikut terancam.
Kasus kontroversi ijazah Jokowi merupakan simbol ketegangan antara elite politik yang mencoba mempertahankan status quo dan publik yang kian skeptis terhadap institusi negara. Bukan kebetulan bahwa isu ini mengemuka bersamaan dengan kritik terhadap politik dinasti, korupsi, dan otoritarianisme yang tumbuh sejak akhir masa kepemimpinan Jokowi hingga kini.
Dalam perspektif komunikasi politik kritis, ini adalah gejala bahwa ruang publik kita telah tercemar oleh distrust dan sinisme. Habermas menyebutkan bahwa ruang publik idealnya menjadi arena diskursus rasional. Namun yang terjadi kini, ruang publik Indonesia lebih mirip arena adu hoaks, ketidakjujuran dan sikap menerabas yang sudah pasti menepikan fakta dan kebenaran.
ADVERTISEMENT

Kegagalan Edukasi Politik

Heboh kontroversi keaslian ijazah Jokowi merupakan tanggung jawab media arus utama. Alih-alih menjadi penjaga kebenaran (watchdog), banyak media justru menjadi amplifier bagi diskursus liar yang tak berlandaskan rasionalitas. Ini sejalan dengan kritik Daniel Hallin & Paolo Mancini dalam teori sistem media, bahwa media di negara demokrasi baru seperti Indonesia cenderung oligarkis dan partisan.
Akibatnya, publik Indonesia yang secara umum masih rendah literasi media dan politiknya mudah terombang-ambing oleh berbagai kontroversi yang bagai bola liar. Laporan UNESCO (2023) menyebutkan bahwa indeks literasi media Indonesia masih berada di bawah rata-rata Asia Tenggara. Ini membuat hoaks dan kontra hoaks politik mudah menyebar tanpa pengelolaan yang mencerahkan.
Pendidikan politik yang semestinya menjadi benteng rasionalitas pun gagal berfungsi. Partai politik lebih sibuk memburu kekuasaan ketimbang mencerdaskan konstituennya. Alhasil, ruang diskursus publik dikuasai oleh aktor-aktor non-negara seperti buzzer, influencer, dan youtuber politik yang kerap menyebarkan misinformasi.
ADVERTISEMENT
Untuk keluar dari krisis ini, solusi yang dibutuhkan bukan sekadar klarifikasi hukum semata. Beberapa hari terakhir kita simak, Jokowi melaporkan Joko Suryo cs ke kepolisian. Terpenting adalah melakukan rekonstruksi total sistem komunikasi politik kita. Itu bisa ditempuh melalui itikad konkret negara dalam memperkuat literasi media di kalangan publik. Program edukasi anti-hoaks harus menjadi agenda prioritas nasional, bukan sekadar program seremonial.
Kedua, regulasi platform digital perlu diperketat. UU ITE yang selama ini lebih sering dipakai memberangus kritik, semestinya diarahkan untuk memotong penyebaran misinformasi politik. Kolaborasi dengan platform seperti Meta dan Google wajib ditingkatkan agar narasi hoaks seperti ijazah palsu tak mudah viral.
Berikutnya, partai politik harus kembali kepada fungsi aslinya sebagai agen edukasi politik rakyat. Ini menuntut reformasi internal agar partai tak hanya jadi mesin elektoral pragmatis, tetapi juga sekolah politik yang mencerdaskan.
ADVERTISEMENT
Keempat, media arus utama harus didorong untuk kembali ke prinsip jurnalisme verifikasi, bukan sekadar mengejar trafik. Dewan Pers bersama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) perlu mengawasi lebih ketat penyiaran isu-isu politik yang berpotensi menyesatkan.

Menimbang Diskursus Politik

Polemik ijazah palsu Jokowi sejatinya bukan soal dokumen semata, tetapi tentang kualitas ruang diskursus politik kita. Jika publik terus terjebak dalam isu seperti ini, maka demokrasi kita akan stagnan pada titik politik identitas dan delegitimasi, bukan kompetisi ide dan gagasan.
Kontroversi dokumen akademik dari (mantan) pemimpin ini menjadi pelajaran mahal bahwa demokrasi tanpa literasi akan selalu rentan terhadap manipulasi narasi dan ketiadaan referensi yang rasional dan objektif. Indonesia harus berani menutup bab polemik ini secara tuntas, bukan hanya di meja pengadilan, tetapi juga di ruang kesadaran politik masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, energi bangsa dapat diarahkan kembali ke debat-debat yang lebih substantif: soal ekonomi rakyat, keadilan hukum, pendidikan yang berkualitas, politik yang bersih, dan itikad lurus dan konsisten memerangi korupsi multidimensi. [*]