Konten dari Pengguna

Prospek Gaya Komunikasi Politik Presiden Prabowo

Mohammad Isa Gautama
Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang. "Politik tanpa Dialog" dan "Modernisme tanpa Pengaman" adalah dua buku kumpulan kolom/esainya, terbit penghujung 2020.
20 Oktober 2024 14:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohammad Isa Gautama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Prabowo Subianto mengucapkan sumpah saat dilantik menjadi presiden periode 2024-2029 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2024). Foto: Youtube/ MPRGOID
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Prabowo Subianto mengucapkan sumpah saat dilantik menjadi presiden periode 2024-2029 di Gedung Nusantara, kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2024). Foto: Youtube/ MPRGOID
ADVERTISEMENT
GAYA komunikasi politik Presiden terpilih Prabowo Subianto selalu menarik perhatian publik sejak ia aktif di kancah politik nasional. Dengan latar belakang militer yang kuat, Prabowo dikenal dengan retorika yang tegas, lugas, dan penuh simbolisme patriotik. Retorika yang menekankan kekuatan, kedaulatan, dan nasionalisme ini menjadi ciri khas yang melekat pada setiap pidatonya, baik selama kampanye saat Pilpres maupun dalam tugas-tugas kenegaraan sebagai Menteri Pertahanan.
ADVERTISEMENT
Setelah dilantik pada 20 Oktober 2024, menarik menyimak bagaimana Prabowo dapat menyesuaikan gaya komunikasinya sebagai Presiden, pemimpin tertinggi dalam ranah eksekutif negara, terutama juga dalam era demokrasi yang semakin dialogis dan terbuka.
Di satu sisi, pendekatan militeristik yang menekankan disiplin dan komando bisa menguatkan citra pemimpin yang tegas dan berani, tetapi di sisi lain, masyarakat modern menuntut keterbukaan, transparansi, dan kemampuan untuk berkomunikasi secara inklusif.

Bias Militerisme

Selama ini, sebagai tokoh politik, Prabowo Subianto identik dengan gaya komunikasi yang tegas dan disiplin, mencerminkan latar belakang militernya yang kuat. Komunikasi politik seorang pemimpin tidak hanya mencerminkan kepribadian, tetapi juga ideologi dan nilai-nilai yang dipegangnya. Dalam hal ini, Prabowo sering dikritik karena mempertahankan bias militerisme dalam setiap pernyataan politiknya. Gaya komunikasi ini tidak lepas dari jejak karir militernya yang panjang dan pengaruh kuat dari ideologi keamanan nasional.
ADVERTISEMENT
Dalam berbagai pidato dan wawancaranya, Prabowo sering kali menggunakan diksi seperti "perang," "musuh negara," "kedaulatan," dan "pertahanan" untuk menggambarkan isu-isu politik dan ekonomi yang ia hadapi. Misalnya, dalam membahas ketergantungan ekonomi pada negara-negara asing, ia menganggap hal tersebut sebagai "ancaman terhadap kedaulatan nasional" yang harus dilawan. Tak jarang Prabowo terjebak pada penyederhanaan masalah ekonomi yang kompleks menjadi narasi ancaman eksternal, dan ini memperkuat gejala bias militerisme dalam komunikasinya.
Penyederhanaan semacam ini berpotensi mengalienasi sebagian publik yang menginginkan dialog yang lebih terbuka dan diskusi yang lebih dalam tentang isu-isu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Di satu sisi, gaya ini memperkuat citranya sebagai pemimpin tegas yang mampu mengambil keputusan cepat. Di sisi lain, pendekatan ini seringkali tidak relevan ketika dihadapkan pada masalah yang lebih kompleks seperti pengangguran, kemiskinan, atau perubahan iklim serta sejumlah masalah sosial-politik-ekonomi lainnya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya lagi, bias militerisme ini tidak hanya terbatas pada kebijakan pertahanan. Prabowo juga kerap mengadopsi pendekatan militeristik dalam menangani isu-isu sosial. Misalnya, dalam menangani protes sosial dan demonstrasi, Prabowo sering kali mengambil langkah-langkah yang dinilai oleh para pengamat sebagai terlalu represif. Pendekatan yang lebih otoriter dalam menangani perbedaan pendapat ini memperkuat persepsi bahwa ia melihat ancaman sosial sebagai masalah keamanan, bukan sebagai permasalahan yang bisa diselesaikan melalui dialog dan negosiasi.

Urgensi Memahami Konteks

Meadow (1990) menyoroti peran penting komunikasi politik dalam demokrasi. Ia menekankan bahwa komunikasi politik memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses politik, baik melalui informasi yang diterima dari media maupun melalui interaksi langsung dengan aktor politik.
Teori ini menekankan bahwa komunikasi politik yang efektif harus mempertimbangkan tidak hanya pesan yang disampaikan, tetapi juga konteks sosial, budaya, dan politik di mana pesan tersebut beredar. Meadow berpandangan, komunikasi politik bersifat dinamis dan kontekstual, di mana aktor-aktor politik dan media saling berinteraksi untuk membentuk wacana politik.
ADVERTISEMENT
Beranjak dari pendapat Meadow di atas, sangat direkomendasikan Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk “keluar” dari sarang gaya komunikasi yang dominan bias militeristiknya. Ia harus lebih terbuka dalam menyesuaikan konteks, budaya dan suasana politik yang sedang berlangsung dalam konstelasi otoritasnya sebagai Presiden. Dalam hal ini, ia harus memahami secara mendalam situasi dan dinamika terkini sesuai dengan parameter non-militeristik.
Ditambah lagi menurut Nimmo (1978), efektifnya komunikasi politik sangat tergantung pada bagaimana seorang komunikator mampu menyesuaikan pesannya dengan konteks, audiens, dan media yang digunakan. Nimmo juga menekankan pentingnya kredibilitas komunikator dalam menentukan sejauh mana pesan politik tersebut diterima atau ditolak oleh publik. Dalam teori Nimmo, komunikator politik harus memahami baik konten pesan yang disampaikan maupun dinamika audiens dan media yang digunakan, karena semua elemen ini saling dan sangat memengaruhi kesuksesan komunikasi yang disampaikan oleh aktor politik.
ADVERTISEMENT

Tantangan bagi Demokrasi

Gaya komunikasi yang terfokus pada militerisme membawa dampak tersendiri dalam konteks demokrasi modern. Ketika seorang pemimpin negara menggunakan bahasa yang didominasi oleh retorika ancaman dan kekuatan, hal ini dapat memperkuat persepsi bahwa kekuatan militer dan otoritas adalah jawaban atas semua masalah negara. Dalam jangka panjang, pendekatan semacam ini bisa mengikis ruang untuk dialog yang lebih inklusif dan demokratis, terutama dalam masyarakat yang semakin plural dan beragam seperti Indonesia.
Pendekatan militeristik dalam komunikasi juga dapat menimbulkan ketegangan dengan masyarakat sipil, yang mungkin merasa bahwa isu-isu sosial, ekonomi, dan lingkungan tidak mendapat perhatian yang cukup. Di era masyarakat digital dan bahkan sudah mulai memasuki society 5.0, ketika tantangan global lebih kompleks dan membutuhkan kerjasama internasional, retorika militerisme cenderung menyederhanakan masalah yang seharusnya ditangani dengan pendekatan yang lebih holistik dan kolaboratif.
ADVERTISEMENT

Pendekatan Inklusif

Gaya komunikasi Presiden Prabowo yang dipengaruhi oleh latar belakang militer menunjukkan perpaduan antara ketegasan dan pendekatan otoritatif. Di satu sisi, gaya ini memperkuat citranya sebagai pemimpin yang kuat, tegas, dan berkomitmen terhadap keamanan nasional. Namun, di sisi lain, bias militerisme dalam komunikasi politiknya sering kali menyederhanakan masalah yang kompleks dan mengabaikan kebutuhan akan dialog yang lebih terbuka dan demokratis.
Dalam jangka panjang, Prabowo perlu menyeimbangkan gaya komunikasinya dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berfokus pada penyelesaian masalah sosial-ekonomi secara holistik. Memperkuat dialog dan kolaborasi, baik dengan masyarakat sipil maupun komunitas internasional, akan menjadi kunci keberhasilan komunikasi politik di era kepemimpinan yang semakin global dan terhubung.[*]