Konten dari Pengguna

Zaken Kabinet dan Politik Transaksional

Mohammad Isa Gautama
Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang. "Politik tanpa Dialog" dan "Modernisme tanpa Pengaman" adalah dua buku kumpulan kolom/esainya, terbit penghujung 2020.
29 September 2024 8:51 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohammad Isa Gautama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
setkab.go.id
zoom-in-whitePerbesar
setkab.go.id
ADVERTISEMENT
ISU pembentukan kabinet zaken di bawah pemerintahan Prabowo Subianto telah memicu perdebatan luas di kalangan masyarakat dan pengamat politik. Dalam sejarah politik Indonesia, kabinet zaken merujuk pada kabinet yang diisi oleh para profesional atau teknokrat, yang tidak berasal dari partai politik, dengan tujuan menjalankan pemerintahan yang lebih efektif dan efisien. Namun, di balik wacana ini, muncul pertanyaan kritis: apakah Prabowo benar-benar akan membentuk kabinet yang berisi profesional non-partisan, atau apakah ini hanya menjadi ajang balas budi politik kepada para pendukungnya?
ADVERTISEMENT
Janji atau Balas Budi?
Prabowo telah beberapa kali menyatakan bahwa dia akan membentuk kabinet yang berorientasi pada kinerja dan hasil nyata. Ditegaskan, kabinet yang diisi oleh teknokrat akan lebih efisien dalam menghadapi tantangan ekonomi dan sosial yang semakin kompleks. Namun, dalam konteks politik Indonesia, janji tentang pembentukan kabinet zaken ini sering kali tidak terealisasi dengan sepenuhnya.
Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa meskipun presiden terpilih menjanjikan kabinet yang berisi para profesional, tekanan dari partai politik dan pendukung kuat sering kali memaksa presiden untuk memasukkan tokoh-tokoh partai ke dalam kabinet.
Prabowo sendiri tidak lepas dari tekanan semacam itu. Penting dicatat, kemenangan Prabowo pada Pilpres 2024 sedikit banyaknya dipengaruhi faktor Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang di dalamnya bermukim partai politik yang memperoleh suara besar. Diperkirakan, dengan dukungan yang luas dari partai politik besar seperti Gerindra, Golkar, dan PAN, akan sangat sulit baginya untuk sepenuhnya menghindari bagi-bagi kekuasaan. Apalagi, dengan ambisi politik jangka panjang partai-partai ini, mereka tentu mengharapkan balas budi berupa posisi strategis di kabinet.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks politik Indonesia, balas budi politik bukanlah fenomena baru. Sejak era reformasi, pembentukan kabinet sering kali menjadi arena bagi partai-partai koalisi untuk mendapatkan "jatah" kekuasaan. Setiap partai politik yang mendukung presiden terpilih (biasanya) tidak segan-segan menuntut kursi menteri sebagai bagian dari bagi-bagi kekuasaan. Situasi ini menimbulkan dilema ada ekspektasi luas dari rakyat agar pemimpin tertinggi eksekutif memilih menteri-menteri yang kompeten, tetapi di sisi lain, presiden dihadapkan tuntutan koalisi partai yang selama ini memberi kesan telah berjasa ikut andil memenangkannya kala Pemilihan Presiden.
Jika Prabowo terpilih sebagai presiden, dia akan menghadapi tekanan yang sama. Meskipun dia berjanji akan membentuk kabinet zaken, kenyataan politik menunjukkan bahwa sulit baginya untuk sepenuhnya menghindari bagi-bagi kursi kabinet kepada para pendukungnya. Beberapa media arus utama beberapa waktu lalu bahkan menyebut janji kabinet zaken Prabowo sebagai "gimik politik," mengingatkan bahwa di balik retorika ini, ada kepentingan besar dari partai politik dan oligarki yang tidak bisa diabaikan. Apalagi, sejarah menunjukkan bahwa janji-janji serupa di masa lalu sering kali tidak terlaksana sepenuhnya.
ADVERTISEMENT
Efektivitas Kabinet Zaken
Dalam tatanan politik yang kompleks seperti Indonesia, efektivitas kabinet zaken juga menjadi tanda tanya besar. Meskipun secara teori kabinet ini akan diisi oleh para ahli yang netral secara politik, dalam praktiknya, teknokrat sering kali menghadapi political barrier yang sama besar dengan menteri dari partai politik. Sebagai contoh, seorang menteri teknokrat mungkin menghadapi perlawanan dari DPR atau dari partai politik pendukung pemerintah ketika mencoba mengimplementasikan kebijakan yang kontroversial. Dengan demikian, teknokrat sering kali terperangkap dalam permainan politik yang sama dengan politisi.
Namun, bukan berarti gagasan kabinet yang berisikan para ahli di bidangnya tidak memiliki potensi untuk berhasil. Dalam situasi tertentu, terutama ketika dihadapkan dengan krisis ekonomi dan krisis salah urus berbagai bidang di pemerintahan sebelumnya, kabinet yang diisi oleh para profesional dapat menawarkan solusi yang lebih pragmatis dan berbasis data. Dalam situasi pandemi COVID-19, misalnya, banyak pihak mengharapkan peran lebih besar dari teknokrat di bidang kesehatan dan ekonomi untuk membantu pemerintah menangani krisis dengan pendekatan berbasis sains dan kebijakan sosiologi kesehatan yang rasional.
ADVERTISEMENT
Tantangan Politik Prabowo
Tekanan politik yang dihadapi Prabowo dalam membentuk kabinet akan menjadi ujian bagi keseriusannya dalam menjalankan janji kabinet zaken. Di berbagai media presiden terpilih ini mengeluarkan pernyataan tidak akan "membagi-bagi kue kekuasaan," tetapi skeptisisme tetap ada. Mengingat besarnya pengaruh partai politik dalam pencalonannya, sulit membayangkan Prabowo dapat sepenuhnya menghindari tuntutan koalisi. Bahkan, para pengamat menyatakan bahwa meskipun Prabowo berusaha membentuk kabinet yang profesional, kompromi politik tidak dapat dihindari.
Selain itu, jika Prabowo benar-benar berhasil membentuk kabinet zaken, pertanyaannya adalah: apakah kabinet tersebut mampu bertahan lama dalam sistem politik yang sangat dipengaruhi oleh partai-partai politik? Mampukah ia menghindari dari jebakan transaksi politik? Di Indonesia, partai-partai politik memiliki kekuatan besar dalam mengontrol arah kebijakan pemerintah. Tanpa dukungan penuh dari partai politik, seorang menteri yang bukan berasal dari partai mungkin akan kesulitan mendapatkan dukungan dalam implementasi kebijakannya.
ADVERTISEMENT
Solusi Ideal?
Meski kabinet zaken terdengar ideal dalam tataran teori, implementasinya di Indonesia mungkin tidak semudah yang dibayangkan. Pemerintahan Indonesia beroperasi dalam sistem politik multipartai yang rumit, di mana partai politik memainkan peran besar dalam pembuatan kebijakan. Dalam situasi ini, teknokrat yang duduk di kabinet sering kali terjebak dalam kompromi politik yang memengaruhi efektivitas mereka dalam menjalankan tugasnya.
Akan lain soal jika Prabowo dapat membentuk kabinet yang seimbang antara teknokrat dan politisi, ada potensi besar bahwa pemerintahan yang dipimpinnya akan lebih efektif dalam menghadapi tantangan besar seperti reformasi huku, dan birokrasi, tata ulang struktur dan kebijakan ekonomi, penanganan perubahan iklim, dan transformasi digital. Kuncinya adalah bagaimana Prabowo bisa menyeimbangkan tuntutan koalisi politiknya dengan kebutuhan untuk menjalankan pemerintahan yang efisien dan transparan.
ADVERTISEMENT
Intinya, pertanyaan utama yang harus dijawab oleh Prabowo jika dia terpilih sebagai presiden adalah: apakah dia akan membentuk kabinet zaken yang profesional, atau justru memilih jalan politik pragmatis dengan membagi-bagi kekuasaan kepada pendukungnya? Sejarah politik Indonesia, terutama pemerintahan SBY dan Jokowi, menunjukkan janji-janji kabinet profesional sering kali berakhir dengan kompromi politik. Meskipun Prabowo menjanjikan kabinet zaken yang berorientasi pada hasil, realitas politik sangat mungkin memaksanya untuk membagi-bagi kursi kabinet kepada partai-partai koalisi.
Dus, dalam demokrasi yang sehat, keberadaan teknokrat dan profesional dalam pemerintahan tentu diharapkan dapat meningkatkan kualitas pengambilan kebijakan. Namun, di Indonesia, sistem politik multipartai yang kuat dan tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan sering kali membuat teknokrat terjebak dalam kompromi politik yang mengurangi efektivitas mereka. Istilah lainnya, betapa pun teknokrat yang menjabat sebagai menteri berusaha keras mengajukan program yang pro-rakyat, namun ia akan dihadang oleh tekanan yang bersumber dari transaksi politik antara presiden terpilih dengan parpol yang mendukungnya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana pun, tantangan terbesar Prabowo adalah bagaimana dia dapat menyeimbangkan potensi lebih dominannya transaksi politik dengan janji-janji kabinet profesionalnya, sehingga pemerintahan yang dipimpinnya dapat benar-benar melayani kepentingan rakyat. Jika ini tidak dapat dikelola dengan baik oleh Prabowo, laju roda pemerintahan terancam akan kembali jatuh ke tangan para oligarki yang bermain di balik layar partai politik, bahkan dapat "melestarikan" nepotisme dan dinasti politik. [*]