Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Baudrillard dan Sebuah Kritik untuk Masyarakat Konsumsi
20 Agustus 2023 17:31 WIB
·
waktu baca 5 menitDiperbarui 7 Maret 2024 17:31 WIB
Tulisan dari Mohammad Tetra Al Ubaidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkah kamu membeli sebuah produk yang viral? Atau berkunjung pada suatu tempat yang sedang dibicarakan banyak orang? Atau sekadar berburu diskon pada tanggal-tanggal yang identik dengan potongan harga? Mungkin pernah.
ADVERTISEMENT
Nah, jika itu jawabannya, maka tulisan ini bisa menemanimu ketika bimbang dalam memilih suatu produk yang perlu dibeli dan yang tidak. Mengapa demikian?
Karena sebagian besar keinginan kita terhadap sesuatu akan timbul ketika kita melihat orang lain memilikinya. Mungkin kita tidak menyadari, bahwa begitu banyak aktivitas yang kita lakukan selalu dipengaruhi oleh tren yang terbentuk dalam masyarakat.
Acap kali kita terkalahkan untuk membedakan mana kebutuhan primer, sekunder, atau tersier. Barang yang sebetulnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersier, sering kali diyakini menjadi yang utama untuk dimiliki atau yang lainnya, seperti mengunjungi tempat-tempat wisata yang kita amini sebagai kewajiban untuk mengisi waktu luang.
Sialnya, ketika kita justru tidak berhasil untuk segera mendapatkannya, maka perasaan kecewa dan gagal akan menghantui hari-hari kita yang sebetulnya indah.
ADVERTISEMENT
Jean Baudrillard, seorang filsuf, kritikus budaya, sekaligus sosiolog Prancis, berpendapat bahwa realitas tersebut merupakan sebuah alarm akan terbentuknya masyarakat konsumsi—yang mana dominasi dari logika produksi telah terkalahkan dengan hadirnya logika konsumsi yang dianut oleh masyarakat.
Dewasa ini, masyarakat memandang aktivitas mengkonsumsi sebagai sebuah kebutuhan dalam menunjukkan eksistensi diri di tengah masifnya produk konsumer yang melanglang buana tanpa dibatasi jarak dan waktu. Jika memodifikasi diktum agung Rene Descartes, maka yang terjadi saat ini adalah “aku mengkonsumsi, maka aku ada.”
Baudrillard melanjutkan penjelasannya mengenai aktivitas masyarakat dalam mengkonsumsi yang kian berubah. Dia melihat bahwa masyarakat kontemporer dipengaruhi untuk terus mengkonsumsi oleh nilai-nilai baru.
Baudrillard menyebutnya sebagai nilai tanda (sign value) dan nilai simbol (symbolic value). Kedua nilai tersebut telah menggantikan logika masyarakat dalam mengkonsumsi.
ADVERTISEMENT
Jika pada era sebelumnya—masyarakat ketika ingin membeli suatu barang atau mengunjungi sebuah tempat—maka mereka akan mempertimbangkan manfaat serta biaya yang harus dikeluarkan atau Marx menyebutnya sebagai nilai guna (use value) dan nilai tukar (exchange value) (Baudrillard, 1972).
Sedangkan saat ini, masyarakat saling berlomba-lomba untuk menikmati segala hal yang dinilai dapat menyenangkan hatinya, melalui konsumsi tanda, simbol, citra, penampilan. dan lain-lain.
Untuk melengkapi kajiannya, Baudrillard juga mengadopsi pemikiran semiologi dari Ferdinand De Saussure, baginya masyarakat kontemporer telah kehilangan makna dalam mengkonsumsi. Mereka membeli dan menikmati berbagai hal yang semu atau palsu.
Hal ini merupakan dampak dari terbentuknya hiperrealitas, sebuah tahap di mana realitas telah lebur bersama realitas palsu, sehingga tidak dapat ditemukan sesuatu yang asli dan Baudrillard menyebutnya sebagai orde fraktal (Hidayat, 2021).
ADVERTISEMENT
Jika Saussure berpendapat bahwa di dalam tanda terdiri dari petanda (signified) dan penanda (signifier), maka bagi Baudrillard semua objek konsumsi serta aktivitas masyarakat konsumer, telah menghilangkan petanda dan lebih mementingkan penampilan dan citra semu (signifier) (Piliang, 2011).
Apakah benar demikian? Mari kita telaah pada diri masing-masing. Ketika kita membeli sebuah pakaian, masihkah mungkin kita hanya mempertimbangkan fungsi ketimbang sebuah brand, desain, juga bahan dan penampilan yang mengandung citra dan tanda, hingga kesan yang dapat mendeskripsikan akan kelas sosial, status, dan lain-lain?
Hal ini juga terjadi pada semua komoditas yang memungkinkan untuk kita miliki dan kunjungi, seperti terus mengoleksi berbagai kendaraan baru atau klasik, membeli gawai dan alat elektronik yang baru dirilis, peralatan rumah tangga yang eksklusif, hingga makanan atau destinasi wisata viral, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tidak jarang dari kita membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan, dengan bermacam-macam dalih untuk mencari alasan yang membenarkan aktivitas berfoya-foya. Baik itu karena mendapatkan diskon besar, sebuah kebutuhan, harganya yang murah, dengan dalih worth it ataupun karena fear of missing out (FOMO).
Sebagai contoh kecil untuk membandingkannya, seperti yang kita tahu, bahwa banyak sekali aplikasi berbelanja yang menyediakan fitur buy now and pay later atau berbagai layanan pinjaman online (pinjol) untuk memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat konsumsi.
Fitur dan layanan ini menjadi solusi sementara yang terkadang menjerat bagi para penggunanya. Ketika masyarakat dihadapkan dengan berbagai kebutuhan semu melalui media sosial dan toko online, maka mereka akan menjumpai sebuah konsep yang disebut Baudrillard sebagai bujuk rayu (seduction) dan sampah visual.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya mereka terkalahkan dengan virus pemangsa (predator) yang mendorongnya untuk terus melahap berbagai komoditas di hadapannya.
Ketika masyarakat memiliki hasrat mengkonsumsi melebihi kemampuannya, disertai dengan ketidaksadaran dalam membedakan mana kebutuhan primer, sekunder, atau tersier, serta lebih mengedepankan nilai tanda juga simbol, hingga berburu suatu penanda dalam objek konsumsi.
Maka kehadiran fitur pay later beserta layanan pinjol akan menawarkan jalan keluar instan dalam memenuhi hasrat mereka untuk terus mengkonsumsi produk-produk yang diimpikannya. Tidak sedikit dari kita yang menjumpai tagihan yang membengkak dari penggunaan fitur pay later dan teror penagihan dari layanan pinjol.
Realitas ini yang pada akhirnya menyadarkan bahwa aktivitas mengkonsumsi yang kita lakukan telah melampaui batas kemampuan yang dimiliki, karena tergiur mengejar tanda dan simbol. Hal ini yang disebut sebagai hyper consumption. Lalu, apakah kita akan selalu mengikuti hasrat untuk terus mengkonsumsi?
Menjadi penting, apabila masyarakat memiliki kesadaran penuh untuk terus merefleksikan kembali akan tujuan hidup serta kebutuhan-kebutuhan yang melengkapinya.
ADVERTISEMENT
Termasuk dalam memahami kebutuhan utama dan yang semu, sesekali kita perlu memberi jarak terhadap realitas semu (hyperreality) dengan berpuasa dari gawai dan segala tetek-bengeknya, untuk melawan virus pemangsa yang merongrong kesadaran kita.
Semoga kita dapat membatasi nafsu berfoya-foya terhadap produk-produk berbalut citra serta tanda juga mengurangi proses reproduksi tontonan sebagaimana yang dijelaskan Guy Debord.
Live Update