Sebuah Alienasi Terhadap Tubuh Puan dalam Novel 'Perempuan di Titik Nol'

Mohammad Tetra Al Ubaidah
Alumnus Sarjana Sosiologi UMM dan Founder @laki2progresif
Konten dari Pengguna
25 April 2024 12:32 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohammad Tetra Al Ubaidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Unsplash.com
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mengutip kisah dari novel berjudul Women at Point Zero (1989) karya Nawal El Saadawi, tertuang alur cerita pilu dari seorang anak perempuan bernama Firdaus, usianya masih belia dan ia dipaksa untuk tunduk terhadap kekerasan yang bernaung dalam pernikahan yang tak pernah diharapkan kehadirannya.
Nasib buruk bertubi-tubi menimpanya, kemiskinan yang mencekik masa depannya tak kunjung berakhir, hanya karena ia dilahirkan sebagai perempuan, ia tidak dapat mengejar impiannya berpendidikan tinggi, ia tidak seberuntung laki-laki yang dapat berkarier mapan dan terhormat.
Baginya, laki-laki selalu berkuasa dan memiliki privilege untuk mendapatkan apa yang diinginkan dan meninggalkan apa yang tak dikehendaki, jauh berbeda dengan realitas yang dihadapi oleh laki-laki, perempuan selalu disuguhkan atas pilihan terbatas yang telah ditentukan oleh laki-laki. Mereka menjalani aktivitas atas dasar boleh, bukan karena keinginan pribadinya.
ADVERTISEMENT
Pekerja Seks Komersial (PSK) menjadi satu-satunya ruang yang bisa dipilih untuk mendapat kebebasan penuh atas tubuhnya, walau itu bukanlah pilihan yang baik. Tetapi Firdaus dapat dengan mudah untuk memiliki dan melakukan sesuatu yang diinginkan tanpa persetujuan dari laki-laki.
Ia terpaksa mengantongi pilihan yang dianggapnya sebagai lesser evil ketimbang menjadi budak dalam pernikahan yang toxic atau hanya sebagai buruh industri yang diupah rendah. Firdaus menilai bahwa menjadi PSK lebih berkuasa atas kepemilikan tubuhnya, tidak seperti individu fatalis yang menerima takdir di bawah kontrol patriarki.
Sumber: Unsplash.com
Ketika Firdaus menyandang status sebagai seorang istri, ia merasakan keterasingan terhadap tubuhnya, ia dituntut untuk menyelesaikan tugas-tugas domestik yang menumpuk, memasak, membersihkan rumah, dan diwajibkan taat untuk memuaskan hasrat suami, ketika Firdaus melakukan kesalahan tidak sedikit tubuhnya menjadi lebam dan berdarah.
ADVERTISEMENT
Kekerasan dalam rumah tangganya dinormalisasi dengan dasar semua perempuan merasakan hal yang serupa dan laki-laki berilmu agama harus melakukan kekerasan untuk menundukkan istrinya menjadi taat.
Begitu juga ketika Firdaus menjadi seorang buruh industri, beban kerja yang tinggi menyelimuti hari-harinya dengan upah yang hanya cukup untuk menyambung hidup seorang perempuan, tanpa dibekali pemenuhan dan perlindungan hak-hak pekerja perempuan. Industri telah membeli tubuh perempuan dengan upah membumi untuk keuntungan melangit.
Firdaus selalu mempertanyakan status quo, mengapa perempuan selalu ditindas, diatur, ditipu daya, perempuan selalu kehilangan otoritas tubuhnya, baik di ruang domestik maupun di ruang publik. Sedangkan laki-laki dapat dengan mudah berkuasa, mendapatkan tubuh perempuan, menghilangkan rasa aman bagi perempuan dengan modal dalil-dalil agama dan embel-embel kecerdasan.
ADVERTISEMENT
Melalui kegelisahan akan realitas yang dihadapi, menerbitkan keberaniannya untuk mendobrak kebusukan budaya patriarki yang menghimpit pilihan dan masa depan perempuan. Jawaban-jawaban yang diharapkan Firdaus pada akhirnya bermuara dengan hukuman mati di Penjara Qanatir, atas kasus pembunuhan yang dilakukannya terhadap germo sebagai bentuk penolakan akan penindasan dan pembodohan yang dilakukan oleh laki-laki.
Firdaus telah kehilangan kesempatan untuk bekerja layak, hidup aman, serta terpenuhinya hak keadilan, hanya karena ia dilahirkan sebagai perempuan. Tidak hanya itu, Firdaus pun mengalami penolakan dari masyarakat seperti perempuan yang dilacurkan lainnya, sehingga ia menutup pengalamannya ketika bekerja di industri dan juga pada keluarganya. Hal itu juga yang menjadi alasan hingga kini mengapa perempuan yang dilacurkan kerap kali kesulitan untuk terbebas dari pekerjaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Berbagai pengekangan terhadap aktivitas perempuan di banyak ruang, menjadikan perempuan tidak leluasa untuk menentukan jalan hidupnya, ditambah dengan keterbatasan pilihan yang tersedia bagi perempuan. Pilihan bervariatif di ruang publik telah dipenuhi laki-laki yang dianggap serba bisa, tegas, suci, dan pantas dalam segala hal.
Selain itu, dalam masyarakat patriarki menjamur berbagai norma dan nilai bersifat misoginis yang membatasi aktivitas perempuan untuk mengisi dan bertumbuh dalam posisi strategis di ruang publik, hingga keterlibatannya dalam kepemimpinan dan pengambilan keputusan.
Masyarakat perlu menyadari akan pentingnya inklusi bagi perempuan untuk bertumbuh, berdaya, dan terlibat di banyak ruang. Pemberdayaan perempuan dan pendidikan seksual memberikan pemahaman terhadap masyarakat akan pentingnya peran inklusi dalam meraih kesetaraan gender.
ADVERTISEMENT
Keberadaan perempuan tidak lagi dapat dipandang sebagai the other atau liyan, karena perempuan sebagai subjek dalam masyarakat memiliki peran yang setara untuk terlibat, berdaya, bermimpi serta mewujudkannya, memimpin juga dihargai dalam ruang-ruang publik.
Keahlian dan kompetensi yang dimiliki perempuan tidak hanya berkaitan dengan aktivitas domestik saja, akan tetapi, perempuan juga dapat berdaya dalam mengisi posisi strategis dalam kepemimpinan dan pengambilan kebijakan.
Keterbukaan ruang publik yang aman dan ramah terhadap perempuan merupakan bentuk konkret atas pemenuhan hak perempuan untuk bertumbuh dan mengekspresikan diri. Oleh karena itu, komitmen bersama dalam masyarakat untuk saling mendukung dan berkolaborasi antar gender menjadi penting dalam membentuk masyarakat yang progresif.