Konten dari Pengguna

Mengukir Kisah di Tengah Arus Digitalisasi yang Terus Mengubah Wajah Jurnalisme

Moza Maharsha Chandra
Mahasiswa Universitas Pancasila
13 November 2024 20:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Moza Maharsha Chandra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perubahan yang terjadi di era yang serba cepat memiliki tantangan yang rumit namun menjanjikan ( sumber foto : freepik )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perubahan yang terjadi di era yang serba cepat memiliki tantangan yang rumit namun menjanjikan ( sumber foto : freepik )
ADVERTISEMENT
Di era yang serba cepat ini, digitalisasi telah menjadi penggerak utama yang mengubah berbagai aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali dalam dunia jurnalisme. Transformasi digital tidak hanya menggeser cara informasi disampaikan dan diterima, tetapi juga secara signifikan memengaruhi cara berpikir dan bertindak para jurnalis, serta bagaimana audiens terlibat dengan berita. Perubahan ini melahirkan tantangan yang rumit namun menjanjikan, memberikan kesempatan yang belum pernah ada sebelumnya bagi jurnalis untuk menjalin hubungan yang lebih mendalam dengan pembaca. Di tengah perubahan ini, tugas jurnalis adalah untuk tetap relevan, akurat, dan penuh empati. Digitalisasi telah menghadirkan teknologi yang memungkinkan akses ke berita hanya dengan satu klik. Sebelumnya, akses terhadap berita memerlukan biaya dan usaha yang lebih besar seperti membeli koran atau menonton berita di televisi.
ADVERTISEMENT
Saat ini, berita tersedia secara instan melalui perangkat seluler dan komputer. Hal ini memberi keuntungan besar bagi publik, terutama generasi muda yang tumbuh dalam dunia digital. Namun, di sisi lain, ada risiko yang tak dapat dihindari. Kemudahan akses juga memicu lahirnya fenomena berita palsu atau hoaks yang tersebar luas tanpa verifikasi yang memadai. Kecepatan informasi yang dihasilkan oleh internet dan media sosial membuat masyarakat rentan terhadap manipulasi informasi. Hoaks sering kali dibuat dengan tujuan tertentu, baik untuk menyebarkan kepanikan, membentuk opini yang salah, maupun mendapatkan keuntungan pribadi atau politik. Tanggung jawab terbesar jurnalis adalah menjadi benteng pertahanan melawan arus informasi yang tak terkendali ini dengan menyediakan berita yang akurat, kredibel, dan dapat dipercaya.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia jurnalisme modern, digitalisasi menghadirkan perubahan besar dalam format dan gaya penyampaian berita. Dulu, berita yang disajikan cenderung berupa teks panjang yang terfokus pada deskripsi rinci peristiwa. Kini, pembaca modern menginginkan format yang lebih dinamis dan interaktif, seperti penggunaan gambar, video, infografis, dan elemen multimedia lainnya. Ini bukan hanya tentang memanjakan pembaca, tetapi juga tentang mengakomodasi perubahan pola perhatian dan cara mereka menyerap informasi. Riset menunjukkan bahwa generasi muda lebih tertarik pada informasi yang cepat, ringkas, dan visual.
Dengan demikian, seorang jurnalis dituntut untuk mampu mengemas berita menjadi sesuatu yang tetap informatif namun menarik secara visual. Hal ini memunculkan istilah baru dalam jurnalisme, yaitu "visual storytelling" atau bercerita dengan bantuan visual, yang semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi multimedia. Di sisi lain, ada tantangan besar yang datang dari segi etika. Dengan hadirnya teknologi yang mempermudah pengeditan dan manipulasi gambar serta video, kebenaran suatu berita bisa saja dipelintir atau bahkan dimanipulasi untuk tujuan tertentu. Di sini, tanggung jawab etika jurnalis diuji dengan sangat berat. Jurnalis tidak boleh terpancing untuk memberikan visual yang sensasional semata, melainkan tetap harus memperhatikan akurasi dan kredibilitas dari setiap informasi yang disampaikan kepada publik.
Ilustrasi harus memperhatikan akurarasi dan kredibilitas dari setiap informasi yang di sampaikan kepada publik ( sumber foto : freepik )
Di era digital, muncul pula tekanan dari masyarakat untuk lebih transparan dan terbuka dalam penyajian informasi. Kini, masyarakat memiliki akses lebih luas untuk mempertanyakan dan memverifikasi kebenaran dari suatu berita melalui berbagai sumber informasi lain. Jika dulu media memiliki kontrol penuh terhadap informasi, kini masyarakat bisa menyuarakan kritik atau memberikan pandangan alternatif dengan mudah melalui media sosial atau blog. Hal ini menuntut jurnalis untuk tidak hanya sekadar menyampaikan berita, tetapi juga menjelaskan latar belakang, konteks, dan tujuan dari setiap informasi yang disampaikan. Pendekatan yang lebih interaktif ini mengubah jurnalis menjadi semacam mitra dalam dialog publik, di mana mereka harus siap mendengar masukan dan tanggapan dari pembaca. Jurnalis dituntut untuk lebih peka terhadap isu-isu yang menjadi perhatian publik dan memahami sudut pandang yang berbeda. Ini merupakan tantangan yang tidak mudah, tetapi pada saat yang sama, ini juga merupakan kesempatan untuk membuat jurnalisme menjadi lebih inklusif dan relevan.
ADVERTISEMENT
Namun, di balik semua itu, ada satu elemen penting yang tetap harus dijaga: nilai-nilai dasar dari jurnalisme itu sendiri. Di tengah segala perubahan dan inovasi teknologi, jurnalis tidak boleh melupakan prinsip-prinsip mendasar yang menjadi pilar utama profesi mereka, yaitu akurasi, objektivitas, independensi, dan tanggung jawab kepada publik. Digitalisasi memang memberikan peluang besar untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan menyampaikan informasi dengan cara yang lebih kreatif, tetapi jika hal itu dilakukan dengan mengorbankan nilai-nilai jurnalisme, maka yang terjadi adalah penyimpangan dari tujuan utama jurnalisme itu sendiri. Oleh karena itu, jurnalis harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan jati diri mereka sebagai penjaga kebenaran. Digitalisasi bukanlah ancaman bagi jurnalisme, melainkan peluang untuk terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT