Dua Rekomendasi Alternatif untuk Mengatasi Masalah Pangan

Armansyah
Peneliti dan penulis di Pusat Riset Kependudukan BRIN
Konten dari Pengguna
10 Maret 2024 9:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Armansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi penulis
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, dan hak asasi setiap manusia yang dijamin dalam UUD 1945, pasal 27. Ketika kebutuhan pangan tidak terpenuhi, maka otomatis akan terjadi kekacauan, baik di tingkat individu sampai level negara.
ADVERTISEMENT
Dalam Teori Malthus disebutkan bahwa ‘pertumbuhan pangan seperti deret hitung, sedangkan pertumbuhan penduduk seperti deret ukur’. Maknanya pertumbuhan penduduk lebih cepat dari pertumbuhan pangan.
Artinya jika pertumbuhan penduduk tidak terkendali dapat menyebabkan kerawanan pangan, yang berakibat pada krisis pangan dan berdampak pada stabilitas ekonomi, sosial, politik bahkan mengancam stabilitas nasional.
Jumlah penduduk Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, dan saat ini berjumlah lebih dari 270 juta jiwa. Dikutip dari laporan publikasi BPS (2023) tentang Indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia (Vol. 7), rasio laju perluasan lahan terbangun terhadap laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2020 bernilai di atas 1.
Maknanya, kecepatan perluasan lahan terbangun mampu mencukupi laju pertumbuhan penduduk. Namun kondisi ini akan memicu tingkat urbanisasi yang tinggi karena adanya potensi yang besar untuk perpindahan penduduk dari perdesaan ke perkotaan.
ADVERTISEMENT
Dengan meningkatnya jumlah penduduk, urbanisasi tinggi, relokasi lahan produktif pertanian, perubahan iklim dan rendahnya minat pemuda untuk bertani maka strategi meningkatkan ketahanan pangan adalah hal yang mendesak saat ini.
Kita memang tidak bisa memaksa anak seorang petani untuk menjadi petani, karena mereka memiliki hak untuk memilih pekerjaan yang diinginkan dan ini dijamin oleh UUD 1945 terkait hak mendapatkan pekerjaan layak.
Kita tidak juga tidak memiliki hak untuk melarang seorang petani tua dan pemilik lahan pertanian untuk menjual lahan pertaniannya, karena tidak ada anaknya yang bersedia meneruskan usaha bertani.
Lalu apa yang harus dilakukan? Ada dua rekomendasi yang coba saya ajukan untuk menjawabnya.
Regulasi
Beberapa hari belakangan ini kita sangat sering mendengar berita tentang melonjaknya harga beberapa kebutuhan pokok. Jika dicermati, beberapa jenis kebutuhan pokok tersebut sebenarnya sangat mudah untuk kita hasilkan sendiri, misalnya sayuran, ayam dan telur ayam, bumbu dapur, dan ikan.
ADVERTISEMENT
Beberapa jenis kebutuhan pokok tersebut dapat kita usahakan pada lahan terbatas yang kita miliki, seperti pekarangan. Beberapa daerah sudah menerapkan program ini untuk masyarakatnya, seperti pemberian bibit tanaman, ayam, bibit ikan, dan sejenisnya untuk unit rumah tangga.
Berdasarkan hasil penelitian saya dan teman-teman tentang urban farming di Palembang, Bandung, dan Denpasar dalam skema Riset Inovasi untuk Indonesia Maju (RIIM) 2 tahun 2022.
Kami menemukan bahwa program-program sejenis berjalan cukup masif, namun ada yang berkelanjutan dan ada yang tidak.
Pada kasus yang tidak berkelanjutan, banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya kesibukkan, terutama pada penduduk perkotaan, sehingga tidak memiliki waktu luang untuk merawat tanamannya. Menperoleh pekerjaan yang lebih layak sehingga urban farmingnya terbengkalai, tidak memiliki fashion bertani, tidak profit, dan kotor.
ADVERTISEMENT
Untuk yang sudah berkelanjutan, mereka mendapatkan manfaat yang banyak dari keberadaan urban farming, seperti mengurangi jumlah pengeluaran, penghasilan tambahan, pemenuhan pangan sehat dan segar.
Salah satu pelaku urban farming di Palembang yang saya kunjungi mengungkapkan bahwa hampir dua tahun mereka tidak membeli cabai, karena tersedia di pekarangan. Saat harga cabai melambung, mereka dapat menikmati cabai gratis hasil tanaman sendiri.
Selain di pekarangan, kegiatan urban farming juga banyak kami temui di lahan pemukiman tengah kota. Namun, melihat pengalaman di lapangan, intervensi pemerintah terutama dalam aspek regulasi sangat diperlukan, khususnya dalam pengoptimalan lahan terbengkalai di pemukiman tengah kota.
Belajar dari Kota Denpasar, beberapa ketua banjar memiliki peraturan dalam pengelolaan lahan terbengkalai di tengah permukiman penduduk. Ketua Banjar akan menginisiasi warga dan pemilik lahan untuk membuat kesepakatan dalam mengelola lahan menjadi ruang terbuka hijau atau urban farming.
ADVERTISEMENT
Akhirnya lahan-lahan kosong dapat disulap menjadi lahan yang bermanfaat dengan keberadaan aktivitas urban farming yang dikelola warga setempat.
Saya pikir praktik baik dari Denpasar perlu ditiru oleh daerah-daerah lain, karena saya melihat masih banyak lahan-lahan kosong di tengah pemukiman yang terabaikan, sehingga hanya menjadi semak belukar dan sarang hewan-hewan berbahaya, seperti ular dan sejenisnya.
Tentu saja regulasinya harus didukung dengan payung hukum yang kuat dan jelas, sehingga motivasi warga yang mengelola menjadi lebih kuat dan mencegah terjadinya konfllik di masa yang akan datang.
Pendampingan
Setelah ada regulasi yang kuat dan jelas tentang pengoptimalan lahan melalui urban farming baik di pekarangan atau pun lahan pemukiman tengah kota. Maka langkah selanjutnya adalah memberikan pendampingan yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Praktik baik dari Bandung, para pelaku urban farming diberikan pelatihan-pelatihan yang berkelanjutan dan pendampingan dari PPL (petugas penyuluh lapangan).
Ini penting untuk mengantisipasi faktor-faktor yang membuat urban farming tidak berkelanjutan. Dengan adanya pendampingan, dan wadah dalam bentuk komunitas, maka para pelaku urban farming dapat saling memberikan semangat dan bertukar informasi terkait ilmu dalam pengelolaan urban farming.
Proses pendampingan yang berkelanjutan juga menjadi cara untuk menjadikan kegiatan urban farming sebagai budaya di tengah masyarakat perkotaan.
Jika setiap rumah sudah terbiasa menanam minimal lima pohon cabai, beberapa sayuran, memelihara ikan dan ayam petelur, maka fluktuasi harga bahan pokok bukan lagi menjadi permasalahan besar.
Bahkan jika budaya urban farming telah mengakar, pemerintah dapat melakukan stablitas harga pangan yang sesuai dengan kondisi masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Indonesia beruntung karena masyarakatnya sebenarnya telah terbiasa bertanam dipekarangan sejak zaman kolonial, jadi saat ini kita tinggal memantiknya kembali biar hidup dan mengakar kuat, khususnya pada penduduk perkotaan.