Melek Bertani, Selamatkan Pangan

Armansyah
Peneliti dan penulis di Pusat Riset Kependudukan BRIN
Konten dari Pengguna
2 Desember 2023 15:17 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Armansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Dokumentasi Armansyah, 2023
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumentasi Armansyah, 2023
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tulisan ini masih bertalian dengan artikel saya yang berjudul “Refleksi Pendidikan”. Namun kali ini tentang pertanian. Salah satu teman saya menjapri saya, bilang kalau poin yang saya sampaikan pada artikel tentang pendidikan tersebut, mirip-mirip dengan bidang pertanian. Dia menyampaikan kutipan “Siapa saja bisa menjadi guru, dan siapa pun bisa menjadi petani, tetapi sedikit sekali yang professional”.
ADVERTISEMENT
Kata-katanya menggelitik pikiran saya untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan. Kebetulan saat ini saya sedang meneliti tentang pertanian perkotaan yang dikaji dari perspektif ilmu kependudukan, khususnya terkait urbanisasi.
Sebelas dua belas dengan dunia pendidikan, masalah yang paling sering diangkat pada bidang pertanian adalah masalah kesejahteraan. Sudah 78 tahun Merdeka, masalahnya masih saja sama. Padahal orang pintar di negeri ini sangatlah tidak kurang.
Akar masalahnya terletak pada keseriusan negara dalam mengoptimalkan SDM dan SDA bidang pertanian. Padahal bidang pertanian merupakan aset utama dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok penduduk.
Dikutip dari artikel yang ditulis Sastro (2013) tentang “Pertanian perkotaan: peluang, tantangan dan strategi pengembangan”, dan artikel yang ditulis Akaeze & Nandwani (2020) tentang “Urban agriculture in Asia to meet the food production challenges of urbanization: A review”, 40-60 persen pendapatan penduduk, khususnya di perkotaan diperuntukkan untuk kebutuhan bahan pangan.
ADVERTISEMENT
Bayangkan jika para petani mogok kerja, tidak mau lagi mengolah sawahnya. Dalam sekejap krisis pangan itu nyata di hadapan mata.
Teori Malthus yang dulunya ditentang sepertinya mulai nampak, meskipun kemajuan di bidang teknologi pangan terus bermunculan, namun produksi jumlah pangan tetap tidak bisa mengimbangi cepatnya laju pertumbuhan penduduk.
Petani tidak mogok saja bahan pangan sudah bermasalah saat ini. Mulai dari kelangkaan sampai ke harga tinggi. Lucunya tu di sini, negara agraris kok kekurangan pangan dan mengeluh harga mahal. Idealnya kan negara agraris itu penduduknya menikmati bahan pangan berlimpah dan harga murah.
Berdasarkan Klasifikasi Lapangan Pekerjaan Utama pada Agustus 2022, sebagian besar penduduk di Indonesia bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, dengan persentase 28,61 persen dari total penduduk yang bekerja, sisanya tersebar pada jenis lapangan pekerjaan utama yang lain, seperti perdagangan, industri, penyediaan akomodasi, konstruksi, jasa pendidikan dan lain sebagainya (BPS, 2022).
ADVERTISEMENT
Jadi memang benar kata teman saya tadi SDM banyak, tapi sedikit sekali yang professional. Pertanyaannya bagaimana mau professional, jika kesejahteraan tidak diperhatikan. Saya selalu mengkritisi kebijakan tentang pertanian ini dengan istilah “penari yang dipaksa bertarung bela diri”, ya bonyok.
Artinya sebagai negara agraris hendaknya yang menjadi prioritas adalah bidang pertaniannya. Berilah perlakuan yang baik pada ‘pahlawan pangan’ kita, mulai dari kesejahteraan, peralatan, teknologi, regulasi, intervensi subsidi dan lain sebagainya, bukan malah dipaksa bertransformasi pada bidang yang lain.
Kita harus belajar dari Pandemi Covid-19, inflasi, krisis 98, bahkan pada masa Perang Dunia I dan II, pemerintah Amerika dan Jerman menjadikan sektor pertanian sebagai andalan untuk mendukung kebutuhan pangan di masa itu, bukan hanya di perdesaan namun menyebar ke perkotaan.
ADVERTISEMENT
Maknanya, peran vital sektor pertanian sangat dibutuhkan pada kondisi normal, apalagi krisis. Saya membayangkan jika selama 78 tahun ini dilakukan pastinya kita sudah kaya raya, menjadi sumber pangan dunia, bukan hanya untuk Indonesia. Tapi, ya sudahlah kita harus berpikir ke depan. Yang lalu biar berlalu. Mari kita perbaiki arah kebijakannya ke depan.

Lagi-lagi Kesejahteraan

Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan alternatif solusi dan rekomendasi bagi pembuat kebijakan. Pertama, kesejahteraan. Jika guru pada urutan pertama, maka petani bolehlah berada di nomor dua.
Jika para petani sudah sejahtera, maka otomatis kebutuhan pangan kita tidak akan kekurangan, sebab semua orang berlomba-lomba untuk menjadi petani.
Saya membayangkan di lahan-lahan petani sudah ada alat-alat yang canggih mulai dari pengolahan lahan sampai pascapanen. Jalan-jalan ke area pertanian sudah permanen tidak lagi berlumpur dan berdebu. Apakah ini bisa, bisa.
ADVERTISEMENT
Bukankah pemerintah sudah mengucurkan dana desa sampai ke wilayah-wilayah terpencil. Harapannya salah satu peruntukkannya bisa dimanfaatkan pada sektor ini.
Wah kalau ini dilakukan, bidang pertanian akan sangat berkembang menjadi berbagai agrowisata dan tempat healing turis lokal serta mancanegara.

Budaya ‘Bertani’

Kedua, membudayakan kegiatan bertani. Bertani yang saya maksud di sini maknanya relatif luas, bukan hanya menanam padi di sawah, melainkan termasuk di dalamnya kegiatan berkebun, berternak dan perikanan, atau dalam penelitian saya disebut dengan istilah urban farming terintegrasi.
Berdasarkan proyeksi United Nation (2018) tingkat urbanisasi di Indonesia pada 2022 lebih dari 50 persen dan diprediksi pada 2030 meningkat hingga lebih dari 60 persen.
Artinya secara praktis jumlah penduduk perkotaan semakin meningkat, dan otomatis kebutuhan akan tempat tinggal serta sarana dan prasarana fasilitas perkotaan juga meningkat sehingga berujung pada relokasi lahan produktif yang mungkin selama ini digunakan untuk kegiatan pertanian.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, tugas bertani bukan lagi hanya menjadi tanggung jawab masyarakat perdesaan namun harus sudah merambah ke penduduk perkotaan. Pengurangan luasan lahan pertanian yang semakin menyusut menjadi ancaman di masa depan.
Seperti dilansir dari artikel yang ditulis Putri dengan judul “Petani Berkurang dan Lahan Menyempit, 20 Tahun Lagi Makan Apa?”, dipublikaskan pada www.cnbcindonesia.com, 16 Mei 2023, luas lahan baku sawah nasional berkurang sebesar 0,61 persen selama periode 2009-2019 dan mayoritas petani hanya memiliki luas lahan pertanian kurang dari 0,5 ha (15,89 persen).
Bayangkan jika kondisi ini terus berlanjut, maka krisis pangan yang disebabkan karena lonjakan jumlah penduduk seperti yang terurai dalam teori Malthus sudah di depan mata.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, bukan mengada-ada jika saya sangat menyarankan setiap rumah tangga memanfaatkan lahan miliknya baik itu perkarangan, dinding, atap, dan sejenisnya yang bisa menjadi media untuk meletakkan tanaman.
Jika setiap rumah tangga memiliki lima pohon cabai, kolam ikan sederhana, ternak ayam petelur sederhana. Dapat dibayangkan manfaatnya, biarkan cabe mahal di pasar. Toh, ibu-ibu nga perlu beli lagi, cukup petik cabai di perkarangan.
Ini terjadi pada salah satu informan pelaku urban farming yang saya temui, menurut keterangan beliau sudah lebih dari dua tahun keluarganya menikmati konsumsi cabai gratis.
Artinya, setiap unit rumah tangga harus mulai membudayakan ‘gerakan melek bertani untuk menyelamatkan pangan’. Paling tidak gerakan ini dapat membantu memenuhi kebutuhan dapur masing-masing rumah tangga, mengurangi pengeluaran dan untung-untung bisa berbagi atau bahkan dijual ke tetangga.
ADVERTISEMENT
Hal ini tidak berat, karena sejatinya masyarakat Indonesia sudah memiliki kebiasaan bertanam di pekarangan sejak dulu. Hanya saja saat ini perlu didorong dengan regulasi dan intervensi dari negara agar kebiasaan tersebut dapat berbuah menjadi budaya di tengah permasalahan pangan dan arus urbanisasi yang semakin menguat.