Planetarium & Observatorium Jakarta: Diabaikan Jakpro, Dikerdilkan Pemprov DKI

Muhammad Rezky
Pemerhati astronomi dan komunikasi sains -- Alumni Astronomi ITB -- Mantan Staf Pendidikan dan Penjangkauan Publik, Observatorium Bosscha
Konten dari Pengguna
11 Oktober 2022 16:10 WIB
·
waktu baca 19 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Rezky tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kondisi fasad Gedung Trisno Soemardjo dan Teater Bintang saat revitalisasi TIM berlangsung. (Dokumentasi pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi fasad Gedung Trisno Soemardjo dan Teater Bintang saat revitalisasi TIM berlangsung. (Dokumentasi pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak 19 September 2022 lalu, akun Instagram @tim.cikini (Dahulu @wajahbaru_tim) mulai menggencarkan publikasi mengenai pembukaan publik kawasan Taman Ismail Marzuki atau TIM, setelah sekitar 2 tahun ditutup untuk revitalisasi. Kabar mengenai pembukaan publik ini disambut meriah dengan kehadiran berbagai pameran dan pentas seni. Di saat yang sama, pengelola akun tersebut seakan mengabaikan pertanyaan publik mengenai kondisi teater bintang yang merupakan bagian dari Planetarium dan Observatorium Jakarta atau POJ.
ADVERTISEMENT
Akun @planetariumjkt yang dipegang langsung oleh POJ sendiri tidak dapat menjawab pertanyaan publik mengenai waktu pembukaan kembali dan hanya dapat mengarahkan ke akun @tim.cikini, yang dikelola oleh PT. Jakarta Propertindo (Perseroda) atau Jakpro selaku pelaksana revitalisasi TIM.
Di balik kejadian yang sekilas tampak seperti masalah miskomunikasi, tersembunyi permasalahan yang telah dialami oleh POJ selama dan bahkan sebelum proses revitalisasi dimulai. Masalah seperti ketidakpastian rencana perbaikan Teater Bintang, hilangnya sarana pengamatan langit atau observatorium, hingga ketimpangan kinerja SDM POJ dengan dukungan dan kompensasi yang diterima dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
Hal-hal tersebut tidak lain adalah gejala dari persoalan turun temurun yang dihadapi oleh POJ saat menghadapi Pemprov DKI Jakarta, yang secara sadar atau tidak sadar telah mengerdilkan peran komunikasi sains dari POJ secara sistematis.
ADVERTISEMENT
Persoalan ini tentu mengkhawatirkan kalangan cendekiawan dan pendidik astronomi di Indonesia, mengingat POJ merupakan salah satu dari sedikit institusi yang aktif menjalankan misi komunikasi astronomi di Indonesia. Kekhawatiran ini diperparah dengan rencana pengelolaan TIM oleh Jakpro, sebuah perusahaan daerah yang tidak memiliki kewajiban khusus untuk melaksanakan pendidikan publik, selama 28 tahun ke depan sesuai amanat Peraturan Gubernur DKI Jakarta no. 16 tahun 2022.
Tulisan berikut mencoba menjelaskan alasan di balik kekhawatiran kalangan pemerhati astronomi dan pendidikan publik atas temuan-temuan tersebut. Berbagai kekhawatiran berikut pada dasarnya dapat diselesaikan sejak lama jika Jakpro, POJ, dan kalangan pemerhati astronomi secara disiplin dan konsisten menjalin komunikasi yang terbuka, setara, dan kolaboratif. Pembiaran atas masalah-masalah ini berpotensi menghadapkan ketiga pihak pada kekecewaan masyarakat yang telah menunggu kabar pembukaan POJ maupun publik yang memiliki minat tinggi pada astronomi maupun sains secara umum.
ADVERTISEMENT

Teater Bintang tidak diperbaiki, observatorium terancam hilang

Teater Pertunjukan Bintang Planetarium Jakarta Foto: Bella Cynthia/kumparan
Kekecewaan insan astronomi pada Jakpro dan Pemprov DKI Jakarta sesungguhnya mulai muncul sejak rencana revitalisasi TIM digaungkan pada tahun 2018. Rencana arsitektur kawasan TIM yang diadopsi dari karya arsitek Andra Matin meniadakan 4 kubah observatorium yang telah menaungi teleskop-teleskop astronomi milik POJ sejak 1982. Selain itu, gedung operasional POJ yang mengelilingi Teater Bintang akan digusur dan dibangun kembali, namun tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai fungsi gedung baru tersebut. Rencana ini pada awalnya menumbuhkan harapan atas perbaikan proyektor 'Universarium Mark VIII' dari Carl Zeiss, yang telah beroperasi 10 tahun melewati masa pakai idealnya (15 tahun). Meski begitu, komunikasi yang kurang produktif dan intensif antara Jakpro dan POJ membuat kekhawatiran insan astronomi pada eksistensi POJ tetap ada.
ADVERTISEMENT
Untuk memudahkan komunikasi secara langsung kepada tim revitalisasi Jakpro, sebuah acara bertajuk “FGD Revitalisasi POJ” telah berlangsung pada Oktober 2019. Acara ini mempertemukan arsitek revitalisasi TIM, staf POJ, serta perwakilan dari kalangan astronomi profesional dan pemerhati pendidikan. Pada acara tersebut, telah dipaparkan jelas urgensi dan esensi atas permintaan POJ dan kalangan astronomi untuk melindungi eksistensi POJ selama dan setelah revitalisasi dilakukan.
Tim arsitek dan perwakilan Pemprov DKI Jakarta pada saat itu telah menyambut paparan tersebut dengan beberapa janji, seperti koreksi desain gedung sekitar Teater Bintang, perbaikan proyektor planetarium, hingga potensi pembuatan kubah teleskop pengganti di atas gedung panjang yang kini dinamakan Gedung Ali Sadikin. Namun pada kenyataannya, proyek revitalisasi tetap berlanjut dengan rencana yang tidak jauh berbeda dengan awal dan melupakan permintaan dan harapan tersebut.
ADVERTISEMENT
Bangunan yang dahulu mengitari Teater Bintang kini ditempati oleh Gedung Trisno Soemardjo, sebuah gedung 5 lantai yang berbentuk huruf U dan dinamai dari seorang seniman yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan dunia astronomi Indonesia. Selaras dengan penamaan gedung yang berorientasi pada tokoh kesenian, ruang-ruang pada gedung tersebut turut didominasi oleh aktivitas seni yang lebih identik dengan TIM. Hanya sekitar 1/3 dari floor plan gedung tersebut diperuntukkan bagi aktivitas planetarium, jauh berkurang dari kondisi sebelum revitalisasi berlangsung.
Skema pembagian floor plan untuk Gedung Trisno Soemardjo. Dari 5 lantai yang dimiliki gedung tersebut, POJ diperkirakan hanya mengelola Teater Bintang dan bagian yang diwarnai krem saja. Selain POJ, gedung ini juga menaungi Kineforum, Galeri Cipta, serta berbagai teater dan ruang latihan seni rupa. (dokumentasi pribadi)
Pada floor plan yang telah disediakan tersebut, POJ diberikan beberapa ruangan seperti ruang tunggu pengunjung, ruang pameran, ruang kerja, serta ruang komunitas. Namun berdasarkan penuturan Widya Sawitar (Saat diwawancara masih aktif sebagai staf astronom POJ) kepada tempo.co yang diterbitkan pada 28 Maret 2022, belum ada wujud nyata perbaikan atau pembelian proyektor baru dari Jakpro selama proses revitalisasi berlangsung. Hal ini juga terjadi pada permintaan POJ untuk penyediaan alat peraga pameran, perangkat auditorium, serta sarana pengamatan baik itu teleskop, kubah observatorium, maupun alat penunjang keduanya.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini juga ditemui pada Teater Bintang saat aktivitas revitalisasi hampir usai pada September 2022 ini. Berdasarkan pengakuan beberapa pihak, perubahan di dalam Teater Bintang saat diamati hanya pada kursi penonton yang kini tidak bisa diturunkan sandarannya (non-reclining seat). Jenis kursi ini sebenarnya tidak sesuai dengan kebutuhan pertunjukan planetarium, yang membutuhkan penonton untuk dapat berbaring melihat proyeksi simulasi langit pada kubah di atas kepala. Proyektor 'Universarium Mark VIII' tidak diperbaiki sama sekali, meski telah mengalami kerusakan dalam skala yang signifikan.
Temuan ini tentunya bertolak belakang dengan janji upgrading proyektor di Jerman yang disampaikan oleh Yeni Kurnaen (Manajer Komunikasi Proyek Revitalisasi TIM) dalam artikel dari antaranews yang diterbitkan pada 27 Agustus 2021. Atas perbedaan antara pernyataan dan fakta di lapangan tersebut, Jakpro dianggap oleh kalangan pemerhati astronomi tidak terbuka atas rencana perbaikan Teater Bintang, bahkan kepada pengelola POJ sendiri. Hal ini menumbuhkan berbagai spekulasi, mulai dari perubahan Teater Bintang dari proyeksi kubah menjadi proyeksi datar ala bioskop hingga anggapan bahwa Jakpro ‘memuseumkan’ planetarium.
ADVERTISEMENT
Perbaikan proyektor planetarium ini sebenarnya menjadi kabar yang paling ditunggu oleh publik, mengingat performanya yang memprihatinkan sejak tahun 2013. Pada tahun tersebut, upaya perbaikan berskala besar pernah dilakukan dengan menambah proyektor baru untuk mendukung fungsi proyektor 'Universarium Mark VIII' yang telah ada. Sayangnya, proses perbaikan tidak berjalan sesuai rencana hingga Pemprov DKI Jakarta menggugat perdata PT. Bunga Lestari selaku pelaksana perbaikan dan perwakilan Carl Zeiss Asia Tenggara. Sebagai konsekuensi dari gugatan tersebut, kerja sama perawatan dan penyediaan suku cadang proyektor dari Carl Zeiss resmi terhenti sejak tahun 2013. Usaha perawatan secara minimalis sebenarnya pernah dilakukan pada tahun 2016, namun tidak menyelesaikan masalah yang dimiliki oleh proyektor pendukung tersebut.
Sejak saat itu, tidak ada lagi permintaan perbaikan proyektor yang diakomodasi oleh Pemprov DKI Jakarta. Hal ini membuat perawatan dilakukan oleh staf POJ secara secara mandiri dan seadanya. Kondisi proyektor yang tidak optimal membuat jadwal pertunjukkan teater dikurangi dari 7 kali sehari, menjadi 2 kali sehari. Masyarakat pun tidak jarang mengeluhkan proyektor mati di tengah pertunjukkan, sehingga POJ harus menghadapi kekecewaan pengunjung dan mengembalikan uang tiket yang tentu dibutuhkan untuk perbaikan tersebut. Masalah ini semakin tampak menjelang penutupan planetarium untuk proses revitalisasi, di mana POJ secara berulang harus membuka dan menutup kembali Teater Bintang untuk beberapa pekan melalui media sosial dan website resmi mereka.
ADVERTISEMENT
Hal lain yang menjadi sorotan menjelang pembukaan kembali TIM adalah hilangnya fasilitas observasi milik POJ. Setelah “FGD Revitalisasi TIM” dilakukan, Jakpro telah mengambil langkah untuk mempertahankan kubah teleskop yang telah ada. Namun alih-alih melakukan perbaikan, fakta lapangan menunjukkan pembiaran secara sengaja pada prasarana pengamatan langit. Dua kubah kecil berkarat yang dahulu ditempati oleh teleskop 'Takahashi' (hingga tahun 1998) dan 'ASCO' dapat ditemukan di atap Gedung Trisno Soemardjo sisi barat, namun tidak dapat diakses sama sekali. Akses menuju kubah teleskop 'ASCO' di lantai 1 bahkan ditutupi oleh tembok.
Meskipun kubah-kubah tersebut masih dapat diperbaiki dalam waktu dekat, penempatan kubah di sekitar outdoor unit dari sistem pendingin ruangan gedung menyebabkan lokasi tersebut sudah tidak layak untuk dijadikan area penyimpanan teleskop. Selain itu, keberadaan kolam reflektif di lantai 1 meningkatkan kadar kelembaban udara sekitar observatorium, sehingga akan memperumit perawatan teleskop. Pemaksaan penggunaan teleskop pada kondisi-kondisi tersebut dapat mengakibatkan malfungsi teleskop yang memengaruhi hasil pengamatan hingga kerusakan instrumen dalam waktu yang relatif cepat.
ADVERTISEMENT
Di samping gedung tersebut juga terdapat sebuah menara teleskop, yang berdiri sendiri di pojok timur laut gedung dan diperuntukkan bagi teleskop 'Coude Zeiss'. Selama proses revitalisasi, menara tersebut ditelantarkan tanpa perawatan. Sebuah pohon tampak telah tumbuh di atas kubahnya, yang jika dibiarkan dapat merusak struktur menara dan berujung pada perobohan menara. Berbeda dari kubah observatorium lainnya, ruang observasi yang dahulu menaungi teleskop heliostat (Matahari) pada gedung lama planetarium bahkan menghilang dan tidak digantikan sama sekali pada bangunan gedung baru.
Kehilangan observatorium tentu akan menjadi tragedi bagi POJ maupun publik pecinta astronomi. Masyarakat, yang dapat ditemui dalam usia balita hingga dewasa, setia mengikuti agenda pengamatan benda langit yang dilaksanakan secara rutin oleh POJ. Aktivitas tersebut dimungkinkan dengan kehadiran berbagai teleskop berukuran kecil dan besar serta sarana pendukung yang menjadi bagian dari observatorium yang dikelola oleh POJ.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya untuk pengamatan publik, fasilitas pengamatan astronomi juga digunakan untuk berbagai kebutuhan, mulai dari kegiatan pemotretan astrofotografi, pelatihan calon peserta kejuaraan sains dan astronomi di tingkat provinsi, nasional, maupun internasional, serta aktivitas penelitian mandiri terkait beberapa fenomena astronomi seperti hilal, konjungsi, transit, gerhana, dan sebagainya. Sebagian besar aktivitas ini tidak dilakukan oleh POJ sendiri, melainkan sangat terbantu oleh kehadiran Himpunan Astronomi Amatir Jakarta atau HAAJ.
Melalui HAAJ dan aktivitas pengamatan yang dikelola oleh POJ, publik dapat terlibat lebih jauh dalam mempelajari angkasa raya melalui aktivitas audiovisual dan motorik, jauh dari stereotip pelajaran sains yang dianggap membosankan atau menyusahkan. Bersama HAAJ, POJ juga mampu menggapai publik yang tidak dapat mengunjungi TIM secara langsung, baik melalui agenda daring maupun kunjungan luring ke sekolah, komunitas, maupun lingkungan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan komunitas seperti HAAJ secara organik turut menjamin pertukaran informasi dan pengetahuan astronomi dan keantariksaan di dalam ruang terbuka publik yang interaktif, sehingga mendukung upaya pendidikan sepanjang hayat yang seharusnya menjadi hak masyarakat Indonesia. Ketiadaan observatorium tentu akan menghambat pertumbuhan tersebut dan menyempitkan upaya komunikasi astronomi oleh POJ dari ruang terbuka publik yang interaktif menjadi semata-mata dongeng satu arah dalam sebuah kubah tertutup yang telah dioptimasi untuk kepentingan komersialisasi semata.

Diselamatkan, dikerdilkan, hingga dianaktirikan Pemprov DKI Jakarta

Teleskop untuk umum Planetarium Jakarta. Foto: Zahrina Yustisia Noorputeri/kumparan
Melihat fakta-fakta yang ada, tentu sangat disayangkan jika keberadaan Planetarium dan Observatorium Jakarta terancam oleh berbagai aktivitas (Maupun ketiadaan atas aktivitas) yang dimaklumi oleh Pemprov DKI Jakarta sebagai penggagas utama proyek revitalisasi TIM. Hal ini dapat dianggap sebagai bentuk pengabaian secara moral oleh Pemprov DKI Jakarta di masa modern ini terhadap usaha Pemprov DKI Jakarta era Henk Ngantung hingga Ali Sadikin, yang secara aktif telah mengambil alih dan menghidupkan proyek pembangunan planetarium, setelah terhenti akibat tragedi pemberontakan G30S/PKI.
ADVERTISEMENT
Proyek planetarium ini sebelumnya dilaksanakan oleh Pemerintah RI atas gagasan Presiden Soekarno, dengan dukungan dari Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). Presiden Soekarno sendiri mempelopori pembangunan planetarium, dengan visi nyata untuk menyebarluaskan pengetahuan astronomi dan keantariksaan kepada masyarakat Indonesia. Seperti yang diucapkan Soekarno pada pidato pemancangan tiang pembangunan Planetarium Jakarta tahun 1964, beliau menginginkan rakyat Indonesia agar dapat mengejar ilmu pengetahuan demi kemajuan bangsa dan terjauhi dari takhayul terkait fenomena benda langit sebagai pembawa bencana dan kerugian. Visi ini kemudian tetap hidup dan mulai terwujud saat proyek planetarium diselamatkan oleh Pemprov DKI Jakarta.
Pemprov DKI Jakarta saat itu sebenarnya mengalokasikan seluruh lahan TIM yang dahulu merupakan Kebun Binatang Cikini (Kemudian pindah ke Ragunan pada tahun 1964) untuk pembangunan Teater Bintang dan sarana pendukung planetarium. Keberadaan Pusat Kesenian Jakarta atau PKJ, yang kini mendominasi penggunaan kawasan TIM, kemudian muncul di tengah proses pembangunan planetarium sebagai jawaban Ali Sadikin atas tuntutan kalangan seniman yang menginginkan pusat kebudayaan di Jakarta. Kedua entitas yang berlokasi di tempat yang sama ini, PKJ dan POJ, kemudian dikelola secara terpisah dengan tujuan yang terpisah pula.
ADVERTISEMENT
Tim Pengelola POJ kemudian dikembangkan menjadi sebuah badan otonom bernama Badan Pengelola Planetarium dan Observatorium (BPPO), dengan kepala badan bertanggung jawab langsung kepada Gubernur DKI Jakarta. Selama masa ini, POJ mampu berkembang pesat secara fisik dengan kehadiran teleskop, observatorium, perpustakaan, ruang kerja tetap, studio audiovisual, ruang pameran, dan ruang tunggu. Teater Bintang pun juga mengalami perubahan berskala besar, dengan penggantian proyektor 'Starball Universal' yang bersifat manual menjadi 'Universarium Mark VIII' dan perubahan layout di dalam teater.
Seiring dengan perkembangan tersebut, PKJ juga ikut berkembang pesat hingga kemudian perlahan menjelma dari dua lembaga yang terpisah dan sejajar menjadi ‘tuan rumah’ bagi POJ. Hal ini tampak secara nyata dari alih fungsi sebagian gedung pengelola planetarium menjadi fasilitas yang tidak terkait dengan aktivitas POJ. Gedung sisi selatan berubah menjadi Galeri Cipta dan Perpustakaan Daerah DKI Jakarta, sedangkan sisi timur lantai 2 diperuntukkan bagi Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
ADVERTISEMENT
Sebelum planetarium direvitalisasi, POJ masih mengelola sisi barat, utara, dan selatan (lantai 1 saja) dari gedungnya secara langsung. Kini, mayoritas Gedung Trisno Soemardjo yang mengitari Teater Bintang dialokasikan untuk aktivitas kesenian. Ruang aktivitas POJ telah jauh mengecil jika dibandingkan dengan rencana proyek planetarium pada awal pembangunannya, yang sesungguhnya juga mencakup gedung operasional di sekitar Teater Bintang.
Fenomena pengerdilan peran POJ juga dapat ditemui pada sisi birokrasi. Pada tahun 2002, BPPO diubah menjadi sebuah Unit Pengelola Teknis (UPT) di bawah Dinas Pendidikan. Lalu 14 tahun kemudian, UPT ini digabungkan dengan PKJ menjadi Unit Pengelola PKJ-TIM di bawah naungan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Dinas tersebut kemudian dipecah antara urusan pariwisata dan kebudayaan. Sebagai bagian dari PKJ-TIM, POJ secara praktis dibawa ke dalam sistem birokrasi Dinas Kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Selain munculnya hubungan antara planetarium dan kebudayaan yang sekilas tampak tak biasa, hal ini secara tersirat membuat POJ hanya dapat bertindak sebagai pelaksana teknis dari program-program yang disusun oleh PKJ-TIM dan tidak dapat bergerak secara mandiri. Mengingat nama PKJ yang tentu berfokus pada kesenian, maka tidak heran bahwa pengembangan POJ yang membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan kalangan seniman tidak dapat berjalan seperti sebelumnya dan menjadi relatif stagnan.
Hal lain yang disorot dari POJ namun diabaikan oleh Pemprov DKI Jakarta selama ini adalah minimnya upaya rekrutmen PNS yang mumpuni untuk mengoperasikan planetarium sekaligus mengembangkan program komunikasi sains untuk publik. Selama pengelolaan oleh BPPO, SDM POJ diisi oleh pakar astronomi dan sains dari institusi pendidikan seperti ITB. Observatorium Bosscha bahkan dilibatkan sebagai penyusun BPPO dan pelaksana konsultasi teknis. Jurusan Astronomi ITB pada saat itu pernah menyediakan beasiswa khusus bagi para mahasiswa agar dapat dipersiapkan sebagai pegawai POJ.
ADVERTISEMENT
Namun sejak manajemen POJ diserap oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta, penyegaran SDM POJ menjadi tersendat dan POJ hanya dapat mengandalkan staf PNS yang ada hingga pensiun. Kekurangan staf ahli kemudian ditambal oleh solusi sementara seperti pengadaan pegawai honorer, yang kini bernama Penyedia Jasa Lainnya Perorangan (PJLP). UP PKJ-TIM kemudian merekrut beberapa anggota komunitas HAAJ menjadi PJLP. Sayangnya, PJLP hanya dikontrak selama 1 tahun dan harus diperpanjang secara rutin, dengan honor yang hanya mencapai Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta.
Dinamika kepegawaian yang timbul dari kondisi tersebut dapat dilihat secara nyata ketika satu-satunya staf astronom POJ yang berstatus PNS DKI Jakarta, Drs. Widya Sawitar, telah resmi pensiun pada April 2022. Meski telah memasuki masa purnabakti, beliau tetap harus mendukung aktivitas POJ secara langsung atas dasar kebutuhan institusi maupun inisiatif pribadi, bersama dengan staf administrasi dan staf pendukung dari POJ serta para staf PJLP. Pegawai berstatus PJLP inilah yang sebenarnya berhadapan langsung dengan publik ketika melaksanakan aktivitas pertunjukan dan pendidikan publik di bidang astronomi, daring maupun luring.
ADVERTISEMENT
Semangat yang dibawa oleh komunitas astronomi seperti HAAJ juga terbawa kepada para pegawai PJLP, yang memang mayoritas berasal dari komunitas tersebut. Tidak mengherankan jika berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh POJ pada dasarnya didorong oleh minat dan semangat dari para pegawai PNS dan PJLP yang ada secara bottom-up, bukan dihasilkan dari arahan manajemen UP PKJ-TIM maupun Dinas Kebudayaan.
Hal terakhir yang menjadi perhatian kalangan pemerhati astronomi adalah bagaimana POJ akan dikelola selepas program revitalisasi telah selesai. Melalui Pergub DKI Jakarta no. 16 tahun 2022, Jakpro ditugaskan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk mengelola dan merawat seluruh aset PKJ TIM hingga 21 April 2050. Jakpro juga ditugaskan untuk menyusun kajian pengelolaan PKJ TIM yang harus dikonsultasikan dengan Dinas terkait, terutama Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Namun jika dilihat pada pasal 7 ayat (3) dari Pergub tersebut, pengelolaan yang dimaksud hanya sebatas pada pemenuhan kewajiban pajak dan pengusahaan pendapatan dari jasa parkir, reklame, dan sewa ruangan. Hal lebih lanjut mengenai teknis pengelolaan kemudian diserahkan melalui perjanjian terpisah antara Jakpro dengan berbagai pihak di dalam lingkup Pemprov DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Pengelola POJ sendiri sampai saat ini tidak mengetahui bagaimana manajemen planetarium dan observatorium akan dilaksanakan berdasarkan skema tersebut karena jarang dilibatkan dalam diskusi-diskusi yang terkait isu ini. Hal tersebut sebenarnya dapat dianggap wajar karena saat ini pengelola POJ tidak berbentuk sebuah badan mandiri dan dalam konteks birokrasi berada 2 tingkat di bawah Dinas Kebudayaan yang akan mengadakan perjanjian dengan Jakpro. Pada kondisi tersebut, POJ sebenarnya secara teori dapat dilibatkan dalam perencanaan ini dengan meneruskan berbagai saran dan masukan kepada UP PKJ TIM untuk diteruskan kepada Dinas Kebudayaan. Namun fakta menunjukkan bahwa berbagai pertimbangan dan permintaan dari pengelola POJ yang mungkin disampaikan melalui jalur tersebut selama proses revitalisasi nyatanya tidak ditindaklanjuti sama sekali.
ADVERTISEMENT
Diskusi mengenai pengelolaan POJ di kalangan pemerhati astronomi mengerucut pada kesan bahwa pengelola POJ sendiri bahkan tidak diberikan peran untuk menrencanakan dan menyusun manajemen planetarium dan observatorium di Cikini selepas proses revitalisasi usai. Kondisi tersebut dihasilkan dari sistem birokrasi yang panjang dan tidak kolaboratif dengan pihak yang sebenarnya mengoperasikan fasilitas POJ, yang kemudian menjadi akar dari masalah-masalah revitalisasi POJ yang muncul selama ini.
Mengingat kronologi historis ini serta rencana pengelolaan POJ yang belum jelas, maka wajar jika Pemprov DKI Jakarta selama ini mungkin saja hanya mengetahui POJ sebagai pelaksana pertunjukan Teater Bintang ataupun kunjungan serta pengumpul pendapatan daerah dari biaya tiket yang dijual atas aktivitas-aktivitas tersebut. Namun di sisi lain, Pemprov DKI Jakarta dapat dianggap mengabaikan keberadaan dan kebutuhan POJ, tidak menyadari pentingnya perawatan Teater Bintang dalam waktu sesegera mungkin, hingga tidak mengetahui sama sekali visi besar pendidikan publik yang ingin dicapai dari aktivitas komunikasi sains yang terbuka bagi masyarakat Jakarta.
ADVERTISEMENT

Mengapa Jakarta (dan Indonesia) masih membutuhkan POJ?

Pengunjung beraktivitas di ruang pameran di Planetarium, kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (26/7). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Keberadaan sebuah Planetarium dan Observatorium di Jakarta (POJ) mungkin tampak kontradiktif dengan kondisi perkotaan yang dikepung oleh polusi udara dan polusi cahaya, kedua fenomena lingkungan yang menyulitkan pengamatan dari Cikini. Selain itu, medan pandang langit dari POJ telah tertutupi oleh gedung tinggi seperti Gedung Ali Sadikin di sisi utara dan Apartemen Menteng Park di sisi timur hingga selatan. Hal ini membuat staf POJ dan HAAJ seringkali mengadakan aktivitas pengamatan untuk penelitian di Kepulauan Seribu maupun di luar wilayah DKI Jakarta (Anyer, Bogor, atau Pelabuhan Ratu).
Meski dihadapkan dengan berbagai tantangan, Planetarium dan Observatorium Jakarta (POJ) selama 54 tahun terakhir telah melaksanakan berbagai kegiatan pendidikan astronomi dan sains kepada publik. Keberadaan Teater Bintang dan fasilitas observasi menjadi tumpuan bagi POJ untuk mendekatkan astronomi kepada publik melalui aktivitas-aktivitas pengamatan dan pendidikan publik yang mudah diakses, dengan segala fasilitas transportasi dan komunikasi yang lengkap di DKI Jakarta. Pengamatan astronomi pun tidak lantas mustahil dengan kondisi polusi tersebut, dibuktikan dengan berbagai aktivitas pengamatan Matahari dan objek-objek terang seperti Bulan, planet, bintang, dan objek lain di Cikini maupun di lokasi lain dalam wilayah DKI Jakarta yang selalu menarik perhatian publik.
ADVERTISEMENT
Upaya komunikasi astronomi oleh POJ sebenarnya merupakan sebuah bagian dari upaya pengenalan sains secara umum, dengan membuka pengetahuan yang dihasilkan dari aktivitas ilmiah ke ruang publik. Hal ini penting dilakukan untuk membangun kesan sains yang transparan dan relevan kepada masyarakat luas, sehingga menimbulkan dukungan positif kepada perkembangan sains.
Selain itu, publik juga dikenalkan pada pola pikir ilmiah (Berbasis data, sistematik, terdokumentasi, serta terbuka atas diskusi) beserta profesi pelakunya seperti peneliti atau ilmuwan, dengan harapan agar dapat pola pikir tersebut dapat diterapkan dalam aktivitas sehari-hari. Penyebaran informasi ilmiah kepada masyarakat juga berpotensi menambah perspektif dan solusi yang dapat dipelajari untuk menyelesaikan isu yang dihadapi umat manusia secara keseluruhan. Hal-hal tersebut sebenarnya tidak hanya dibutuhkan oleh masyarakat Jakarta, namun juga Indonesia secara menyeluruh. Komunikasi astronomi tidak lain adalah upaya para cendekiawan untuk mewujudkan tujuan mulia yang tercantum pada konstitusi negara kita, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
ADVERTISEMENT
Eksistensi Planetarium dan Observatorium di Jakarta (POJ) merupakan wujud nyata dari upaya pendidikan publik tersebut, serta inspirasi bagi banyak komunitas saintifik di wilayah lain di Indonesia. Dengan membangun partisipasi langsung masyarakat pada aktivitas pertunjukan planetarium dan pengamatan astronomi, masyarakat dapat terpapar oleh pengetahuan terkini dari dunia sains maupun astronomi secara khusus. Hal ini kemudian dapat mendorong peningkatan literasi sains di DKI Jakarta, karena pengetahuan astronomi seringkali melibatkan pengetahuan mengenai subjek keilmuan lain secara terpadu, seperti fisika, matematika, teknik, biologi, bahkan humaniora. Pengenalan pengetahuan terkait secara singkat dan dapat dikonsumsi publik awam dapat memberi gambaran mengenai proses berpikir ilmiah dan aspek-aspek menarik dari keilmuan lain kepada publik.
Keberadaan observatorium secara khusus juga dapat mewadahi para astronom amatir maupun profesional yang masih ingin berkarya di bidang keilmuan namun tidak berada pada institusi formal seperti BRIN, perguruan tinggi, dan lembaga lain yang serupa. Dengan mempertemukan masyarakat dengan pelaku aktivitas ilmiah secara rutin dan aktif, POJ dapat menjadi perantara dalam memperbaiki dan menumbuhkan hubungan antara dunia penelitian dengan kenyataan yang dialami oleh masyarakat sehari-hari. Hal ini tentu berbeda dengan peran lembaga penelitian dan institusi pendidikan formal, yang acap kali berfokus pada hubungan antara dunia keilmuan dengan industri dan berharap dampak baiknya dapat sampai kepada masyarakat melalui produk industri tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, keberadaan planetarium dan observatorium menjadi kunci penting bagi upaya populerisasi dan pembumian astronomi kepada masyarakat Indonesia yang telah mendukung pengembangan astronomi dan sains, baik melalui pajak negara dan daerah, aktivitas sehari-hari yang mencerminkan kepedulian pada lingkungan dan makhluk hidup, maupun minat belajar yang tiada habisnya.

Penutup

POJ sejatinya merupakan sebuah aset pendidikan sains nonformal yang selayaknya dijaga dan dikembangkan oleh Pemprov DKI Jakarta demi tujuan mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Beberapa masalah yang telah dijabarkan maupun yang belum disampaikan bukanlah merupakan sebuah catatan akhir yang memvonis proses revitalisasi TIM sebagai sebuah kegagalan, karena proses ini pada dasarnya masih berjalan dan belum tuntas secara sempurna. Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk menyalahkan masalah tersebut pada pihak-pihak yang telah disebutkan.
ADVERTISEMENT
Penulis berharap apa yang telah dideskripsikan dalam tulisan ini menjadi catatan yang dapat didiskusikan bersama sebagai awal dari jalinan komunikasi yang lebih baik dan intensif antara semua pihak yang telah disebutkan, hingga mendapatkan solusi yang memuaskan semua pihak. Mari jadikan Planetarium dan Observatorium Jakarta kembali aktif menjadi mercusuar pengembangan komunikasi sains dan astronomi di Jakarta maupun Indonesia, yang dapat memberi nilai edukasi tambah bagi masyarakat, saling menguntungkan semua stakeholders, dan mewadahi insan-insan yang peduli pada perkembangan astronomi.