Pemulihan Ekonomi: Memahami Perasaan Orang Indonesia di Awal 2021

Mugi Bentang
Praktisi riset pasar dan industri. Pemerhati pasar dan perilaku konsumen. Saya bercerita untuk berbagi.
Konten dari Pengguna
4 Februari 2021 18:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mugi Bentang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemulihan Ekonomi: Memahami Perasaan Orang Indonesia di Awal 2021
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Orang Indonesia dituntut untuk beradaptasi sedemikian rupa terhadap berbagai tantangan dan rintangan sejak pandemi menghantam. Mulai dari tantangan finansial, tantangan untuk harus terbiasa dengan kebiasaan baru berupa protokol, hingga tantangan untuk menahan diri dulu ngopi beramai-ramai atau kumpul arisan dengan kerabat dekat.
ADVERTISEMENT
Secara spontan terhitung dari satu tahun kemarin, istilahnya, kita dipaksa untuk sedemikian rupa terbiasa dan beradaptasi terhadap norma dan kebiasaan baru. Pergi belanja menggunakan masker, membuka pintu dengan menggunakan siku, hingga bercengkrama dengan sahabat dekat dengan prinsip jaga jarak.
Kalau saya pribadi, dan saya yakin banyak orang lainnya, merasa menjadi bagian dari orang yang dituntut untuk cepat beradaptasi pada kebiasaan itu. Kebiasaan yang sebenarnya juga, pada ujungnya, adalah sesuatu yang membuat orang sadar untuk melakukan pembudayaan kebersihan kepada diri sendiri dan lingkungan.
Lewat sudah 2020 yang menantang itu. Nah, awal tahun 2021 ini, ada berita baik yang muncul tentang pelaksanaan vaksinasi yang sudah dimulai. Memang, sih, masih bertahap dengan prioritas utama tenaga kesehatan dan elemen lainnya yang riskan terpapar: seperi Pegawai Negeri Sipil. Tetapi, apakah buat orang Indonesia, hal ini menjadi sesuatu yang memunculkan harapan?
ADVERTISEMENT
Saya lalu penasaran, bagaimana kira-kira orang Indonesia akan menyikapi pandemi ini di awal tahun 2021? Bagaimana pikiran kita? Apakah cemas atau sudah ada harap membaik?
Dengan meraba pikiran kita, orang Indonesia, dapat berperan ibarat rambu-rambu pada lampu merah di persimpangan jalan bagi elemen masyarakat hingga pelaku usaha yang bergantung pada roda ekonomi. Bagaimana menyikapinya? Apakah sudah harus all out atau masih harus tahan berhati-hati. Salah strategi, terlalu percaya diri, bisa jadi bumerang bagi kesehatan finansial sendiri.

Kecemasan yang Meningkat

Saya menemukan sebuah laporan menarik dari sebuah perusahaan riset konsumen bernama Kantar Indonesia yang berbasis di Jakarta, yang kebetulan memang kantor lama saya. Pada Januari 2021 silam, mereka merilis laporan yang berjudul "COVID-19 Pulse: How are Indonesians Feeling?" (Bagaimana Perasaan Orang Indonesia?). Riset tersebut melibatkan sekitar 20,000 total wawancara di daerah pedesaan hingga perkotaan besar di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di awal laporan tersebut, Kantar menyorot satu hal penting: kenaikan kasus di Desember 2020 yang melonjak signifikan turut menyumbang kenaikan tingkat kecemasan hingga angka rata-rata 63%. Kecemasan ini juga didominasi terjadi di kota-kota besar, seperti Jabodetabek yang sampai menyentuh angka 88%, naik hingga 7% dari periode survey 2 bulan sebelumnya. Lain cerita dengan masyarakat di daerah pedesaan, tingkat kecemasan memiliki rata-rata hanya 55%.
Kenaikan yang terhitung signifikan ini membuat kebanyakan orang Indonesia tetap memilih untuk bertahan di rumah di awal tahun ini.
Indeks Mobilitas atau Mobility Index di Jakarta saja, seperti yang dikutip dari data Google Mobility Index, juga menurun. Penurunan ini berarti, orang-orang cenderung lebih memilih berdiam diri di rumah ketimbang harus berpergian ke luar. Sebuah fenomena yang bisa dihubungkan dengan naiknya tingkat kecemasan masyarakat dewasa ini.
ADVERTISEMENT
Kalau dijabarkan lebih lanjut: terhitung Desember silam, Indeks Mobilitas di tempat perbelanjaan hinga rekreasi turun hingga -46%, stasiun transportasi -61%, daerah perkantoran hingga -61%, daerah pariwisata hingga area publik hingga -51%. Sementara itu, Indeks Mobilitas pada area perumahan dan tempat tinggal, naik hingga 22%.

Kecemasan seperti Apa yang jadi Perhatian?

Kecemasan kesehatan, atau health anxiety, mengalami kenaikan pada periode pengambilan data survey Desember 2020 silam.
Kecemasan akan kesehatan menjadi faktor penting bagi orang Indonesia untuk menahan diri di rumah. Pada periode tersebut, kecemasan kesehatan naik seiringan dengan kesadaran masyarakat untuk menjaga protokol kesehatan. Keinginan untuk pergi ke luar bertemu dengan orang lain juga menurun. Di sisi yang sama, pembukaan sekolah kembali juga mendapatkan sentimen yang kurang baik di antara masyarakat, dengan 60% masyarakat menolaknya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, pada sisi kecemasan finansial, sekitar 45% dari masyarakat masih cemas akan potensi yang mengancam karier mereka. Tetapi, angka ini sudah turun hingga 5% dari periode survey sebelumnya. Artinya, sekitar 5% masyarakat mulai beranjak untuk tidak cemas alias mulai menggambarkan harapan proses pemulihan ekonomi yang terjadi di awal 2021 ini.
Data menarik lainnya adalah kenaikan tingkat kecemasan paling tinggi terdapat di antara wanita dengan angka 71%. Sementara di antara laki-laki, hanya menyentuh rata-rata 54% yang cemas. Hipotesis saya, hal ini muncul karena masyarakat Indonesia mayoritas pekerjanya adalah laki-laki. Kondisi menoleransikan akan sesuatu mungkin terjadi apabila ada dorongan psikologis untuk mengejar sesuatu yang dipandang wajib: seperti pekerjaan dan sumber penghasilan.
ADVERTISEMENT

Masyarakat Berpenghasilan Menengah Bawah Cenderung "Toleran"

Tingkat kecemasan di beberapa lapisan masyarakat secara penghasilan
Nah, apakah ada perbedaan di antara tingkat kecemasan tersebut di antara lapisan masyarakat? Jawabannya, iya, terutama di golongan masyarakat berpenghasilan ke bawah.
Di antara masyarakat lapisan berpenghasilan menengah (biasa disebut SES B atau socioeconomic status B), menengah atas hingga atas (disebut SES A atau socioeconomic status A) tingkat kecemasan berturut-turut terdapat di angka 65% dan 69%. Pada masyarakat berpenghasilan menengah bawah hingga bawah (disebut SES CDE atau socioeconomic status CDE), tingkat kecemasan ada pada 56%.
Dugaan saya, hal ini berhubungan dengan jenis pekerjaan yang diemban oleh masing-masing lapisan masyarakat. Pekerja kerah biru, biasanya memang lebih dituntut untuk hadir di lokasi pekerjaan (seperti pabrik, kantor, pasar, dan lainnya) ketimbang pekerja kerah putih.
ADVERTISEMENT
Temuan survey ini, meski harus dilakukan penelitian verifikasi lebih lanjut, ke depannya dapat mengindikasikan bahwa lapisan masyarakat SES CDE akan cenderung lebih tolerir terhadap kecemasan mereka. Berbeda dengan SES A dan SES B yang cenderung lebih cemas terhadap kondisi sekarang ini.
Namun, bukan berarti perilaku masyarakat SES CDE akan lebih aktif secara ekonomi. Yang perlu diperhatikan juga, tingkat kesadaran menabung pada SES CDE juga kedua tertinggi setelah SES A, yakni 48%. Pada kolom #ReboundSocialization atau keinginan kembali pada kehidupan normal, SES CDE juga memiliki angka yang cenderung lebih rendah. Hanya sekitar 7% SES CDE yang sangat ingin restoran-restoran kembali beroperasi normal. Ditambah lagi, hanya 10% yang menginginkan mal dan pusat perbelanjaan dibuka seperti sediakala. Pada Indikasi tersebut hanya menggambarkan, bahwa SES CDE cenderung lebih rendah tingkat kecemasannya.
Tingkat kecemasan berdasarkan umur tidak terlampau signifikan.
Sekarang, kalau bicara dari sudut pandang umur, menurut saya perbedaannya tidak jauh signifikan ketimbang dari sudut pandang penghasilan. Saya tidak akan loncat ke ranah statistika akan seberapa signifikan angkanya, tapi jaraknya berkisar di antara 57%n hingga 66%. Tingkat kecemasan tertinggi, berada pada rentang umur 26 hingga 40 tahun. Kedua disusul oleh rentang umur 15 hingga 25 tahun. Rentang ketiga diduduki oleh mereka yang berusia 40 tahun ke atas.
ADVERTISEMENT
Secara umum, masyarakat memang masih menahan diri dari keinginan untuk berpergian ke luar, dalam hal ini bersosialisasi di luar.
Ilustrasi Corona. Foto: Indra Fauzi/kumparan

Gambaran Awal Tahun 2021: Perasaan yang Belum Lapang

Dari survey yang dilakukan Kantar tersebut, bisa menjadi gambaran bagaimana orang kita berperilaku di awal tahun 2021 ini. Ada 3 poin yang menarik yang bisa kita petik untuk melihat keadaan awal tahun ini.
Yang pertama, tentang kecemasan orang Indonesia pada kesehatan. Rasa-rasanya, bagian ini belum akan turun dalam waktu yang dekat. Ini juga bisa dikaitkan dengan kondisi kasus yang belum menurun pada jangka waktu sekarang. Alasan orang kita cenderung lebih memilih berdiam diri di rumah pada saat sekarang ini, salah satunya, berasal dari kecemasan orang Indonesia pada kesehatan. Kecemasan tersebut juga diwujudkan melalui pemikiran yang bersifat preventif, seperti, berkurangnya niat untuk berpergian ke luar rumah hingga menurunnya dorongan untuk bersosialisasi secara langsung.
ADVERTISEMENT
Yang kedua, ada temuan menarik yang bisa menjadi indikasi harapan akan keadaan yang membaik. Kecemasan finansial pada jangka waktu survey terakhir (Desember 2021), cenderung menurun. Indikasi ini, meski harus dilakukan penelitian verifikasi lebih lanjut, bisa menjadi awal dari lampu hijau yang menandakan orang Indonesia cenderung lebih percaya diri secara finansial. Dugaan saya, utamanya karena ada harapan pemulihan ekonomi pada 2021 ini di antara masyarakat.
Perkiraan saya pribadi setelah terlibat dalam beberapa penelitian kualitatif terkait, momentum lebaran tahun ini dianggap menjadi simbol dan tonggak menuju pemulihan ekonomi yang lebih baik. Saya yakin, dengan catatan proses vaksinasi berjalan lancar, tingkat kecemasan pada kesehatan akan perlahan turun menurun pada tahun ini: dengan titik start saat lebaran tahun ini. Kita semua pun berharap demikian..
ADVERTISEMENT
**Penulis, Mugi Bentang, merupakan seorang praktisi riset pasar dan pemerhati perilaku konsumen di Indonesia.