Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tanggung Jawab Jaksa Dalam Pengawasan Pemasyarakatan
14 Mei 2023 5:02 WIB
Tulisan dari Dr Muh Ibnu Fajar Rahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, publik dihebohkan dan dipertontonkan oleh kondisi Lembaga Pemasyarakat (selanjutnya disebut lapas) di Indonesia. Mulai dari sel mewah, narapidana yang kabur, narapidana yang mengendalikan peredaran gelap narkotika dari dalam lapas (tidak menutup kemungkinan tindak pidana lainnya, seperti judi, kartel, dsb), sampai dengan monopoli bisnis anak Menkumham.
ADVERTISEMENT
Realitas tersebut merupakan hal yang wajar mengingat lapas merupakan tempat yang dapat dikatakan tertutup dari dunia luar lapas sehingga terkesan sulit untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi pemasyarakatan di lapas.
Sekaligus menyatakan bahwa pelaksanaan fungsi check and balance antara penegak hukum dalam sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) khususnya pada tahap pra ajudikasi belum efektif. Benarkah demikian?
Pada kesempatan kali ini akan dibahas tentang sejauh manakah tanggungjawab jaksa dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemasyarakatan? Mari kita bahas!
Pasal 30 ayat (1) huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan) menyatakan “Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat”.
ADVERTISEMENT
Begitupun dalam Pasal 270 KUHAP menyatakan bahwa “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya”.
Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut memberikan wewenang kepada jaksa sebagai satu-satunya (the only one) pelaksana putusan pengadilan di bidang pidana.
Sebagaimana asas geen bevoegheid zonder verantwoordelijkheid (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban) atau zonder bevoegheid geen verantwoordelijkheid (tanpa kewenangan tanpa pertanggungjawaban), maka jaksa-lah yang akan mempertanggungjawabkan pelaksanaan putusan pengadilan di bidang pidana kepada hakim.
Sebab, hakim pasti akan memintai pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan putusan yang diputuskannya kepada jaksa selaku pelaksana putusan pengadilan. Oleh karena itu, dalam wewenang sebagai pelaksana putusan pengadilan terdapat fungsi pengawasan yang melekat, yakni jaksa berwenang untuk melakukan pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan agar putusan pengadilan dilaksanakan secara benar dan sebagaimana mestinya.
Konsep yang sama pun terlihat ketika jaksa diberikan wewenang untuk melakukan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat, yang merupakan bagian dari pelaksanaan putusan pengadilan.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan putusan pengadilan bersifat end to end, yakni sampai dengan putusan pengadilan selesai dijalankan oleh terpidana. Terhadap pidana mati dan seumur hidup maka ruang lingkup pelaksanaan putusan pengadilan sampai dengan terpidana telah mati.
Terhadap pidana penjara/kurungan maka ruang lingkup pelaksanaan putusan pengadilan sampai dengan terpidana selesai menjalani pidana penjara/kurungan. Begitupun dengan pidana denda atau pidana tambahan uang pengganti di mana selesainya pidana tersebut sampai dengan dibayarkannya denda atau uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Terhadap barang bukti, yakni sampai dengan barang bukti dikembalikan kepada yang berhak dengan menyebutkan namanya atau dirampas untuk negara atau dimusnahkan. Termasuk biaya perkara.
Sayangnya, khusus untuk pidana penjara, dalam praktik pelaksanaan putusan pengadilan terbangun paradigma seolah-olah tugas jaksa selaku eksekutor selesai ketika jaksa menyerahkan terpidana ke lembaga pemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
Praktik tersebut pun sangat terlihat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan (selanjutnya disebut UU Pemasyarakatan) di mana sama sekali tidak mengatur pelaksanaan tugas dan wewenang jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan, bahkan hakim.
Apakah ini kesengajaan untuk mendudukkan status quo lapas yang ingin mengekslusifkan diri dalam tahapan pelaksanaan putusan pengadilan? Apabila benar demikian, maka tentu saja tidak dapat dibiarkan karena bertentangan dengan konsep sistem peradilan pidana terpadu sebagaimana dikemudikan Cavadino dan Dignan yang menyatakan bahwa sistem peradilan pidana adalah ”A term covering all those institution which respond officially to the commission of offences, notably the police, prosecution authorities and the court”.
Dengan kata lain, sistem peradilan pidana ini tidak hanya mencakup satu institusi, tetapi berkaitan erat dengan beberapa institusi negara sehingga pekerjaan aparat penegak hukum yang satu akan memberikan dampak dan beban kerja kepada aparat penegak hukum yang lain.
Struktur hukum yang terlibat dalam pelaksanaan putusan pengadilan adalah hakim, jaksa dan petugas pemasyarakatan. Hakim selaku pemilik putusan, jaksa selaku pelaksana putusan pengadilan, dan petugas pemasyarakatan sebagai pelaksana fungsi pemasyarakatan. Ketiganya sepatutnya untuk melaksanakan fungsinya masing-masing pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan secara terpadu.
ADVERTISEMENT
Selain itu, apabila realitas tersebut tetap dipertahankan maka tentunya mendudukkan jaksa dalam posisi yang keliru dan menyulitkan.
Sebab, ketika terpidana mengalami permasalahan dalam pelaksanaan putusan pengadilan, misalnya pidana penjara yang dijalani tidak sesuai dengan putusan pengadilan, pemberian cuti bersyarat-pembebasan bersyarat-remisi padahal terpidana dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak cuti bersyarat-pembebasan bersyarat-remisi.
Terpidana diberikan hak cuti bersyarat-pembebasan bersyarat-remisi padahal akibat dari perbuatan terpidana berdampak besar pada kepentingan umum, pelaksanaan pemasyarakatan tidak sesuai dengan maksud dan tujuan penjatuhan pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana, serta hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan pengadilan.
Maka, jaksa tidak dapat bertanggung jawab ataupun menjelaskan terjadinya praktik-praktik tersebut kepada hakim maupun dewan perwakilan rakyat selaku representasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Realitas, praktik dan paradigma tersebut tentu saja memperlihatkan cara berhukum yang tidak sehat dalam sistem peradilan pidana yang seharusnya terpadu.
Fungsi pemasyarakatan tidak dapat dilepaskan dari fungsi jaksa selaku eksekutor dan fungsi hakim selaku pemilik putusan pengadilan. Jaksa selaku eksekutor di bidang hukum pidana-lah yang akan mempertanggungjawabkan pelaksanaan putusan terhadap hakim.
ADVERTISEMENT
Tanggung jawab fisik tetap berada pada petugas pemasyarakatan, sedangkan tanggungjawab yuridis merupakan tanggungjawab jaksa selaku eksekutor dan hakim selaku pemilik putusan pengadilan.
Meskipun berbeda tahapan, namun konsep tanggung jawab fisik dan yuridis ini pun diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (selanjutnya disebut PP Pelaksanaan KUHAP). Dalam Pasal 21 ayat (2) dan ayat (3) PP Pelaksanaan KUHAP menyatakan bahwa “tanggung jawab juridis atas tahanan ada pada pejabat yang menahan sesuai dengan tingkat pemeriksaan dan tanggung jawab secara fisik atas tahanan ada pada Kepala RUTAN”.
Ruang lingkup tanggung jawab yuridis yang dimiliki oleh jaksa selaku eksekutor terhadap pelaksanaan fungsi pemasyarakatan yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan terhadap terpidana adalah memastikan bahwa terpidana/narapidana yang menjadi warga binaan melaksanakan putusan pengadilan secara benar dan sebagaimana mestinya.
Sehingga jaksa berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap fungsi pemasyarakatan yang dijalankan petugas pemasyarakatan terhadap warga binaan sampai dengan terpidana/narapidana yang menjadi warga binaan selesai melaksanakan putusan pengadilan.
ADVERTISEMENT
Jaksa wajib aktif berkoordinasi (dalam periode tertentu dan pasti, seperti sekali dalam sebulan) dengan pihak lapas dalam melakukan pengawasan terhadap fungsi pemasyarakatan yang dijalankan oleh petugas pemasyarakatan terhadap terpidana/narapidana yang menjadi warga binaan.
Keaktifan jaksa tersebut pun ditegaskan dalam Article 11 Guidelines on the Role of Prosecutors yang menyatakan bahwa "Prosecutors shall perform an active role in criminal proceedings, including institution of prosecution and, where authorized by law or consistent with local practice, in the investigation of crime, supervision over the legality of these investigations, supervision of the execution of court decisions and the exercise of other functions as representatives of the public interest".
Dalam Guidelines on the Role of Prosecutors secara tegas menyatakan bahwa jaksa aktif melakukan supervisi terhadap pelaksanaan putusan pengadilan. Dengan demikian norma pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan merupakan norma yang bersifat universal berlaku terhadap para prosecutors di beberapa negara.
ADVERTISEMENT
Hasil pengawasan/supervisi tersebut nantinya akan dilaporkan kepada hakim yang mengeluarkan putusan. Berdasarkan hal tersebut maka pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan, terdapat 3 (tiga) struktur hukum yang memiliki fungsi yang berbeda namun pelaksanaannya dilakukan secara terpadu (check and balances) agar tujuan dari sistem peradilan pidana terpadu tercapai.
Bagaimanapun, ketiga struktur hukum tersebut, baik jaksa, hakim dan petugas pemasyarakatan diberikan wewenang dan wajib mempertanggungjawabkan wewenang yang dimilikinya tersebut. Ingat "There is no authority without responsibility. Authority without responsibility is tyranny, and responsibility without authority is impotence." (Peter Drucker).
Dr. Muh. Ibnu Fajar Rahim, S.H., M.H., (Jaksa pada Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Kejaksaan Agung/Dosen President University)