Konflik Rusia-Ukraina: Perspektif Konstruktivisme

Muh Rasikh Undipa Akbar
Mahasiswa S1 Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL Universitas Gadjah Mada
Konten dari Pengguna
20 Januari 2024 19:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muh Rasikh Undipa Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tentara Ukraina bersiap menerbangkan drone di kamp pelatihan di tengah perang Rusia-Ukraina di Donetsk, Ukraina pada 11 Mei 202. (Anadolu Agency via Getty Images/Anadolu Agency)
zoom-in-whitePerbesar
Tentara Ukraina bersiap menerbangkan drone di kamp pelatihan di tengah perang Rusia-Ukraina di Donetsk, Ukraina pada 11 Mei 202. (Anadolu Agency via Getty Images/Anadolu Agency)
ADVERTISEMENT
Konflik Rusia-Ukraina sudah hampir genap 2 tahun berlangsung. Sebagai sebuah peristiwa yang terjadi dalam hubungan internasional, konflik ini dapat kita lihat dari perspektif konstruktivisme.
ADVERTISEMENT
Perspektif konstruktivisme dalam studi hubungan internasional merupakan salah satu perspektif yang cukup jarang di ruang publik ketika muncul pembahasan mengenai satu kejadian di dunia internasional.

Konstruktivisme dalam Studi Hubungan Internasional

Konstruktivisme memandang penting peran identitas, nilai, dan norma dalam perilaku internasional suatu aktor. Menurut perspektif ini, suatu aktor bertindak atau berperilaku sesuai dengan identitas yang melekat padanya atau juga nilai dan norma yang berlaku alih-alih perhitungan rasionalitas untung rugi semata. Logika ini disebut oleh para konstruktivis sebagai logika kepantasan (logic of appropriateness).
Dengan kata lain, perspektif ini coba menjelaskan bahwa suatu realitas sosial dalam hubungan internasional dipengaruhi kuat oleh faktor ideasional ketimbang material. Salah satu faktor ideasional yang diakui dalam perspektif ini adalah identitas.
ADVERTISEMENT
Konstruktivisme yang berbasis identitas menaruh perhatian pada identitas aktor pada aktivitas pengkajian suatu peristiwa internasional. Hal ini disebabkan identitas aktor diyakini sebagai pembentuk utama kepentingan aktor tersebut.
Menariknya, identitas bagi konstruktivisme bukanlah suatu hal yang statis, melainkan dinamis. Artinya, ia dapat berubah. Hal ini disebabkan identitas terbentuk dari proses sosialisasi yang melibatkan para agen dalam sebuah struktur sosial tertentu.
Kemungkinan perubahan inilah yang membedakan konstruktivisme dengan liberalisme dan realisme. Konstruktivisme memiliki sebuah variabel penting yang bergantung pada proses sosialisasi sehingga mungkin untuk diubah, sedangkan variabel kunci dalam liberalisme dan realisme diasumsikan sebagai “human nature” sehingga nihil untuk diubah.

Problematika Identitas Keeropaan

Benua Eropa memiliki karakteristik yang tidak sesederhana batasan-batasan geografis dari sebuah benua, melainkan juga sejarah panjang perbedaan entitas sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Meskipun dipenuhi sejarah panjang perbedaan dan keberagaman, nyatanya Eropa hari ini mampu menciptakan integrasi Eropa lewat sistem supranasional bernama Uni Eropa.
ADVERTISEMENT
Eksistensi Uni Eropa sebagai sebuah organisasi internasional supranasional di Eropa bisa dibilang merupakan hasil dari proses sosialisasi yang membentuk identitas keeropaan hari ini. Meskipun demikian, akan menjadi sebuah masalah jika kita menyempitkan arti Eropa sebagai Uni Eropa dan identitas keeropaan sebagai syarat yang ditetapkan oleh Uni Eropa untuk dapat masuk ke dalam keanggotaan Uni Eropa.
Disebut sebagai masalah, sebab hal tersebut akan membawa kita pada alienasi beberapa negara di Benua Eropa. Negara-negara yang secara geografis dan antropologis bisa disebut sebagai Eropa, namun tidak bergabung dengan Uni Eropa seperti negara-negara di Eropa Timur dapat bermasalah identitas keeropaannya yang pada akhirnya menghambat upaya integrasi
Identitas keeropaan yang hari ini berlaku kuat dapat kita lihat setidaknya dari “kriteria Kopenhagen” yang dijadikan acuan keanggotaan Uni Eropa. Pertama kehadiran institusi stabil yang menjamin demokrasi, peraturan hukum, hak asasi manusia, penghargaan dan perlindungan kepada minoritas. Kedua eksistensi ekonomi pasar yang berfungsi dan kemampuan untuk mengatasi persaingan dan kekuatan pasar dalam Uni Eropa. Ketiga kemampuan untuk mengambil dan melaksanakan secara efektif kewajiban-kewajiban keanggotaan.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang telah kita bahas sebelumnya bahwa identitas merupakan hasil dari proses sosialisasi yang terjadi di antara para aktor dalam suatu struktur tertentu. Oleh karena itu, kriteria Kopenhagen yang menggambarkan identitas keeropaan hari ini juga lahir dari proses sosialisasi yang spesifik.
Ia lahir pasca Perang Dingin, sebuah perang yang berisi kontestasi ideologi “Barat vs Timur”. Proses terbentuknya Uni Eropa memang melibatkan penyandangan identitas sebagai “bukan Eropa” pada negara-negara bekas komunis. Identifikasi sebagai “Eropa” dan “bukan Eropa” pada akhirnya justru berakhir pada sebuah kondisi yang mengawetkan kontestasi ideologi di Eropa alih-alih membantu proses integrasi Eropa.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kuatnya negara-negara Eropa Barat sebagai bagian dari kelompok ideologi yang berhasil menang pasca Perang Dingin di dalam struktur Eropa. Akibatnya, identitas keeropaan yang terbentuk menegasikan negara-negara yang memiliki identitas politik berbeda dengan negara-negara Eropa Barat.
ADVERTISEMENT
Konfigurasi identitas yang demikian membuat dipandangnya Eropa Timur sebagai “pihak asing” dan “tidak signifikan (insignificance)”. Ketiadaan identitas politik yang mengintegrasikan Eropa Timur membuat Eropa Timur menjadi kosong dari keamanan dan stabilitas.
Sayangnya, upaya yang dibangun kemudian bukanlah menerima Eropa Timur sebagaimana adanya, namun justru berusaha membentuk Eropa Timur sama dengan Eropa Barat yang mirisnya, proses ini disebut dengan “Eropanisasi”. Istilah tersebut malah mengesankan bahwa Eropa Timur memang bukanlah Eropa.
Upaya yang terkesan diskriminatif ini diperparah dengan anggapan yang muncul dari pihak Rusia bahwa upaya “Eropanisasi” negara-negara Eropa Timur tersebut merupakan ancaman bagi Rusia. Perilaku luar negeri para aktor kemudian berujung pada kesan perebutan pengaruh di Eropa Timur yang pada akhirnya membawa Eropa kembali kepada suasana Perang Dingin. Latar belakang identitas aktor yang semacam inilah yang kemudian membentuk politik kawasan Eropa Timur hari ini dengan meletusnya konflik di Ukraina.
ADVERTISEMENT