Konten dari Pengguna

Melawan Stigma: Laki-laki Kok Nangis?

Muhaimin Yasin
Seorang Pembelajar yang Senang Mengamati Bagaimana Dunia Bekerja. Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat
17 Maret 2025 12:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhaimin Yasin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Laki-laki Sedang Menangis (sumber: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Laki-laki Sedang Menangis (sumber: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, fenomena yang acap kali menjadi tantangan di tengah masyarakat adalah pandangan sosial yang mengedepankan maskulinitas tradisional. Laki-laki diharapkan selalu kuat, tegar, dan tidak boleh mengekspresikan emosi.
ADVERTISEMENT
Terutama emosi yang berkaitan dengan perasaan sedih, yaitu ekspresi yang biasa ditunjukkan dengan menangis.
Pandangan ini sudah menjadi pemahaman yang berlaku secara turun-temurun. Sejak kecil, anak laki-laki didoktrin untuk tidak boleh menangis, sehingga hal ini terbawa sampai dewasa dan memberikan dampak serius yang mengganggu kesehatan mental mereka.
Sebetulnya, normalisasi terhadap tangisan laki-laki tidak hanya dapat memberikan ruang untuk meluapkan emosi, tetapi juga berguna untuk merawat mental mereka supaya tetap waras.
Salah satu bahaya yang dapat kita lihat dari tekanan emosi pada laki-laki adalah penumpukan stres dan frustrasi yang tidak tersalurkan. Ketika laki-laki dipaksa untuk terus menahan air mata, hal ini bisa memicu berbagai masalah kesehatan mental, termasuk depresi, kecemasan, dan bahkan perilaku agresif.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus yang lebih ekstrem, sulitnya mengelola emosi ini dapat berujung pada kasus yang bisa merugikan diri sendiri atau orang lain. Begitu juga bisa berakibat kepada penyakit gila dan gangguan kejiwaan lainnya. Penyebab paling umumnya ialah karena mereka tidak bisa mengendalikan emosi.
Ironinya, stigma masyarakat sering kali muncul untuk menyalahkan laki-laki karena tidak mampu mengontrol emosi mereka, tanpa menyadari akibat jangka panjang. Anggapan buruk terhadap laki-laki menangis inilah yang menjadi salah satu akar permasalahannya.
Ketika masih usia anak, sering kali terdengar kalimat-kalimat cemooh, seperti, "laki-laki kok cengeng." padahal ini bisa membuat mereka merasa terpaksa untuk menyembunyikan perasaan.
Akibatnya, setelah tumbuh dewasa, mereka menjadi pribadi yang tidak bisa mengontrol emosi, tidak tahu cara untuk mengekspresikannya dan cenderung memendamnya.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, normalisasi laki-laki menangis adalah salah satu langkah penting menuju masyarakat yang lebih sehat mental.
Ini bukan berarti laki-laki harus selalu menangis, tetapi kita perlu menciptakan ruang aman bagi mereka untuk mengekspresikan emosi secara jujur dan alami tanpa rasa takut akan ejekan atau dianggap lemah.
Sebab tangisan merupakan reaksi alami manusia terhadap kesedihan dan tidak ada alasan agar laki-laki merasa malu atau bersalah karenanya.
Perubahan ini perlu dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat secara lebih luas. Orang tua juga harus mengajarkan anak laki-lakinya bahwa mengekspresikan emosi, seperti menangis adalah hal yang wajar dan sehat.
Kita harus berhenti mengejek atau meremehkan laki-laki yang menangis dan justru mulai mendukung mereka untuk mengungkapkan perasaan dengan cara yang lebih sehat.
ADVERTISEMENT
Normalisasi terhadap fenomena laki-laki menangis juga berguna bukan hanya tentang memberikan izin ekspresif, tetapi juga tentang mempromosikan budaya yang lebih empati, inklusif, dan mendukung kesehatan mental secara keseluruhan.
Dengan begitu, menghilangkan stigma terhadap tangisan laki-laki, kita sudah memberikan mereka peluang untuk tumbuh menjadi individu yang lebih kuat secara emosional, lebih sehat mental dan lebih mampu membangun hubungan yang bermakna di tengah masyarakat. Ini adalah investasi penting untuk kesehatan mental generasi di masa yang akan datang.
Sebagai kesimpulan, normalisasi laki-laki menangis bukan sekadar tren atau isu hak asasi manusia semata, tetapi merupakan langkah krusial untuk menghadapi masalah kesehatan mental yang serius di Indonesia.
Mengubah cara pandang yang mengekang emosi laki-laki, seakan-akan kita sedang membangun lingkungan yang lebih sehat, mendukung, dan inklusif bagi semua.
ADVERTISEMENT
Tidak boleh menganggap bahwa tangisan adalah bukti cengeng. Sudah saatnya kita berhenti meremehkan tangisan yang wajar, dan mulai memberikan dukungan bagi laki-laki untuk mencapai kesehatan mentalnya.