Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bom Atom dalam Kerangka Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
30 Desember 2024 14:02 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhamad Ali Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ikhtisar
Menjelang akhir semester, saya kembali ke Bandung dari Solo. Perjalanan malam itu membawa kebahagiaan singkat, setidaknya saya bisa kembali ke rumah, meskipun masih ada beberapa ujian akhir semester yang tersisa. Salah satunya adalah ujian Filsafat Ilmu. Beruntung, ujian ini bersifat take-home, sehingga saya dapat mengerjakannya dari kamar saya sendiri. Namun, seperti mahasiswa lainnya, berada di rumah sering kali mengundang rasa malas. Ada keinginan kuat untuk menikmati liburan, sementara tugas-tugas terus menanti. Di sela-sela keheningan kamar, dengan laptop menyala di depan saya, pikiran saya melayang-layang, berusaha mencari cara untuk memulai tulisan ini.
ADVERTISEMENT
Mungkin karena baru-baru ini saya menonton ulang film Oppenheimer (2023), saya teringat pada sang fisikawan itu, yang di satu sisi adalah simbol pencapaian ilmu pengetahuan, tetapi di sisi lain menjadi lambang kehancuran. Kutipan yang paling melekat dari film itu adalah ketika Oppenheimer, setelah mewujudkan proyek Manhattan, mengutip Bhagavad Gita, "Now I am become Death, the destroyer of worlds." Pernyataan ini menggambarkan dilema moral yang mengakar dalam pertanyaan tentang nilai ilmu pengetahuan, apakah ilmu itu membangun atau menghancurkan? Namun, sebelum mencapai dilema moral tersebut, saya ingin memulai refleksi ini dengan menjelajahi dasar-dasar pertanyaan tentang realitas dan pengetahuan. Apa itu realitas? Bagaimana kita memahami realitas tersebut? Dan akhirnya, untuk apa pemahaman itu?
ADVERTISEMENT
Ontologi: Realitas dalam Bayangan
Ketika kita berbicara tentang realitas, kita sering kali melakukannya dengan anggapan bahwa realitas itu ada dan dapat dipahami. Namun, apakah benar demikian? Dalam filsafat ilmu, pertanyaan ini membuka diskusi tentang hakikat keberadaan. Bagi seorang ilmuwan, dunia mungkin tampak jelas, sesuatu yang dapat diukur, diamati, dan dimengerti. Namun, apakah realitas benar-benar hanya apa yang bisa kita lihat dan rasakan?
Ketika Oppenheimer dan rekan-rekannya merancang bom atom, mereka tidak hanya bekerja dengan benda konkret seperti uranium atau plutonium. Mereka bekerja dengan konsep-konsep abstrak seperti teori kuantum, persamaan Einstein, dan ide-ide lain yang ada di dalam pikiran. Dalam konteks ini, apakah realitas bom atom hanya terbatas pada bahan fisiknya, atau juga mencakup potensi destruktif yang dibawanya? Martin Heidegger menyatakan bahwa teknologi bukan sekadar alat, melainkan sebuah cara mengungkapkan dunia (Heidegger, 1977). Dalam pandangan ini, bom atom bukan hanya sebuah objek, tetapi juga sebuah pernyataan tentang cara manusia memahami dan menguasai realitas. Jika kita memandang sebuah benda, seperti sebuah meja laboratorium yang digunakan untuk merancang eksperimen fisika, apakah ia hanya sekadar alat? Ataukah ia juga mewakili interaksi manusia dengan pengetahuan, sebuah simbol yang merangkum kreativitas, eksplorasi, dan dominasi? Refleksi seperti ini, meski tampak sederhana, membawa kita pada inti pertanyaan ontologis, apa yang sebenarnya ada? Apakah keberadaan hanya sejauh apa yang bisa kita ukur dan pahami, ataukah lebih dari itu?
ADVERTISEMENT
Epistemologi: Pengetahuan dan Ketidakpastian
Setelah mencoba memahami apa yang ada, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kita mengetahui apa yang ada. Dalam hal ini, epistemologi membimbing kita pada eksplorasi tentang sumber, batas, dan validitas pengetahuan. Ilmu pengetahuan modern sering kali diasosiasikan dengan metode ilmiah, di mana observasi dan eksperimen menjadi kunci untuk memahami dunia. Namun, apakah metode ini benar-benar memberikan kepastian? Dalam proyek Manhattan, Oppenheimer dan timnya tidak memiliki kepastian penuh tentang hasil dari eksperimen mereka. Mereka memiliki teori, data, dan perhitungan, tetapi tetap ada unsur ketidakpastian yang besar. Misalnya, ada ketakutan bahwa ledakan bom atom pertama dapat memicu reaksi berantai yang menghancurkan atmosfer bumi. Meskipun perhitungan mereka menunjukkan bahwa skenario ini sangat tidak mungkin, ketakutan itu tetap ada hingga saat bom diledakkan di Trinity.
ADVERTISEMENT
Ketidakpastian ini mengingatkan saya pada Karl Popper, yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tidak pernah benar-benar memberikan kebenaran, melainkan hanya hipotesis yang dapat diuji dan, pada akhirnya, disangkal (Popper, 2002). Dalam konteks ini, apakah pengetahuan kita tentang dunia benar-benar stabil, ataukah ia selalu dalam keadaan sementara, menunggu untuk direvisi? Di sinilah letak keindahan sekaligus kegelisahan epistemologi, ia memberikan alat untuk memahami dunia, tetapi juga menyadarkan kita bahwa pemahaman itu mungkin selalu tidak lengkap.
Aksiologi: Moralitas dan Tujuan Ilmu Pengetahuan
Setelah mempertanyakan apa yang ada dan bagaimana kita mengetahuinya, pertanyaan terakhir yang muncul adalah, untuk apa pengetahuan itu? Dalam konteks aksiologi, kita diajak untuk merenungkan nilai dan tujuan dari ilmu pengetahuan. Dan di sinilah dilema moral sering kali muncul. Ketika Oppenheimer menyadari dampak dari ciptaannya, ia dihadapkan pada pertanyaan aksiologis yang mendalam, apakah ilmu pengetahuan yang ia kembangkan bermanfaat, ataukah ia justru menciptakan kehancuran? Bom atom yang meledak di Hiroshima dan Nagasaki adalah bukti nyata dari kekuatan destruktif ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain, teknologi nuklir juga membuka pintu bagi inovasi dalam bidang energi dan kedokteran.
ADVERTISEMENT
Dalam merenungkan ini, saya teringat pada Immanuel Kant, yang menyatakan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sekadar alat (Kant, 1785). Tetapi, bagaimana kita menafsirkan prinsip ini dalam konteks teknologi yang dapat digunakan untuk menghancurkan? Apakah bom atom, sebagai manifestasi dari ilmu pengetahuan, telah melanggar prinsip ini dengan menjadikan manusia sebagai korban untuk tujuan perang? Di sinilah letak paradoks aksiologi, ilmu pengetahuan memiliki potensi untuk membawa manfaat besar, tetapi juga membawa risiko besar. Ketika saya duduk di kamar saya, merenungkan dilema ini, saya tidak dapat menemukan jawaban yang pasti. Namun, mungkin itulah inti dari refleksi aksiologis, ia bukan tentang menemukan jawaban, melainkan tentang terus bertanya.
Epilog
Melalui tulisan singkat ini, saya berharap dapat mengajak pembaca untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang keberadaan, pengetahuan, dan nilai. Saya tidak menawarkan jawaban, karena filsafat ilmu bukanlah tentang memberikan kepastian, melainkan tentang membuka ruang untuk berpikir. Di tengah ketidakpastian ini, saya menemukan keindahan bahwa sebagai manusia, kita memiliki kemampuan untuk bertanya, untuk merenung, dan untuk mencari makna, meskipun makna itu mungkin tidak pernah sepenuhnya kita temukan.
ADVERTISEMENT
Referensi
Heidegger, M. (1977). The Question Concerning Technology and Other Essays. Harper & Row.
Kant, I. (1785). Groundwork of the Metaphysics of Morals. Harper Torchbooks.
Popper, K. (2002). The Logic of Scientific Discovery. Routledge.
Live Update
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus presidential threshold 20 persen dalam sidang uji materi terkait UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Kamis (2/1). Semua partai politik kini bisa mengajukan capres-cawapresnya sendiri.
Updated 2 Januari 2025, 20:40 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini