Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Perang Tarif Trump: WTO yang Dibiarkan Tersandera
1 Mei 2025 20:56 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Muhamad Ali Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hubungan ekonomi global hari ini tengah menyaksikan paradoks paling memikat dalam sejarah tata kelola perdagangan multilateral, terutama sejak era Trump. Kekuatan hegemonik yang dahulu menjadi arsitek utama lembaga perdagangan dunia justru kini menjadi salah satu aktor yang paling destruktif terhadap fondasi normatif institusi tersebut. Di tengah disfungsi sistemik yang membelenggu, jejak World Trade Organization (WTO) sebagai penjaga jalur damai perdagangan antarbangsa tampak semakin kabur, tertutup kabut ketakberdayaan yang perlahan menjadi permanen. Dalam bayang-bayang ketidakberdayaan ini, pertanyaannya kini bukan lagi apakah WTO dapat bertahan, tetapi sejauh mana ia masih bisa mengklaim memiliki legitimasi dalam sistem perdagangan global yang kian penuh ketidakpastian.
ADVERTISEMENT
WTO
WTO tidak dilahirkan dari ruang hampa. Ia merupakan produk dari zeitgeist pasca-Perang Dingin, optimisme liberal, semangat integrasi ekonomi global, dan harapan akan sistem perdagangan yang nondiskriminatif. Di dalamnya terkandung instrumen untuk menyelesaikan sengketa, mengawasi implementasi kebijakan, serta mendorong liberalisasi perdagangan yang berkeadilan.
Prinsip Most-Favored Nation (MFN) dan National Treatment adalah jantung dari sistem ini. Kedua prinsip ini menolak perlakuan yang bias antar negara anggota dan menjamin bahwa produk asing akan diperlakukan setara dengan produk domestik setelah masuk pasar. WTO juga dilengkapi Dispute Settlement Body (DSB), sebuah sistem quasi-yudisial yang memungkinkan negara anggota menyelesaikan konflik secara legal dan damai.
Tarif Trump
Namun janji itu mulai retak saat narasi nasionalisme ekonomi tumbuh dalam tubuh negara-negara besar, terutama Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump. Lewat strategi “America First,” AS memobilisasi tarif secara unilateral terhadap produk-produk asal Tiongkok dengan tuduhan pelanggaran hak kekayaan intelektual, praktik subsidi industri, dan pemaksaan transfer teknologi. Tiongkok pun membalas dengan skema tarif serupa, dan spiral perang dagang pun dimulai.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, konflik tarif yang digagas Amerika Serikat tidak berhenti pada Tiongkok. Dalam gelombang kebijakan yang nyaris menyerupai strategi shock and awe, AS juga menjatuhkan tarif terhadap sejumlah negara lain bahkan sekutunya sendiri atas dalih keamanan nasional melalui Section 232 dari Trade Expansion Act.
Meski tarif terhadap negara-negara tersebut bersifat sporadis dan terkadang disusul dengan negosiasi bilateral, tetap saja tindakan ini menyampaikan satu pesan, Amerika mengadopsi pendekatan transaksional terhadap hukum internasional di mana aturan bisa ditekuk asal tidak menguntungkan kepentingan nasional domestik. Hal ini menunjukkan bahwa perang dagang dengan Tiongkok hanyalah puncak gunung es dari orientasi unilateralisme ekonomi yang lebih luas.
Namun, dari sekian negara yang dikenai tarif, hanya Tiongkok yang mendapat perhatian obsesif. Volume tarifnya jauh lebih besar, retorika politiknya lebih tajam, dan dampaknya secara struktural lebih dalam. Ini memperlihatkan bahwa bagi AS, Tiongkok merupakan rival strategis dalam tatanan global.
ADVERTISEMENT
Pada titik ini, tindakan semena-mena seperti itu memunculkan satu pertanyaan, apakah skema tarif unilateral sah dalam kacamata WTO? Jawabannya tegas, tidak. Praktik ini berpotensi melanggar Pasal I GATT (tentang non-diskriminasi), Pasal II (mengenai batas tarif yang telah dikomitmenkan), dan secara substansial juga mengabaikan prinsip due process dalam menyelesaikan sengketa.
Wasit yang Diberi Kartu Merah
Namun drama yang paling menentukan terjadi bukan semata pada perang tarif itu sendiri, melainkan pada medan yang lebih subtil dan simbolik, yaitu pembekuan fungsi Dispute Settlement Body (DSB) WTO, atau lebih tepatnya Appellate Body yang merupakan bagian penting dari sistem adjudikasi WTO dalam menangani banding perkara.
Sejak 2017, Amerika Serikat secara konsisten memblokir pengangkatan hakim baru untuk Appellate Body, dengan dalih bahwa badan tersebut telah beroperasi melampaui mandat legalnya, yakni terlalu sering membentuk yurisprudensi baru yang tidak eksplisit diatur dalam perjanjian. Namun dalih legal ini tampak lebih sebagai instrumen hegemonik ketimbang refleksi normatif. Karena akibatnya sangat jelas, sistem banding WTO lumpuh sejak 2019 dan setiap perkara yang dibawa ke tingkat Appellate Body secara teknis “dibekukan” tanpa putusan, sebuah fenomena yang dikenal sebagai appeal into the void.
ADVERTISEMENT
Konsekuensinya masif, negara bisa menolak putusan WTO cukup dengan mengajukan banding ke tubuh yang sebenarnya sudah tidak fungsional. Ini membuat penegakan hukum internasional menjadi absurditas prosedural, dan membuka jalan bagi anarki sistemik dalam tata kelola perdagangan global. Dalam konteks perang dagang, Tiongkok pun menghadapi jalan buntu ketika menggugat tindakan tarif AS melalui WTO karena proses tidak dapat selesai secara legal-formal.
Apa yang kita saksikan adalah crisis of enforcement sekaligus crisis of legitimacy. WTO tidak sedang runtuh karena lemahnya norma, melainkan karena absennya political will dari negara-negara kunci untuk mempertahankan supremasi hukum internasional atas kepentingan jangka pendek domestik. Amerika Serikat, sebagai norm entrepreneur awal dari sistem perdagangan multilateral, justru kini menjelma menjadi aktor norm breaker.
ADVERTISEMENT
Peran WTO pun menjadi kehilangan daya intervensi, terutama karena WTO bersifat rule-based, not power-based, sementara realitas geopolitik pasca-2018 menunjukkan bahwa power sering kali melangkahi rule. Hal ini menempatkan WTO dalam posisi liminal, ia masih hidup secara formal, namun lumpuh secara substantif.