Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Krisis Kelas Menengah: Mengapa Mereka Selalu Jadi Korban Kebijakan Ekonomi?
21 Februari 2025 22:03 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Muhamad Ferdiansah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kelas menengah di Indonesia sering disebut sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Mereka adalah kelompok yang tidak hanya berkontribusi besar terhadap konsumsi domestik tetapi juga menjadi sumber utama penerimaan pajak bagi negara. Namun, dalam setiap perubahan kebijakan ekonomi, kelas menengah justru sering kali menjadi pihak yang paling terdampak. Langkah ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa kelas menengah selalu menjadi kelompok yang paling merasakan beban ketika kebijakan baru diterapkan?
ADVERTISEMENT
Ketika pemerintah menerapkan reformasi pajak, pengurangan subsidi, atau regulasi ekonomi lainnya, kelas menengah cenderung tidak mendapatkan perlindungan yang cukup dibandingkan dengan kelas bawah, sementara kelas atas memiliki lebih banyak cara untuk menghindari dampak kebijakan tersebut. Akibatnya, kelas menengah kerap terjebak dalam tekanan ekonomi yang semakin besar tanpa ada jalan keluar yang jelas.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2019, kelompok ini terdiri atas sekitar 57,33 juta orang atau 21,45% dari total populasi. Namun, pada 2024, angka tersebut menyusut menjadi 47,85 juta orang atau sekitar 17,13% dari total populasi. Artinya, dalam lima tahun terakhir, sekitar 9,48 juta orang telah turun dari kelas menengah ke kategori yang lebih rendah. Penurunan ini bukan hanya angka statistik, tetapi juga mencerminkan realitas bahwa kelas menengah menghadapi kesulitan ekonomi yang semakin nyata.
ADVERTISEMENT
Salah satu penyebab utama menyusutnya kelas menengah adalah dampak pandemi COVID-19. Selama masa pandemi, banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan atau mengalami pemotongan gaji, terutama di sektor-sektor formal yang sebelumnya menjadi andalan kelas menengah. Sementara itu, sektor informal tidak menawarkan perlindungan yang memadai, sehingga banyak individu yang dulunya memiliki penghasilan stabil harus berjuang untuk bertahan hidup. Dampak ini justru diperparah dengan kenaikan biaya hidup yang terus meningkat, seperti inflasi yang tinggi yang menyebabkan harga kebutuhan pokok, perumahan, pendidikan, dan layanan kesehatan menjadi semakin mahal, sementara pendapatan kelas menengah tetap stagnan.
Selain faktor ekonomi global, kebijakan pemerintah juga memainkan peran besar dalam menekan kelas menengah. Salah satu kebijakan yang menuai kritik adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang berlaku pada tahun 2025. Kenaikan pajak ini akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa, sehingga semakin mempersempit daya beli kelas menengah. Tidak hanya itu, kebijakan lain seperti pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi serta perubahan tarif transportasi publik, seperti KRL, juga berkontribusi pada meningkatnya beban pengeluaran kelompok ini. Ironisnya, keputusan-keputusan ini kerap diambil tanpa dikaji secara mendalam mengenai dampak nyata terhadap masyarakat kelas menengah, seolah-olah mereka adalah pihak yang paling siap menanggung beban demi kepentingan fiskal negara.
ADVERTISEMENT
Lebih parahnya, kelas menengah tidak mendapatkan bantuan sosial sebagaimana yang diterima oleh kelompok ekonomi bawah. Ketika pemerintah mengurangi subsidi, mereka yang berada dalam kategori ekonomi lemah masih bisa mengandalkan bantuan langsung tunai atau program perlindungan sosial lainnya. Sebaliknya, kelas menengah justru berada dalam posisi di mana mereka harus menanggung kenaikan harga tanpa adanya kompensasi dari negara. Di sisi lain, kelas atas memiliki fleksibilitas finansial yang lebih besar dan sering kali mampu menghindari dampak kebijakan melalui berbagai strategi keuangan, seperti investasi atau pengurangan pajak melalui celah hukum yang tersedia. Hal ini menunjukkan ketimpangan kebijakan yang semakin memperlebar jurang ekonomi masyarakat.
Dampak dari tekanan ekonomi yang terus-menerus ini tidak hanya dirasakan dalam aspek finansial, tetapi juga dalam kestabilan sosial. Jika kelas menengah terus mengalami penurunan, dampaknya bisa lebih luas daripada sekadar menurunnya daya beli. Kelas menengah selama ini dianggap sebagai penyeimbang sosial yang membantu menjaga stabilitas politik dan ekonomi suatu negara. Jika mereka semakin terhimpit dan kehilangan kepercayaan terhadap sistem ekonomi dan pemerintahan, hal ini dapat memicu ketidakpuasan sosial yang lebih besar. Pada titik tertentu, kebijakan ekonomi yang tidak berpihak kepada kelas menengah justru dapat berbalik menjadi bumerang bagi pemerintah sendiri.
ADVERTISEMENT
Pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk melindungi kelas menengah dari dampak kebijakan yang tidak seimbang. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah meninjau kembali kebijakan perpajakan agar tidak membebani kelompok ini secara berlebihan. Selain itu, diperlukan kebijakan yang lebih mendukung pertumbuhan ekonomi kelas menengah, seperti insentif bagi usaha kecil dan menengah (UKM), penciptaan lapangan kerja di sektor formal, serta program subsidi yang lebih inklusif untuk layanan pendidikan dan kesehatan. Sayangnya, langkah-langkah semacam ini masih minim dilakukan, sementara kebijakan yang cenderung memperberat beban kelas menengah terus bergulir tanpa solusi yang memadai.
Di sisi lain, pemerintah juga harus memastikan bahwa kebijakan pengurangan subsidi dilakukan secara bertahap dan dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang. Misalnya, jika subsidi BBM dikurangi, maka harus ada kebijakan kompensasi berupa transportasi publik yang lebih terjangkau dan berkualitas. Dengan demikian, beban pengeluaran kelas menengah bisa ditekan tanpa mengorbankan kebutuhan dasar mereka. Namun, tanpa adanya upaya dari pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang lebih berimbang, maka kelas menengah akan terus menjadi korban yang paling dirugikan dalam dinamika kebijakan ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, keberlanjutan kelas menengah bukan hanya penting bagi individu yang berada dalam kelompok ini, tetapi juga bagi perekonomian dan stabilitas nasional secara keseluruhan. Jika kelas menengah terus menyusut, Indonesia akan menghadapi risiko ketimpangan ekonomi yang semakin tajam, di mana hanya tersisa kelompok ekonomi atas yang semakin kaya dan kelompok bawah yang semakin bergantung pada bantuan sosial. Untuk mencegah hal ini, diperlukan kebijakan yang lebih berpihak kepada kelas menengah agar mereka tetap dapat bertahan dan berkembang di tengah perubahan ekonomi yang terus terjadi. Sudah saatnya pemerintah berhenti menganggap kelas menengah sebagai sumber pendapatan semata dan mulai melihat mereka sebagai aset yang harus dilindungi demi keseimbangan ekonomi nasional yang berkelanjutan.