Konten dari Pengguna

Wacana Pemilihan Kepala Daerah Oleh DPRD: Demokrasi atau Efisiensi?

Muhamad Irsyad Hanafi
Peneliti Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKOLEGIS) UIN Sunan Ampel Surabaya. Selain itu, juga aktif dalam Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Surabaya yang aktif dalam membahas isu hukum terkini.
4 Februari 2025 9:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhamad Irsyad Hanafi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Prabowo saat berpidato pada HUT Partai Golkar yang ke 60 tahun. Sumber: https://youtu.be/fAR7MvNDu6s?si=oySMkL9kOWupwI0F
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Prabowo saat berpidato pada HUT Partai Golkar yang ke 60 tahun. Sumber: https://youtu.be/fAR7MvNDu6s?si=oySMkL9kOWupwI0F
ADVERTISEMENT
Wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD mencuat pada pertengahan Desember 2024. Hal ini didasari oleh pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada HUT Partai Golkar yang ke 60 tahun dengan alasan efisiensi anggaran. Menurutnya, anggaran besar pilkada langsung yang mencapai Rp41 triliun pada 2024 lebih baik dialihkan untuk kesejahteraan masyarakat dan anak-anak.
ADVERTISEMENT
Bagi Prabowo, ini adalah salah satu cara untuk mengatasi praktik politik transaksional yang menurutnya telah merusak demokrasi di tingkat daerah. Pernyataan Presiden Prabowo ini didukung oleh Menteri Dalam Negeri dan sejumlah politisi yang juga memiliki alasan beragam, mulai dari efisiensi anggaran, mengurangi politik uang, hingga mencegah konflik horizontal yang kerap terjadi dalam pilkada langsung.
Namun, wacana ini memicu pertanyaan besar, apakah pemilihan kepala daerah oleh DPRD benar-benar bisa menjadi solusi terbaik atau justru bentuk kemunduran demokrasi? ketika rakyat sudah terbiasa memilih pemimpin secara langsung, wacana ini terasa seperti menghapus hak politik mereka dan terkesan menghilangkan transparansi dalam pengangkatan kepala daerah.
Wujud Nyata Kedaulatan Rakyat
Pemilihan langsung adalah wujud nyata kedaulatan rakyat dalam sistem demokrasi. Rakyat diberi ruang untuk menentukan siapa pemimpin yang akan memimpin mereka, berdasarkan visi, misi, dan karakter calon.
ADVERTISEMENT
Sejak era kemerdekaan hingga reformasi saat ini, mekanisme pemilihan kepala daerah di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan. Pada awalnya, rakyat memilih langsung kepala daerah, tetapi kemudian beralih ke sistem pemilihan tidak langsung melalui DPRD. Namun, dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, menuai pro-kontra karena mekanisme pemilihan tidak langsung dinilai kurang sesuai dengan Pancasila dan konstitusi. Sebagai tanggapan, pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 untuk membatalkan undang-undang tersebut dan mengembalikan mekanisme pemilihan langsung yang dipilih oleh rakyat. (Erman Syarif,dkk: 2023)
Sistem ini tidak hanya memberikan legitimasi yang kuat kepada kepala daerah, tetapi juga menciptakan hubungan langsung antara pemimpin dan rakyatnya. Kepala daerah yang dipilih secara langsung akan merasa bertanggung jawab kepada masyarakat, bukan kepada segelintir elite yang memilihnya. Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menempatkan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara.
ADVERTISEMENT
Pemilihan umum secara langsung digunakan untuk memberikan mandat kepada penyelenggara negara sebagai pelaksana kekuasaan negara dengan melihat langsung kompetensi calon kepala daerah. Sebaliknya, jika kepala daerah dipilih oleh DPRD maka hubungan tersebut akan terputus. Kepala daerah akan lebih fokus pada kepentingan DPRD yang mengusungnya bahkan kepentingan partai daripada aspirasi rakyat. Hal ini menyebabkan pemilihan kepala daerah terlihat pragmatis bukan terlihat idealis. (Ros Intan Hasinah Hasibuan: 2022)
Ikhtiar Memperbaiki Sistem Pilkada
Salah satu alasan utama wacana ini adalah untuk menghemat biaya. Memang benar, pilkada langsung membutuhkan anggaran yang besar. Namun, biaya tersebut adalah modal untuk menjaga kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Demokrasi itu memang tidak murah, tetapi akan jauh lebih merugikan jika rakyat kehilangan kepercayaan pada proses demokrasi. (Sayyidatul Insiyah, dkk: 2019).
ADVERTISEMENT
Selain itu, anggapan bahwa pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan lebih hemat belum tentu benar. Menurut Data dari Indonesia Corruption Watch tahun 2022 bahwa kasus terbesar Korupsi diduduki oleh sektor desa dan sektor pemerintahan dengan kasus suap sebanyak 693 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa pengalihan sistem pemilu kepada DPRD tidak menjamin efisiensi biaya, bukan tidak mungkin sistem pemilu tidak langsung bisa menimbulkan kasus suap semakin merajalela.
Melihat kembali konteks pemilihan kepala daerah yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Makna dari Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ialah bahwa ketentuan tersebut mengandung arti bahwa pemilihan itu harus dilakukan dengan cara yang demokratis, yang menjamin prinsip kedaulatan rakyat, yakni dipilih secara langsung.(Sodikin: 2014)
ADVERTISEMENT
Pemilihan langsung memang tidak sempurna. Biaya politik yang tinggi, konflik horizontal, dan politik uang adalah masalah nyata yang harus dihadapi. Namun, solusi atas permasalahan ini bukanlah dengan menghapus sistem pilkada langsung tetapi dengan memperbaikinya.
Pertama, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap politik uang. Penegakan hukum yang tegas akan menurunkan praktik suap dan korupsi dalam pilkada. Kedua, pendidikan politik bagi masyarakat harus diperkuat, agar pemilih lebih memahami pentingnya menggunakan hak suara secara bijak. Ketiga, penggunaan teknologi seperti e-voting dapat membantu mengurangi biaya pilkada sekaligus meningkatkan efisiensi.
Muhamad Irsyad Hanafi, Dicky Sumarno
Peneliti Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi (PUSKOLEGIS)
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Ampel Surabaya